Advertisement
pojokseni.com - Membuka awal tahun ini dengan sebuah mitos. Sebuah komunitas baru yang muncul di Provinsi Riau sengaja bermain pada ranah mitos dan akar tradisi. Muatan dan kearifan lokal ditunjukan sebagai cara ‘merangkak’ yang baik sebagai bayi yang baru lahir di dunia kesenian dan pertunjukan. Rumah Kreatif Suku Seni Riau membuat babak baru dalam pertunjukan teater di Riau. Biasanya Anjungan Seni Idrus Tintin menghadirkan pertunjukan drama bangsawan, maka kali ini sebuah komunitas yang baru sengaja mengangkat sebuah surealisme teror bagi para penontonnya.
Naskah yang ditulis serta disutradarai oleh Marhalim Zaini, S.Sn.,M.A ini diperkuat oleh sekitar 60-an orang yang akan pasang badan menaja pertunjukan yang berdurasi satu setengah jam ini. Setiap adegan dipenuhi dengan teror dan teror. Setelah menjalani proses latihan semenjak bulan oktober dan akan dipentaskan pada 22-24 Februari 2018 di Anjungan Seni Idrus Tintin Pekanbaru. Proses merupakan sebuah untuk menjadi waras di tengah keinginan orang-orang lain merusak seni dengan keinginan dan hasrat politik. Tema yang diangkat pementasan ini pun sengaja menjadi Sarkasme ‘kuasa’ oleh beberapa oknum di segala lini kehidupan.
Pertunjukan teater-puisi “Dilanggar Todak” adalah sebuah tafsir bebas dari mitos (cerita rakyat) bertajuk “Singapura Dilanggar Todak” yang terdapat dalam kitab Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). Sebuah kisah tentang bencana yang menyerang Singapura, berupa ribuan ikan todak yang terbang dari laut, menikam bagai anak panah, dan membunuh banyak orang. Bencana disebabkan oleh kecemburuan Paduka Sri Maharaja terhadap ulama dari Aceh bernama Tun Jana Khatib, yang telah dituduh “bermain mata” dengan permaisurinya. Paduka murka, dan kemudian memerintahkan untuk membunuh Tun Jana Khatib. Tak lama berselang, todak pun menyerang. Paduka memerintahkan rakyatnya memasang pagar betis di sepanjang pinggir pantai sebagai benteng. Namun, korban justru semakin banyak berjatuhan. Sampai kemudian tiba-tiba seorang anak kecil bernama Hang Nadim muncul (yang dalam versi cerita BM. Syamsuddin, anak ini bernama Kabil). Anak ini pun berkata (sebagaimana versi BM. Syam);
“Hamba bernama Kabil, datang dari hulu Bintan Penaungan. Hamba hidup di pinggir laut, Hamba tahu betul sifat ikan todak. Yang dapat melumpuhkan serangannya bukan betis manusia, tetapi batang pohon pisang. Olah karena itu, hamba mohon agar Singapura ini dipagar dengan batang pohon pisang, Tuanku...”
Saran itu, dilaksanakan oleh Paduka Sri Maharaja. Dan ikan todak pun tertancap di batang pohon pisang. Ribuan ikan todak mati. Berpesta poralah orang senegeri Singapura. Namun, setelah semuanya aman, Raja justru menerima hasutan dari orang-orang dekatnya, yang mengatakan bahwa anak yang pintar itu kelak akan berbahaya bagi kerajaan. Dalam Sulalatus Salatin disebutkan, “
“Tuanku, budak ini jikalau sudah besar niscaya besarlah akalnya. Baiklah ia kita bunuh....”
Maka Raja pun termakan hasutan. Satu versi menceritakan, anak ini memang dibunuh. Versi yang lain menceritakan bahwa anak ini tidak langsung dibunuh, akan tetapi dimasukkan terlebih dahulu ke dalam sebuah kerangkeng besi dan diikat dengan rantai besi, lalu dibuang ke perairan Selat Sumbu, yang terletak antara Singapura dan Pulau Batam.
Dalam pertunjukan teater “Dilanggar Todak” kisah tersebut tidak secara utuh diceritakan kembali di atas panggung. “Todak” adalah sumber konflik, sumber bencana, yang ada di mana-mana. Todak, dalam “Dilanggar Todak” telah menjelma sesuatu yang misterius, yang tak kasat mata, yang dilihat tiada, tapi dirasa terus merajalela. Namanya terus disebut orang-orang, Lalu siapakah atau apakah “Todak” itu sesungguhnya?
Sebagaimana sebuah tafsir bebas, cara kerja penciptaan teks dan panggung “Dilanggar Todak” adalah proses keluar-masuk, dari sejarah ke mitos ke realitas kekinian. Proses tersebut, bisa jadi, berkelindan dalam keliaran yang jauh, tapi tetap kembali ke muara: oto-kritik atas diri. Maka simbol-simbol bermain sangat dominan dalam peristiwa pertunjukan teater ini. Kata-kata (teks verbal) kadang hanya lalu-lalang untuk sekedar menyambung narasi, memperkokoh persitiwa, atau bahkan ia menjadi simbol itu sendiri. Oto-kritik itu bisa jadi berbunyi; “Jangan membunuh masa depan hanya karena hendak kembali ke masa silam.”
Maka, sebutan “teater-puisi” secara konsepsional dapat merujuk ke sana. Selain bahwa pertunjukan ini juga bersumber dari puisi “Dilanggar Todak, Mitos-mitos Kota Pendurhaka” karya Marhalim Zaini (dimuat di Kompas). Boleh jadi, “teater-puisi” adalah juga sebuah ruang pencarian bentuk-bentuk estetika baru dalam wilayah yang lebih luas, yang mencoba mempadu-padankan antara puisi dan teater. Boleh jadi juga, “teater-puisi” adalah sebuah istilah untuk kemudian saling meniadakan, dan melebur menjadi satu entitas baru, yang mungkin belum bernama. Penasaran? Saksikan pada 22-24 Februari 2018 di Anjungan Seni Idrus Tintin Kota Pekanbaru. (**)