Advertisement
Rudolf Puspa di Lamongan |
Oleh : Rudolf Puspa
Membuka catatan ini aku ucapkan salut dan bangga bahwa teater Roda dari universitas Islam Lamongan hari ini telah menyelenggarakan lomba teater antar pelajar se Jawa Timur untuk yang ke-22 kalinya. Sebuah prestasi yang layak mendapat apresiasi yang tinggi. Demikian pula kepada pihak Universitas yang memberi ruang bergerak bagi sanggar teater Roda di kampusnya yang menerima sejumlah dana tetap tiap tahunnya untuk kegiatan teater Roda agar selalu bernafas dan berkarya.
Sebanyak 25 grup teater telah mendaftarkan diri dan dalam pelaksanaannya satu grup tidak hadir sehingga tidak mendapatkan penilaian dewan juri yang terdiri dari tiga seniman teater yang tentunya dapat diyakini kenetralannya dalam menilai. Mereka adalah: Bambang Purnomo Setyo, M.Pd., Mahrus Ali, Rudolf Puspa. Para juri bekerja sepenuh hati selama tiga hari yakni 10-12 Januari 2018 mulai jam 09.00 hingga 16.00 di gedung olahraga yang baru 80 persen selesai dibangun. Ini juga merupakan yang pertama kali teater Roda menggunakannya.
Selanjutnya, Rudolf Puspa memberikan workshop teater bagi pelajar yang ikut lomba tanggal 13 Januari 2018 dari jam 09,00 hingga 16.00 wib. Bersamaan dengan acara lomba juga pada tiap malamnya ada parade teater oleh kelompok teater kampus di Jawa Timur yang dilanjutkan dialog antara penonton dengan pengisi acara.
Puncak acaranya adalah penutupan dengan pentas oleh tuan rumah yakni teater Roda dan selanjutnya pengumuman pemenang lomba sekaligus penyerahan hadiahnya. Sebelum memberikan catatan kepada para peserta lomba ada baiknya saya sampaikan catatan secara umum terlebih dahulu. Sudah selayaknya evaluasi atas hasil kerja diadakan untuk dapat melihat sejauh mana kelebihan dan kekurangan kerja kita dan menjadi dasar bagi penguatan di kegiatan selanjutnya.
CATATAN UMUM.
1. Pertama saya sampaikan rasa gembira saya melihat dan menikmati sajian pentas drama oleh para pelajar tingkat sma di Lamongan. Para pemula dalam bermain teater telah menampakkan satu kenyataan bahwa remaja Indonesia khususnya di Jawa Timur ini cukup banyak jumlahnya yang menyukai kegiatan teater. Bukan sekedar ikut bermain namun saya rasakan ada “keasyikkan” bermain teater. Ini sungguh menggembirakan dan saya acungkan jempol untuk kalian semua. Asyik bermain teater adalah modal utama yang sangat baik bagi meneruskan langkah-langkah berteater.
2. Sebagai pemula tentu harus melewati tangga terbawah yang dinamakan teknik elementer bermain drama. Teknik awal ini memang perlu bimbingan para pelatih sehingga para pemula benar-benar mengenal, mengetahui dan berlatih secara penuh agar ketika memainkan sebuah peran maka hal-hal yang sifatnya teknis bukan menjadi gangguan lagi.
Hal-hal yang sering disebut elementer adalah penguasaan dua kekuatan sebagai modal pemain drama yakni olah fisik dan olah rasa. Fisik akan menyangkut teknik vocal, pernafasan, bentuk, gerak, bunyi, komposisi, bloking, yang semuanya merupakan latihan untuk membentuk sikap tubuh yang enak dipandang.
Selanjutnya olah rasa melatih daya rasa akan keindahan, kepekaan dalam menangkap karakter peran serta mengexpresikan. Mengolah daya imajinasi, daya abstraksi. Ini justru merupakan kekuatan utama dalam berperan. Ini adalah mesiu dari peluru yang ditembakkan agar mencapai sasaran yang tepat dan terasa oleh yang ditembak. Jangan sampai suaranya kuat dan jatuh jauh sebelum sampai sasaran.
Dalam hal ini memang hampir rata-rata pemain masih perlu menambah waktu untuk berlatih dan berlatih. Bagaimana menggerakkan tangan dan kaki yang kebanyakan terasa kebingungan. Daya dengar dan lihat masih banyak yang lemah sehingga ketika selesai mengucapkan dialog maka tugas selesai. Diam tanpa tau harus apa selain menunggu waktu berdialog lagi. Dialog itu harus ada korelasi, kohesi, agar terjadi komunikasi yang terus menerus.
