Advertisement
Oleh : Rudolf Puspa (Teater Keliling, Jakarta)
pojokseni.com - Ngamuk. Sebuah kata yang dicari terjemahan bahasa asingnya hampir-hampir nggak ketemu. Bahasa ada merupakan terjemahan dari sebuah laku yang ada. Jika kata amuk tak ada dalam kamus bahasa di luar negeri kita wah apa berarti yang suka mengamuk hanyalah bangsa kita? Wah, perlu penelitian yang seksama. Jika demikian halnya, maka alangkah biadabnya bangsa kita.
Mari kita kembali melihat masa lalu dimana bangsa diperintah kekuasaan yang otoriter walau selalu didengungkan menjalankan UUD 45 dan pancasila secara konsekwen. Untuk itu ditunjukkan bukti nyata dengan adanya lembaga penataran P4 waktu itu dimana seluruh penduduk melalui jalur masing-masing harus mengikutinya. Tak terkecuali akupun mengikuti dalam waktu sebulan. Bahkan lulus untuk dapat menjadi pengajar P4 setingkat gubernur. Melalui penataran ini justru menjadi terbuka pemahaman bahwa ternyata sangat banyak penyelewengan karakter yang menyimpang dari nilai-nilai pancasila namun sangat pandai memanipulasikannya. Hadirlah manusia Indonesia yang justru menjadi munafikun disegala bidang. Tetap saja hidup dalam tatanan sosial yang hanya memikirkan kepentingan diri sendiri. Gotong royong yang adalah roh pancasila justru hilang.
Kekuasaan otoriter yang berlangsung 32 tahun bisa tumbang di tahun 1988 bulan Mei. Tumbang namun rohnya masih gentayangan dan terkontrol oleh dinasti penguasa lama. Mereka masih memiliki harta kekayaan yang cukup kuat untuk melakukan goyangan-goyangan kepada siapapun yang sedang duduk di istana kepresidenan. Tak perlu disebutkan siapa mereka mereka namun setiap kita dapat merasakan.
Mereka akan terus menggoyang siapapun presiden hingga akhirnya lemas tak berdaya dan berkuasa tanpa nyali dan gigi. Tak ada yang bisa dibanggakan sedikitpun dari mereka mereka itu. Memang ada satu presiden yang berusaha akan mengadakan perubahan besar2an namun segera ditumbangkan. Layu sebelum berdiri kata pepatah kuno namun masih tepat.
Gunung berapi itu hingga kini masih hidup menjulang dan sesekali terjadi erupsi. Segala laku dramatik tiap kelompok akan selalu ditungganggi untuk tujuan mereka sendiri. Soal biaya tak menjadi halangan. Mau berapapun pasti tersedia karena mesin penghasil uang yang mereka miliki masih eksis. Mereka tetap masih bergerilya dan muncul melalui warna baju yang berbeda beda. Satu warna dibakar akan muncul warna lain karena toh yang terbakar hanya bajunya dan itu tidak penting. Belum ada penguasa yang mampu menjebol akarnya. Oleh karenanya akan selalu tumbuh kembali dan kembali lagi. Jangan jangan pakai semboyan mati satu tumbuh seribu. Luar biasa.
Bapak presiden yang sedang berkuasa kini tampak berusaha melawan radikalisme menurut istilah yang beliau pakai. Gaya yang dipakai adalah dengan menemui atau mendatangi atau mengundang berbagai tokoh masyarakat untuk makan bersama sambil membicarakan soal radikalisme. Bisa dipahami telah memulai awal yang tampaknya baik. Namun perlu disadari juga bahwa cara dengan dialog selama ini membutuhkan waktu yang bisa panjang atau singkat tergantung para tokoh yang diajak berbincang. Halangannya adalah tidak setiap orang mampu mendengar orang lain. Kita terlatih 32 tahun hanya mampu mendengar diri sendiri. Menilai kebenaran, keadilan, kesejahteraan dari diri sendiri. Yang tidak sesuai dengan keinginan dirinya ya pasti tidak akan disetujui.
Kembali pada persoalan radikalisme maka kita sebaiknya melihat system pendidikan kita baik di sekolah maupun di keluarga apa sudah mendidik anak untuk tidak mengumbar daya kekerasannya? Tentu kita harus sepakati dulu apa saja yang termasuk hal yang bisa menimbulkan sifat kekerasan? Apa dirumah sejak kecil sudah dikenalkan sikap orang tua yang otoriter, yang merasa benar, yang harus didengar, yang harus dituruti kemauannya, yang banyak larangan, dsb dsb yang kesimpulannya ya itu tadi orang tua yang otoriter karena tanpa sadar punya dendam telah diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya. Saya sering katakan ini dendam turun temurun yang terjadi di bangsa kita. Di sekolahpun hampir sama.
Guru harus didengar, harus dihornati, diikuti perintahnya; jika tidak maka nilai bisa merah dan bisa nggak naik kelas. Dalam situasi kehidupan sosial di rumah dan di luar rumah yang tidak ditemukan kenyamanan, kebebasan berpendapat, sehingga tak punya mimpi karena ditutup oleh rasa marah, kesal, gundah tanpa ruang dan waktu untuk melampiaskannya. Maka muncul apa yang sering terjadi yakni kekerasan di jalanan yakni tawuran. Keroyokan, mengamuk bersama sehingga tak ada tampak anak muda yang kesatria. Mau debat, mau diperiksa, mau pemilihan selalu harus bawa masa yang bisa sampai ribuan.
Akhirnya isi pidato di depan pendukungnya ya hanya mengolok, mengejek, memaki hingga memfitnah lawannya. Istilah sekarang mengobarkan kebencian pada orang atau kelompok yang berbeda pendapat. Seolah2 jika pendukungnya banyak itulah kebenaran sejati. Akhirnya jika kalah debat, kalah di pengadilan langsung mengamuk mengatakan hakim tidak adil.
Tidak mengada ada bila harus menyimpulkan bahwa ajaran tanpa disadari 32tahun lamanya untuk hanya memikirkan diri sendiri juga mendidik orang selalu merasa dirinya benar. Kalau ini mengelompok bahkan mendirikan ormas bisa jadi akan menjadi ormas yang selalu merasa benar. Di tahun2 penguasa otoriter 32 tahun hal itu bisa ditekan dengan kekuatan militer yang jika perlu dilakukan dengan kekuatan fisik hingga senjata. Dan kini merebak bebas dan tiba2 merasa kuat karena memang tidak ada yang punya kekuatan meredam mereka. Celaka sekali jika justru pemerintah yang sah tak mampu meredam.
Niat melakukan perbaikan radikalisme sudah ada tampak. Kini tinggal pelaksanaannya dan itu butuh waktu. Melawan perangai yang sudah terlatih 32 tahun lamanya tidak mudah tentunya. Barangkali dibutuhkan waktu yang sama untuk itu sementara presiden hanya bisa berkuasa 10 tahun. Celakanya dalam 10 tahun akan selalu mendapat goyangan-goyangan dari mereka yang merasa akan terkena pembersihan besar-besaran radikalisme. Namun harus berani dan modal utamanya adalah menjadi pemimpin yang jujur dan bersih dari korupsi. Dengan demikian akan berani melawan siapapun karena tak punya rasa berhutang budi terutama soal penumpukan harta diluar yang halal.
Sebagai rakyat biasa, ayo bersatu mendoakan pemimpin yang sedang melawan radikalisme. Salamku.
Rudolf Puspa