Advertisement
Pertunjukan Teater Ekperimental "Legacy of
Dalideu" karya/sutradara Din Saaduddin Foto By Fikri |
Oleh Ikhsan Satria Irianto
“Ini
setelah aku berkunoung kepada anakku selama tujuh tahun, setelah itu hening! Tak
ada lagi yang berkunoung di Sungai Penuh!”.
pojokseni.com - Legacy of Dalideu adalah
sebuah karya teater eksperimental karya dan sutradara Saaduddin. Karya ini
merupakan capaian dari sebuah riset selama lebih kurang 10 tahun tentang teater
tutur yang ada di daerah Kerinci, Jambi. Pertunjukan yang berdurasi sekitar 40
menit ini dihelat pada hari rabu (15/11/2017) di Teater Arena Mursal Esten ISI
Padang Panjang. Pertunjukan teater ini, mencoba menyuguhkan kisah Dalideu dari
tradisi bercerita masyarakat Kerinci.Teater Eksperimental one man
show ini terselenggara berkat dukungan LPPMPP ISI Padang Panjang,
Sherli Novalinda Dance Laboratory, Himpunan Mahasiswa Program Studi Seni Teater
dan Himpunan Mahasiswa Kerinci ISI Padang Panjang.
Din Saaduddin atau yang akrab di sapa Didin, mencoba meramu tradisi kunoung secara
empirik sebagai ide penciptaan teater eksperimentalnya. Kunoung adalah
tradisi bercerita dengan gaya bertutur yang dilakukan secara turun-temurun oleh
masyarakat Kerinci. Dengan pengertian yang lebih sederhana, Kunoung adalah
cerita rakyat yang didongengkan.
Selama tujuh tahun, Didin rutin melakukan aktifitas berkunoung untuk anaknya,
dan inilah yang menginspirasi karya tersebut untuk dapat dinikkamti sebagai
sebuah tafsir baru dalam jagat literasi- bahwa mendongeng dapat dilahirkan dan
dilakukan melalui media baru –pertunjukan. Menurutnya, tradisi berkunoung tak
lagi eksis di antara perputaran roda modernisasi dalam kehidupan masyarakat
yang sudah kena imbas kemajuan teknologi yang sudah terdapat banyak aplikasi
literasi digital. Tak hanya penikmat dari tradisi berkunoung ini yang perlahan
lenyap, penceritanya pun telah sangat jarang dijumpai. Kegelisahan atas
problematika realitas inilah yang menggerakkan Didin untuk menghasilkan karya
teater eksperimentalnya yang bertajuk “Legacy of Dalideu”.
Dalideu sendiri adalah sebuah kisah di dalam
tradisi Kunoung yang menceritakan tentang sosok hantu yang
buruk rupa, ada pula yang menyebutkan Dalideu adalah sosok
manusia buruk rupa, jin yang jahat, atau makhluh gaip yang memiliki sifat
jahat. Berbagai tafsiran atas arti dari Dalideu inilah yang
membuat Dalideu menjadi unik dan memiliki ciri khas. Berbagai
macam persfektif masyarakat telah melahirkan berbagai macam presepsi pula atas
makna dari Dalideu. Karena mejadi suatu identitas mitos yang hidup
di tengah masyarakat Kerinci, nama Dalideu bahkan digunakan
sebagai branding dalam kegiatan ekonomi masyarakat setempat.
Intinya, cerita Dalidue lebih menitik beratkan pada tokoh
antagonis yang wujud dan sifatnya ditakuti anak-anak. Namun, Didin menemukan
persepsi baru dalam proses penelusurannya tentang Delideu. Dalideu hari
ini dipersepsikan sebagai sosok apa saja, dan hidup di tengah masyarakat
Kerinci. Dalideu juga tidak memiliki satu karakter tokoh yang
baku, dari anak-anak hingga orang dewasa memiliki tafsiran yang berbeda-beda
tentang arti dari Dalideu.
Proses ekplorasi dan ekperimentasi dari Legacy of Dalieu ini
menghabiskan waktu sekitar 4 bulan. Didin yang bertindak sebagai sutradara
sekaligus aktor, mencoba melakukan ekplorasi tubuh guna memperkaya vocabulary gerak.