3. Penguasaan peran sebagian besar sering terlihat lancar dalam hal hafalan. Untuk hafalan saya acungkan jempol. Namun diperlukan lebih sekedar hafal. Dalam berbicara seorang pemain bukan hanya mengucapkan yang tersurat di naskah namun juga yang tersirat. Ini hal yang rata rata masih kering sementara justru yang tersirat menjadi kekuatan sebuah ucapan.
Untuk itu perlu sebanyak-banyaknya membedah peran. Apa siapa mengapa dimana dan bagaimana peran yang dimainkan. Dengan mampu menjawab lima pertanyaan untuk perannya maka sedikit banyak akan memiliki kedekatan dengan perannya. Tidak semua biografi peran ada tertulis dalam naskah sehingga pemain harus mampu mengorek hingga sedalam-dalamnya dan seluas-luasnya.
Walaupun kadang tidak ada dalam ucapan tapi perlu untuk peguatan. Misalnya peran umur berapa, jenis kelamin, lahir dimana, orang tuanya, kerja atau pelajar, kelakuannya, sifatnya, warna kulit tubuh, rambutnya, hingga agama atau kepercayaannya dsb dsb. Dari jawaban semua pertanyaan yang lima itu maka pemain akan kenal siapa perannya sehingga mencari akal untuk menyelami misalnya dengan observasi keluar jika peran itu tidak ada dalam diri pemain.
4. Pemilihan pemeran atau casting tentu sangat perlu pertimbangan yang masak. Bisa saja dengan cara reading kemudian para pemain diminta memilih dengan memberikan argumennya. Selanjutnya sutradara atau pelatih yang akan mengeksekusinya. Pelatih tentu memiliki kepekaan yang lebih dalam menentukan casting. Kenal karakter pemain dan peran sehingga bisa melihat kemungkinan terbaik atau terburuk bagi seseorang pemain dalam memainkan peran yang diberikan kepadanya. Bagi saya akan lebih baik memberikan peran yang problematiknya tidak terlalu jauh dengan sang pemeran.
Anak umur 16 tahun diberikan peran umur 70 tahun tentu akan besar kendalanya kareena akan sulit baginya mengeduk pengalaman yang belum ada dalam dirinya. Problem selingkuh, kesetiaan suami istri, tentu merupakan problem yang tidak mudah. Remaja yang umumnya hanya berpikir untuk exist di umur2nya itu akan tepat jika perannya memang tentang sifat heroik, tantangan, sok hebat, pacaran yang tak mendalam, putus “cinta”, persahabatan anak muda, kegalauan sekolah, pertentangan dengan orang tua. Ini hal2 yang dekat dengan mereka yang jika mendapatkan peran konflik seperti itu bisa diharapkan menjadi hidup dalam memerankan.
5. Daya rasa masih besar menjadi kendala dalam memerankan peran dalam pementasan ini. Melatih daya rasa memang sangat sulit walau tiap manusia tak pandang umur pasti punya “perasaan”. Daya rasa inilah yang menggerakkan apa yang disebut inner action yang justru menjadi darah atau rohnya sebuah pemeranan. Sudah menjadi hukum alam bahwa jika inner action benar maka fisik akan menglair saja mendapat dorongan dari dalam.
Maka mengolah kekuatan dimensi ketiga sangat diperlukan dilakukan secara terus menerus. Bila ada waktu dua jam latihan maka porsi olah rasa sejam. Maka lama-lama akan makin berkurang seiring makin pekanya sang pemain. Latihan dramanya tidak selesai setiap berlatih tak apa, tapi latihan olah rasa yang selesai akan membentuk kepekaan pemain sehingga dengan sendirinya akan mampu memerankan peran walau latihan dengan peran tidak banyak waktunya.
Kelemahan rasa akan terlihat ketika adegan harus tertawa maka yang kita dengar hanya suara ha ha ha ha belaka namun tidak terasa tertawa sesungguhnya. Saya menyadari bahwa acting tertawa dalam pementasan adalah acting paling sulit. Tertawa pun terbagi macam-macam misalnya tertawa geli, tertawa sinis, tertawa lucu dsb. Jika tertawa hanya ucapan haha saja maka ketika ucapkan kata-kata jadi terhenti tawanya.
Padahal dalam kenyataan hidup kan tidak begitu. Dan ngomong sambil tetap tertawa bukan mudah memang. Demikian juga rasa marah, rasa sayang, rasa benci, rasa sedih, rasa kagum, rasa berharap dan sebagainya umumnya belum terkuasai.
6. Daya imajinasi juga merupakan kendala yang cukup besar bagi para pemula. Ini terlihat ketika melihat kawan main maka masih kelihatan ia melihat temannya sendiri, bukan melihat peran yang dimainkan temannya. Maka tak ada komunikasi yang berupa antar peran.
