Advertisement
Adhyra Irianto
pojokseni.com - Jumat (20/7/2018) malam di Universitas Negeri Lampung (Unila), ada banyak inspirasi, pengetahuan, imaji, semangat dan ilmu yang bertebaran dalam peluncuran dan diskusi 3 buku puisi karya penyair asal Lampung, Ahmad Yulden Erwin. Tiga buku puisi tersebut antara lain Perawi tanpa Rumah, Hara Semua Kata dan Perawi Rempah. Dua judul pertama menjadi dua buku yang dibahas pada malam tersebut.
Dua orang seniman juga sastrawan kenamaan asal Lampung, Iswadi Pratama (sutradara Teater Satu Lampung) dan Ari Pahala Hutabarat (sutradara Teater Kober Lampung) menjadi pembahas pada malam itu, dengan Inggit Putria Marga (aktor Teater Kober, Penyair perempuan Lampung) menjadi moderator.
Acara ini dimulai pukul 08.00 hingga 00.00 WIB yang diakhiri dengan foto bersama. Tidak hanya itu, dalam acara ini juga tampil tim musikalisasi puisi asal Unila, penampilan musikalisasi puisi dari Wiwik (teater Satu Lampung), serta pembacaan puisi dari Lizar (aktor Teater Kober Lampung) dan Edy Samudra Kertagama (Penyair Lampung) yang menampilkan puisi-puisi dari Ahmad Yulden Erwin yang termaktub dalam tiga buku puisi tersebut.
Kuliah 4 SKS
Pernah melihat konser, atau setidaknya video konser dari band Dream Theater. Yah, para jenius musik rock (bahkan beberapa berlabel professor seperti Mike Mangini misalnya) yang mempresentasikan karya terbaik di atas panggung. Alih-alih sekedar konser musik hiburan, penonton justru mendapatkan ilmu baru, inspirasi, dan hal lainnya. Jadi, menonton konser Dream Theater bahkan bisa diibaratkan seperti mengikuti kuliah musik 4 SKS dari para ahlinya.
Seperti itulah menganalogikan acara peluncuran dan diskusi 3 buku puisi tersebut. Pertama, untuk pertama kalinya penulis melihat ada seorang penulis atau penyair yang meluncurkan sekaligus 3 buku puisi. Ketiganya merupakan kumpulan puisi Ahmad Yulden Erwin selama 30 tahun terakhir.
Kedua, puisi yang dihadirkan menghadirkan imaji dalam balutan metafor dan alusi yang bertebaran di ketiga buku puisi tersebut. Ada beberapa puisi yang menggunakan teknik juktaposisi, yang menurut beberapa pembaca menjadikan mereka sekilas masuk dalam imaji lain.
Ketiga, dua pembahas buku tersebut juga tidak hanya mengupas buku serta sajak-sajaknya secara dalam, tapi juga tajam. Penyampaiannya lugas, bahkan perlu disampaikan dengan sastrawi. Yah, mungkin hanya sastra yang bisa menjelaskan sastra.
Hasilnya, tanpa disadari, penulis justru sedang mengikuti kuliah filsafat, psikologi, tasawuf, sastra, fisika, psikologi sastra, ontologi, sintaksis, semiotik bahkan sejarah! Secara bersamaan!
Beruntung, sedang tidak ada satu beban atau hal lain yang berada di kepala penulis, sehingga saya bisa pulang dengan baik-baik saja. Tanpa pingsan, atau kepala berasap.
Kajian Hidup, Gugatan, Kesadaran Ruang dan Pencarian "Tuhan"
Dua dari tiga buku puisi Ahmad Yulden Erwin yang dibahas malam itu, Perawi tanpa Rumah dan Hara tanpa Kata, menghadirkan sebuah kajian filosofis terhadap kehidupan, realitas, manusia atau penulis sebagai subjek, pikiran dan tentunya, kata-kata.
Seperti disampaikan oleh Ahmad Yulden Erwin, 30 tahun terakhir ia menjalani hidup mulai dengan menikmati ketika ia benar-benar berada di paling bawah, sampai ketika ia berada di paling atas. Semuanya, baik kegelisahannya, pencariannya, perasaannya, pengetahuannya, hingga pertanyaannya ia tumpahkan ke tiga buku tersebut.
Iswadi Pratama yang membahas buku Perawi Tanpa Rumah, menyatakan bahwa buku tersebut seakan mengajak pembacanya untuk menyusuri dan menjelajah kehidupan. Bukan hanya kehidupan penulis puisi, juga kehidupan pembacanya. Dua konsep sastra yang berjauhan, satu di timur (Haiku) dan satu lagi di barat (Imajisme) dicampurkan menjadi satu bentuk dalam karya Ahmad Yulden Erwin ini.
Iswadi juga menegaskan bahwa puisi-puisi Ahmad Yulden Erwin juga menegaskan bahwa sebenarnya keajaiban itu sangat dekat, bahkan setiap hari terlihat. Puisi tersebut hadir untuk memberi tahu bahwa sebenarnya realitas yang sebenarnya mungkin jarang disadari atau dimaknai pembacanya.
Sementara Ari Pahala Hutabarat menyingkap kedalaman sajak-sajak Ahmad Yulden Erwin sebagai sebuah gugatan terhadap status ontologis kata-kata dan bahasa. Juga ada pesan bahwa sebenarnya puisi yang sebenarnya berada jauh di atas sana, di dunia Idea. Semakin ia, turun maka akan semakin tereduksi. Hasilnya, yang turun ke bawah dan dihadirkan pada kita, bukanlah yang sesungguhnya, karena sudah banyak berkurang. Ditambah lagi dengan pembacaan dan tafsir yang justru semakin mereduksinya. Oleh karena itu, Hara Semua Kata, yang berarti "menghancurkan semua kata" dipilih karena kata tidak cukup mampu untuk menghadirkan makna yang sesungguhnya.
Ari Pahala Hutabarat juga menjelaskan tentang ruang dan waktu yang dihadirkan lewat sajak-sajak. Ruang yang diam dan waktu yang selalu bergerak. Kesadaran terhadap ruang akan memberi lebih banyak waktu, oleh karena itu puisi-puisi tersebut memberikan imaji dunia dalam ruang. Realitas tidak perlu dipahami, karena justru hanya akan menghasilkan persepsi bahkan dugaan belaka. Karena sebenarnya, keajaiban justru inheren dengan realitas tersebut, apabila substansinya ditiadakan.
Pembahasan filosofis malam itu menghadirkan banyak hal baru, setidaknya bagi penulis. Ada banyak perspektif dalam memandang kehidupan, dan tentunya ada pula banyak kesalahan dalam menafsirkan hidup ini. Kedua seniman kenamaan ini sama-sama merekomendasikan buku Ahmad Yulden Erwin untuk dibeli dan dibaca untuk semua orang yang ingin mengenali hidup, juga hidupnya sendiri dan mencari "apapun yang dicari".
Keduanya juga menyebutkan bahwa hal-hal yang saling berlawanan dalam realitas dicampuradukkan, lewat peleburan imaji, metafor, juktaposisi dan alusi dalam puisi-puisi Ahmad Yulden Erwin. (**)