Advertisement
pojokseni.com - Setelah sukses pertunjukan teater-puisi “Dilanggar Todak” pada Februari lalu, kini Marhalim Zaini bersama Rumah Kreatif Suku Seni Riau kembali mementaskan sebuah pertunjukan teater-puisi berjudul “Hikayat Orang Laut” (HOL) pada 28 & 29 Juli 2018, di Anjung Seni Idrus Tintin. Setelah sebelumnya, pada bulan Mei lalu, juga dipentaskan di UIN Imam Bonjol Padang, Sumatera Barat.
Pertunjukan yang didukung para pemain seperti Husin, Joni Hendri, Adek Usman, Siti Nurul Jannah, Nurbaiti Manjo, Ratna Iri Rahmayani, Suci Ulandari, dan sejumlah pemain lainnya, adalah juga sebuah tafsir kreatif atas serpihan riwayat hidup Orang Laut, terutama yang berada di provinsi Kepulauan Riau, dan rumpun Suku Laut di Semenanjung Malaya.
Bersumber dari sebuah puisi karya Marhalim Zaini (dimuat di Kompas, 2010) dengan judul yang sama, pertunjukan ini menyuguhkan model pertunjukan simbolik yang memadu-padankan antara kekuatan teks puisi dan eksplorasi teaterikal. Pergulatan hidup, problematika dan perlawanan-perlawanan dalam diri orang-orang Suku Laut dalam lintasan sejarah peradaban Melayu disajikan dalam pertunjukan sebagai kolase-kolase sejarah kecil, yang terpecah-pecah, dalam kitab sejarah yang redup, dan bahkan belum dituliskan.
Sejarah Orang Laut yang juga kerap disebut Orang Selat, bahkan kerap juga disebut juga dengan Orang Lanun, mencakup berbagai suku dan kelompok masyarakat yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga. Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pulau-pulau lepas pantai Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya bagian Selatan.
Dulu, Orang Laut memang perompak, namun kemudian Orang Laut jugalah yang menjaga selat-selat dan mengusir bajak laut, mengawal para pedagang sampai ke pelabuhan-pelabuhan kerajaan. Bakan orang Laut-lah yang berperan mendukung hegemoni kerajaan-kerajaan di Selat Malaka. Ketika Kerajaan Melaka jatuh, Orang Laut tetap setia mendukung keturunan kerajaan sampai mendirikan Kerajaan Johor.
Pertunjukan teater-puisi HOL, menurut Marhalim selaku sutradara, tidak sama sekali berpretensi meluruskan atau membengkokkan sejarah. Tapi sejarah dalm HOL adalah “sejarah yang kalah.” Kekalahan Orang Laut menghadapi zaman, kekalahan Orang Laut menghadapi kehendak kekuasaan, kekalahan Orang Laut menghadapi dirinya sendiri, yang seolah terbelah antara peradaban Darat dan peradaban Laut.
HOL sebagai sebuah produk kesenian, harus berpihak. Keberpihakan HOL adalah—selain keberpihakan artistik—juga keberpihakan ideologis. Keberpihakan terhadap upaya penguatan-penguatan daya pikir masyarakat hari ini (khususnya masyarakat Melayu modern hari ini) terhadap sejarah sebuah peradaban, melalui karya kreatif.
Proses kreatif penciptaan teks panggung HOL adalah proses keluar-masuk, dari sejarah ke realitas kekinian. Proses tersebut, bisa jadi, berkelindan dalam keliaran yang jauh, tapi tetap kembali ke muara: oto-kritik atas diri orang Melayu sendiri, atas diri umat manusia, Maka simbol-simbol bermain sangat dominan dalam artistik pertunjukan teater-puisi ini.
Kata-kata (teks verbal) kadang hanya lalu-lalang untuk sekedar menyambung narasi, memperkokoh peristiwa, atau bahkan ia menjadi simbol itu sendiri. Sebagaimana teks puisi yang kerap menampilkan citraan dan imaji, boleh jadi penonton akan menyaksikan puisi yang bergerak sunyi penuh citraan di panggung HOL.
Meskipun begitu, simbol utama tetap bersumber dari teks puisi “HOL”, yang lebih dekat dunia laut, dunia maritim, dunia kepulauan, maka jaring, kajang, dayung dan sejenisnya tetap dipertahankan sebagai simbol kunci yang memperkuat relasi-relasi tematik.
Selain bahwa pertunjukan ini juga bersumber dari puisi panjang “Hikayat Orang Laut” karya Marhalim Zaini, boleh jadi juga “teater-puisi” adalah juga sebuah ruang pencarian bentuk-bentuk “estetika baru” dalam wilayah yang lebih luas, yang mencoba mempadu-padankan antara puisi dan teater. Sekaligus, di lain sisi, melepaskan ikatan-ikatan definitif kedua genre tersebut, untuk kemudian meleburkannya dalam satu ikatan baru.
Boleh jadi juga, “teater-puisi” adalah sebuah istilah untuk kemudian saling meniadakan, dan melebur menjadi satu entitas baru, yang mungkin belum bernama.***