Advertisement
Mbah Rah demikian nama singkatnya yang di kenal oleh masyarakat setempat.
Mbah Rah hidup sendirian dengan rumah gubuknya yang kecil dan sedikit halaman yang ditumbuhi rerumputan, di suatu desa kecil di pinggiran Kabupaten Tulungagung. Sebuah desa kecil yang orang akan merasa terasa adem ketika memasuki kawasannya.
Di mata masyarakat lingkungan sekitar beliau tinggal, Mbah Rah dianggap hidupnya sebatangkara, tanpa ada sanak saudara satupun yang menemani beliau. Keseharian hidup beliau serba pas-pasan sekali, bahkan untuk sekedar mencukupi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Tak jarang juga terlihat kekurangan.
Masyarakat juga mengenal Mbah Rah sebagai sosok perempuan tua yang masih cukup gesit dan tak bisa diam, apalagi menyerah dengan keadaannya tersebut. Tiap pagi usai subuh, Mbah Rah selalu pergi ke pasar untuk mencari sisa bongkaran dari truk sayuran yang oleh pemiliknya sudah dianggap tak layak untuk dijual atau diberikan pada para langganannya. Lalu oleh Mbah Rah di kumpulin untuk beliau jual lagi di dekat pintu masuk pasar.
Karena jualannya hanya barang sisa dagangan dari truk, sehingga tak jarang para pembeli itu sesungguhnya hanya ingin memberi uang pada Mbah Rah atas usahanya yang tak kenal menyerah. Tak jarang juga dagangan yang beliau tungguin itu tidak laku. Sisa Barang dagangan sayur yang tidak laku, beliau bawa pulang untuk dimasak dan dimakan sendiri. Begitu setiap hari rutinitas Mbah Rah pada tiap pagi.
Wijaya bisa dikatakan adalah seorang pemuda, meskipun umurnya sudah mendekati paruh baya, karena tubuh dan pikirannya yang selalu enerjik, perasaannya cukup lembut, mudah tersentuh apalagi ketika dia melihat dan dirasa ada ketidak adilan yang sedang mendera seseorang. Wijaya bekerja di suatu instansi yang bergerak di bidang pendampingan masyarakat, sebuah pekerjaan yang menurutnya pas dengan cita-citanya yang selalu ingin membantu orang lain.
Sang itu begitu terik dan sangat gerah seolah melumpuhkan saraf dan sendi, sehingga menjadi terasa begitu lelah, lemah dan malas untuk menjalani aktifitas di jalanan. Wijaya yang hari itu sedang merasakan kegelisahan tapi tak tak mengerti apa yang menjadi kegelisahannya, juga sedang berada di jalanan dengan mobilnya yang tak terawat memutuskan untuk berhenti di suatu warung, guna sekedar istirahat sebentar sembari minum kopi dan menyalakan sebatang rokok untuk menenangkan pikiran rasa jenuh dan kegelisahan yang sedang menguasai dirinya.
Ketika sudah berada di dalam warung tanpa sengaja Wijaya mendengar dua orang ibu-ibu sedang menceritakan kondisi seorang nenek yang tinggal di gubuk kecil fan reot yang terletak di pinggiran desa mereka.
Wijaya pun berusaha untuk lebih mendekat agar semakin jelas terdengar komunikasi kedua orang tersebut. Setelah mendengar banyak cerita kedua orang tersebut tentang sosok nenek yang berada di pinggiran desa mereka, Wijaya coba menghampiri kedua Ibu tersebut lalu memberanikan diri untuk bertanya.
"Maaf bu, boleh saya bertanya?" Tanya Wijaya dengan santun pada kedua ibu tersebut.
"Iya mas, monggo, tanya tentang apa ya?" Jawab salah seorang ibu.
"Maaf ibu tadi bercerita tentang seorang nenek yang dalam kondisi serba kekurangan kah?" Wijaya melanjutkan pertanyaannya tersebut.
"Oh iya mas, kenapa kok menanyakan tentang Mbah Rah, mas?" Si ibu itu menjawab dengan pertanyaan pula pada Wijaya.
"Oh namanya Mbah Rah? Boleh saya tahu tempat tinggal beliau?" Tanya Wijaya lagi yang makin penasaran.
Si ibu itupun menunjukkan jalan arah ke pinggiran desa tempat Mbah Rah tinggal. Setelah mendapatkan petunjuk yang di rasa cukup detil Wijayapun buru-buru pamit pada ibu-ibu tersebut.
"Terimakasih bu atas cerita dan petunjuknya, saya pamit, sekali lagi saya ucapkan terimakasih" ucap Wijaya.
Sambil menunggu hilangnya rasa lelah dan redanya terik siang itu, Wijaya melanjutkan minum kopi dan menikmati sebatang rokok yang di hisapnya pelan-pelan. Wijaya mulai kepikiran dan coba menerawang tentang kondisi dan keberadaan Mbah Rah tersebut, dia coba-coba membayangkan kira-kira bantuan seperti apa yang akan dia berikan pada nenek renta dan miskin tersebut. tak terasa sudah lebih dari hampir 2jam Wijaya berada di warung tersebut, dan terikpun juga sudah jauh mereda, dia pun ternyata sudah menghabiskan beberapa batang rokoknya. Lalu dia pamit pada pemilik warung tersebut
"Bu terimakasih, maaf sudah kelamaan nongkrong di warungnya" ucap Wijaya dan diapun beranjak dari warung tersebut.
