Advertisement
oleh : Adhyra Irianto
pojokseni.com - Pilgrim II, karya dan sutradara Ari Pahala Hutabarat menjadi tajuk pementasan grup Komunitas Berkat Yakin (Kober) Lampung pada tanggal 30 Juli 2018 silam. Pementasan tersebut adalah yang ketiga, setelah dua hari sebelumnya (28-29 Juli 2018) pecinta teater di Lampung dimanjakan oleh pementasan apik sekaligus epik dari Teater Satu dengan lakon "Antropodipus".
(Baca juga: Pentas Antropodipus Teater Satu: Paduan Manis Drama Yunani Klasik dan Silat)
Berbeda dengan pentas Teater Satu yang megah dan grande, maka pentas Kober terkesan lebih sederhana. Ada sekitar 9 orang musafir dengan pakaian lusuh (kalau tidak dikatakan rombeng) serta membawa tas ransel yang besar dan berat. Tentunya, hal itu memberi kesan bahwa ke-9 orang tersebut sedang berada di tengah perjalanan. Sudah jauh melangkah dan tak mungkin pulang, juga masih jauh untuk mencapai tujuan. Tak jelas batas perjalanan, juga tak jelas tujuan yang ingin dicapai. Tentunya, hal itu menegaskan sebuah makna bahwa pencarian dalam hidup memang tak akan ada habisnya, menjadikan manusia sebagai orang-orang yang terus berada di perjalanan mencari hakikat.
Pilgrim II mencipta kesan sebuah perjalanan yang jauh dan sekelompok musafir. Tak jelas setting waktu, tempat dan situasi terberi lainnya, termasuk kenapa mereka bertemu dan kapan mereka bertemu. Mereka juga tidak maju dan tidak mundur sehingga para pemain memberi kesan bahwa mereka hanya berputar-putar di tempat, penuh kesia-siaan, terus ada protes dan sebagainya. Hal ini yang menjadikan Pilgrim II teridentifikasi oleh penonton sebagai drama absurd.
Meski demikian absurd, namun fragmen atau potongan satu kejadian di perjalanan panjang tersebut memberi hiburan yang menarik bagi penonton. Seorang aktor yang diperankan oleh Alexander GB yang ditunjuk sebagai pemimpin dalam perjalanan itu, tiba-tiba saja dihujani interupsi. Sejumlah pengikut lainnya mencoba berpaling dan meninggalkan perjalanan itu, untuk kembali pulang.
Perdebatan Panjang
Perdebatan panjang, diwarnai perkelahian (dan sedikit kata kotor) serta aksi "unjuk rasa" terjadi di sepanjang drama. Kalimat-kalimat dari naskah Pilgrim memang sangat kuat, mengarahkan penonton bahwa perjalanan tersebut untuk mencari suatu hakikat dan tujuan yang entah kapan berakhirnya. Meski demikian, sutradara jeli memberi "tugas" untuk memecahkan kemampatan yang terjadi setelah adegan dan setting yang statis dan diwarnai keributan dan protes yang seakan tiada akhir tersebut pada beberapa aktornya. Hal itulah yang menyebabkan, meski Pilgrim II mengajak penonton untuk berpikir, namun tetap penonton menikmati setiap adegan.
Misalnya, ada seorang aktor yang ikut aksi unjuk rasa untuk pulang ke kampung halaman, namun malah berteriak bahwa ia tidak punya kampung halaman. Kemudian, seorang aktor lagi berteriak menyebutkan nama seorang perempuan yang dicintainya, Dewi. Setiap spectacle diperhitungkan dengan baik, sehingga penonton tetap ditahan untuk duduk menyaksikan selama 1 jam lebih.
Kemudian, seluruh aktor meninggalkan pemimpin mereka di perjalanan itu. Kelelahan, ketidakpastian, menyerah, serta harapan yang telah habis menjadikan perjalanan yang sudah (mungkin) lebih dari setengah jalan itu ditinggalkan begitu saja. Hanya pemimpinnya saja yang memperlihatkan dirinya tetap tegar meski ditinggalkan semua orang yang tadinya mengikutinya.
Sebelumnya, ketika para pengikutnya sudah bulat ingin meninggalkan pemimpin perjalanan, si pemimpin meminta untuk terakhir kalinya mereka dapat bernyanyi bersama. Permintaan itu dikabulkan, dan ternyata nyanyian itu yang membangkitkan ingatan para pejalan itu tentang perjalanan mereka. Seketika, duka dan suka dalam perjalanan menguat di ingatan mereka. Itu juga yang menjadi sebab, langkah para pejalan yang ingin meninggalkan pemimpinnya menjadi sangat berat.
Di akhir pertunjukan, para pejalan mungkin telah memikirkan untuk kembali. Sehingga, ketika masuk, mereka berlarian dan memeluk pemimpinnya. Lalu, merayakan kegembiraan mereka seakan-akan telah lama berpisah dan baru bertemu kembali. Tubuh mereka baru saja berpisah, tapi pikiran mereka tentang perjalanan itu yang sudah lama terpisah. Itulah yang menyebabkan mereka begitu merayakan "pertemuan" itu.
Sederhana dalam Arti Sebenarnya
Bisa dikatakan, selain hand property, drama ini memang sangat sederhana. Hanya cahaya saja yang berubah-ubah, untuk memberi kesan bahwa perdebatan dan perjalanan itu terjadi berhari-hari. Setiap kalimat yang diujarkan oleh setiap aktor memiliki kedalaman, menunjukkan bahwa teks Pilgrim II karya Ari Pahala Hutabarat ini begitu kuat. Para aktor juga cukup mampu menerjemahkan dan mengeksekusi setiap teks untuk menjadi tajam.
Di awal, para pemain banyak statis, kecuali yang berdialog. Namun, semakin ke akhir, gerakan para aktor semakin dinamis. Meski begitu menonjolkan kesederhanaan, namun pertunjukan ini tidak mengarahkan kita ke via negativa-nya Grotovsky. Malahan, dengan dialog-dialog yang tajam dan kuat, serta penuturan yang representasional yang lebih realis, dan identifikasi absurd ala Beckett menjadikan drama ini adalah campuran segalanya. Anda bisa menikmatinya dengan pendekatan apapun, begitu juga yang dikatakan sutradara Ari Pahala Hutabarat sehabis pertunjukan pada penulis. (**)