Jika sang peran sedang bicara atau memandang lawan mainnya maka harus melihat apa karakter lawannya. Peran orang takut bicara dengan lawannya yang berperan sebagai penjahat maka akan memunculkan cara bicara, gerak tubuh yang penuh ketakutan. Apalagi bagi pemeran tokoh yang supranatural. Misalnya jadi demit, setan, roh halus, malaekat, tentu memerlukan daya imajinasi yang sangat kuat. Tentu bentuk, gerak, suara sang peran ya tidak manusiawi adanya.
Cara berpikirnya harus hilangkan cara berpikir. logika manusia. Harus logika setan atau malaekat tentunya dan celakanya kita tak kenal mereka atau sulit mencari seperti apa bentuknya dan apalagi untuk berkenalan sehingga bisa observasi tentang mereka. Namun jika daya imajinasi pemain terasah maka pelan-pelan akan ketemu juga logika hidup setan dsb itu. Misalnya jika kita ikuti logika bahwa setan itu penggoda, jadi yang namanya penggoda ya nggak serem atau menakutkan dong.
Daya imajinasi akan memperkuat pengucapan. Misalnya mengucapkan kalimat “darah mengucur di seluruh tubuh” , maka pemain harus bisa melihat saat itu darah yang warnanya merah sedang mengucur di tubuh. Tubuh siapa dan kenapa sampai mengucur juga tergambar dalam ucapannya. Kata api misalnya akan berbeda-beda cara mengucapkan dan mengexpresikannya sesuai dengan api apa itu. Api kompor? Api kebakaran hutan? Api bom meledak? Api kembang api? Api asmara? Jadi satu kata atau satu kalimat yang sama namun berbeda pengertiannya sehingga akan berbeda cara pengucapannya.
7. Artistik di panggung seperti dekor, set property, lampu, ilustrasi musik, costume, make up tentu bukan sekedar pajangan di panggung atau di tubuh pemain. Maka pemain mesti kenal apa itu arti dekornya, kenapa bajunya hitam dan tidak putih, kenapa wajahnya di tuakan, kenapa musiknya hanya gitar atau suara dentuman, kenapa lampunya redup, kenapa harus bawa pedang.
Dan masih banyak kenapa kenapa yang harus dijawab sang pemain. Sehingga semua ada hubungannya dengan pemain. Artistik yang disediakan oleh para designer hanya merupakan pendukung bagi pemain untuk lebih memantapkan karakter yang dimainkan. Tentu saja ini menjadi tugas sutradara untuk sering mengajak pemainnya untuk mengenal art yang mengelilinginya. Sayang sekali jika wajah di make up tua, costumenya bermotif nenek2 atau kakek2, namun sang pemain tampak masih belasan tahun. Perlu kenal dan berlatih yang benar untuk itu.
Seperti jika mendapat peran tua misalnya 70 tahun selalu langsung bongkok lalu suara serak dan seperti tercekik kesakitan. Padahal perannya orang yang segar bugar. Saya juga sudah umur 70 tahun tapi kok nggak seperti itu ya? Nah ini kan kesalahan yang sudah salah kaprah selama ini dan terdiamkan saja. Tentu perlu dilatih dengan teori “magic if”. Jika si anak 16 tahun nantinya berumur 30, 50, 70 atau 100 tahun apa yang berubah pada dirinya? Suaranya, jalannya, semangatnya? Kalau ia kebetulan sehat terus menerus maka akan seperti apa jadinya?
Jadi kesimpulan yang saya dapatkan tampaknya anak2 muda remaja kita perlu mendapat pelatihan yang lebih banyak lagi tentang bermain drama bagi pemula. Untuk mencapai target yang diinginkan maka sebaiknya pelatih bisa menciptakan suasana pelatihan yang segar menyenangkan sehingga para pemula merasa rugi jika tidak hadir.
Pelatihan justru akan menjadi kebutuhan karena menemukan rasa senang dan terlebih jika dalam berlatih teater maka segala kegalauan, stresnya sebagai pelajar bisa terexpresikan dan rasanya jadi plong. Maka teaterpun akan semakin membuktikan bahwa bisa menjadi sarana bagi pendidikan karakter para pelajar yang masih mencari jati dirinya.
Sebenarnya saya sudah menulis buku tentang berlatih bagi pemula menjadi pemain drama dan saya bawa ke acara lomba di Lamongan. Namun mungkin karena kesibukan lomba sehingga tak banyak yang membelinya.
Terima kasih atas waktunya untuk membaca catatan saya dan jika ada hal-hal yang perlu ditanyakan maka silahkan.
Jakarta 16 Januari 2018.
Rudolf Puspa
Email: pusparudolf@gmail.com
(bersambung)