Wijaya menyalakan mesin mobilnya lalu tancap gas untuk menuju pinggiran desa yang di ceritakan kedua ibu-ibu tadi, dia ingin segera membuktikan tentang keberadaan nenek yang bernama Mbah Rah itu. Sepanjang perjalanan pikirannya terus saja mengarah pada Mbah Rah, entah kenapa dia menjadi sangat tertarik untuk bisa bertemu dengan Mbah Rah, sebuah ketertarikan yang aneh, karena tiba-tiba saja itu muncul ketika baru saja masuk ke warung kopi dan mendengar kisahnya dari kedua ibu tadi.
Beberapa saat kemudian sampailah Wijaya di pingguran desa, lokasi yang di tujunya, dia ingin sekali segera menemukan fakta dari cerita tadi dan benar saja, terlihat seorang nenek yang sedang membersihkan rumput yang sudah meninggi di pelataran depan rumahnya yang kecil dan reot.
"Assalamualaikum Mbah?" sapa Wijaya.
"Alaikumsalam.. Ada apa nak? Monggo masuk?" Jawab si Nenek.
"Mbah maaf saya ada sedikit keperluan sama panjenengan, bisa ngobrol sebentar saja mbah ?" kata Wijaya yang bingung darimana harus memulai perckapannya.
"Inggih monggo nak?" jawab si nenek.
"Begini mbah, saya dari sebuah institusi pemerintah yang mau mengajukan bantuan berupa kambing dan sembako untuk panjenengan Mbah ?" Wijaya memulai percakapan dan coba menjelaskan maksud kedatangannya.
"Kambing bisa mbah rawat atau mbah jual terserah mbah, untuk sembakonya kami akan kirimkan setiap bulan untuk kebutuhan sehari-hari panjenengan" lanjut Wijaya yang merasa sangat iba dan trenyuh melihat kondisi Mbah Rah yang yang sangat sepuh dan berjuang sendirian untuk mempertahankan sisa hidupnya.
Tapi apa yang di dengar dari jawaban Mbah Rah ini?
Sungguh begitu mengagetkan siapapun yang menemuinya, apalagi Wijaya yang mendengar sendiri ungkapan Mbah Rah.
"Oh iya, terimakasih nak sudah mau membantu si mbah, tapi maaf si mbah belum bisa menerima bantuannya, si mbah merasa hidup si mbah sudah sangat cukup dari apa yang sudah si mbah dapatkan untuk kebutuhan hidup sehari-hari, mungkin lebih baik bantuannya di teruskan kepada orang yang lebih membutuhkan saja nak ?! Maaf nak ya? Bukannya si mbah tidak mau menerima bantuannya, tapi si mbah sudah merasa cukup" ungkap si mbah sambil duduk di dingklik yang terbuat dari bambu.
Alam seolah terdiam, Wijaya tertegun dan tak sanggup berpikir dan berkata apapun, semua terasa menjadi sunyi, pandangan seolah menjadi kosong.Apa yang ada dalam pikiran Wijaya sepanjang hari itu, juga apa yang dia lihat dari kondisi si Mbah Rah, benar-benar begitu bertolak belakang dengan apa yang di sampaikannya.
Mbah Rah yang dilihatnya sangat miskin dan butuh bantuan itu, ternyata justru merasa sudah berkecukupan. Aneh dan benar-benar manusia yang sangat aneh, pikirnya. Di tengah kondisi zaman yang sangat materialistis seperti ini, dimana orang yang sudah cukup kaya pun masih dengan rakus mengambil hak orang lain, kenapa justru Mbah Rah yang sangat miskin merasa sudah berkecukupan dalam hidupnya?
Berkecamuk pikirannya, yang tanpa dia sadari dia telah melamun seolah tersihir oleh ungkapan Mbah Rah tadi. Wijaya yang terlihat diam menerawang, di sentuh pahanya oleh tangan renta yang kasar namun terasa lembut itu. Diapun tersadar dan sambil menggeser posisi duduknya yang sebenarnya sudah mapan itu, dia bicara sambil membungkukkan badannya tanda dia sangat menghormati si mbah tersebut.
"Inggih, ngapunten Mbah sudah mengganggu panjenengan, saya pamit pulang dulu" ucapnya.
"Inggih nak, hati-hati di jalanan ya" seru Mbah Rah mempersilahkan dan mengingatkan.
Sore itu dia merasakan langit begitu cerah dan terlihat begitu luas, ada rasa tenetram yang mengaliri jiwanya.
Akan tetapi di satu sisi dia tersadar dan merenung. "Semua pandangan dan pikiranku benar-benar terbalik" gumamnya. Muncul pertanyaan yang selalu menyelimuti sepanjang perjlanan pulang hingga di hari-hari berikutnya.
"Dimanakah *Letak Hakekat* yang di namakan *Kebahagiaan* itu ?.
Nashir Ngeblues
Banyuwangi - Malang - Paiton, Mei 2018