Advertisement
pojokseni.com - Ini sering dianggap menjadi masalah. Teater, dan drama, dianggap oleh sebagian ulama adalah hal yang haram. Sebagian besar ulama mengharamkan seni teater, dengan landasan "kebohongan/membohongi". Sejumlah nama ulama terkenal yang mengharamkan seni teater antara lain Syeikh Abdul Aziz bin Baz, Nashiruddin Al Albani, Abdullah Al Ghumari, Ahmad Al Ghumari, Bakar Abu Zaid, Shalih Al Fauzan, sampai Hamud Tuwaijiri.
Sedangkan beberapa nama ulama yang lain seperti Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, Ibnu Jibrin, Ibnu Humaid, Muhammad bin Shalih Utsaimin, dan Yusuf Qaradhaw membolehkan seni teater dengan persyaratan yang musti dipenuhi. Persyaratan tersebut antara lain, tidak ada sentuhan antara lelaki dan wanita yang bukan muhrim. Nah, bayangkan saja bila ada peran seorang ayah dan anak perempuannya, tapi si anak perempuan tidak boleh bersalaman dengan ayahnya dengan menyentuh tangannya. Terserah naskah meminta apa, tapi di dunia nyata mereka bukan muhrim.
Syarat selanjutnya, tak ada laki-laki yang menyerupai perempuan, begitu juga sebaliknya. Jadi, nggak ada cerita ada peran transgender di dalam drama. Pokoknya perannya ustad, anak pesantren dan yang baik-baik. Syarat selanjutnya, tidak boleh ada gambar makhluk bernyawa. Nah itu juga sedikit sulit dihindari, bukan. Masih ada juga syarat-syarat lainnya yang sulit diakomodir oleh seni teater.
Kesimpulannya, secara umum banyak yang mengatakan bahwa Islam dan Seni Teater seperti air dan minyak, atau lebih tepatnya seperti air dan api. Pendapat pertama, tentang seni teater yang mutlak diharamkan, bahkan dipegang oleh banyak pemeluk Islam yang akhirnya melihat para seniman teater sebagai "kafir".
Lantas bagaimana? Orang-orang teater memiliki misi dalam setiap pentasnya. Ada yang ingin menyampaikan kritik sosial, ada juga yang menyampaikan aspirasi dan pesan dari rakyat, minimal mereka punya misi untuk menghibur. Panggung teater juga menjadi panggung yang universal. Sangat jarang ada pertunjukan teater yang mengkhususkan satu suku, agama dan lain-lain untuk menjadi pemain atau penonton.
Sedangkan Islam juga menyerukan hal yang sama. Perdamaian, persamaan serta kesetaraan hak dan kewajiban, juga menjadi manusia yang sebenar-benarnya, berguna bagi diri sendiri, keluarga juga orang lain. Islam rahmatan lil alamin, dan seni menyatukan semua perbedaan. Apakah itu bisa berjalan beriringan?
Ada lagi yang berpendapat, kalau ada salah satu yang mau mengalah, maka mereka berjalan beriringan. Dan kalian tentu tahu, bila agama bertemu seni, mana yang harus mengalah? (ai/pojokseni.com)
#edisiramadan