Mengadopsi konsep mendongeng, membentuk tubuh menjadi wujud binatang-binatang
tertentu, menjadi landasan ekplorasi Didin dalam karya ini. Proses ekplorasi
tersebut dilalui untuk memenuhi capaian laku pentas yang Didin beri nama “Tubuh
Teater”.
Legacy Of Dalideu merupakan sebuah pertunjukan yang menjadi titik pertemuan pengalaman seorang ayah sebagai pendongeng dan anak, serta ruang pertemuan tubuh aktor-penari yang selama ini pernah terlibat beberapa garapan tari kontemporer bersama Sherli Novalinda di Sherlilab (sherli Novalinda Dance Laboratory). Sebagai sebuah proses awal, pertunjukan ini merupakan sebuah kerja laboratorium, karena masih dapat dipentaskan kembali dan dikuatkan kembali pada struktur garapan pertunjukan.
Legacy Of Dalideu merupakan sebuah pertunjukan yang menjadi titik pertemuan pengalaman seorang ayah sebagai pendongeng dan anak, serta ruang pertemuan tubuh aktor-penari yang selama ini pernah terlibat beberapa garapan tari kontemporer bersama Sherli Novalinda di Sherlilab (sherli Novalinda Dance Laboratory). Sebagai sebuah proses awal, pertunjukan ini merupakan sebuah kerja laboratorium, karena masih dapat dipentaskan kembali dan dikuatkan kembali pada struktur garapan pertunjukan.
Teks-teks pertunjukan yang disutradarai
Din Saaduddin disusun berdasarkan relasi terhadap dramaturgi yang memiliki
relasi dan dapat dipahami secara alur pertunjukan, tali temali yang berupa
sebuah instalasi yang dapat dilihat dari berbagai arah menyerupai jalan, sudut
pegunungan, dan tali-temali pengusir burung di sawah, tali temali yang tersusun
menyerupai pintu dan jendela, serta sebuah jangki,
sebuah tempat dari anayaman rotan yang sering dipergunakan oleh kehidupan
masyarakat Kerinci untuk beraktifitas ke ladang dan lainnya.
Dalam Legacy of Dalideu, tergambar sebuah garapan teater
eksperimental non instan. Kiranya proses yang ketat begitu mendapatkan
perhatian lebih oleh Didin sebagai pengkarya. Dalam konteks karya, Didin telah
melakukan riset panjang mengenai Delideu sebagai gagasan
karyanya. Tak hanya sekadar riset, Didin pun juga mencoba mendekati dan
mengenali keragaman budaya Kerinci tersebut dengan terlibat diskusi bersama
Sherli Novalinda (Koreografer) dan
Iskandar Zakaria (budayawan Kerinci-2010-2015)
Dalam konteks penyutradaraan, proses eksperimental dalam teater telah
ditekuni Didin sejak tahun 1996 bersama Yusril Katil. Dan dalam konteks pemeranan,
Didin yang memulai proses ekeprimental
semenjak tahun 1996 ini telah memulai melakukan kontruksi gayanya terutama
dalam garapan mempergunakan gerak tubuh teater denganh mengolah pengalaman
ketubuhan melalui proses dalam garapan tari kontemporer, kemudian berkolaborasi
selama 14 tahun bersama Sherli Novalinda Dance Laboratory. Hal itu telah
memberikan pengalaman dan pengetahuan Didin untuk memahami tubuh teater dan
tubuh tari.
Saaduddin bersama Legacy of Dalideu telah menggambarkan
secara ekplisit bahwa “Proses tidak akan mengkhianati hasil”.
Tubuh sebagai Teks Teater Tutur
Sebuah inovasi ditawarkan Didin dalam proses eksperimentalnya. Ia mencoba
mengkonversikan ataupun mengkombinasikan teater tutur dan Physical Theater -teater
tubuh. Dalam Legacy of Dalideu, Didin mencoba bertutur dengan tubuh
sebagai teksnya. Tubuh direkontruksi dan diekplorasi guna mencapai materi yang
kuat untuk menggantikan kata dalam tradisi teater tutur. Hasil capaian
ekplorasi tubuh dalam Legacy of Dalideu pun tidak sidikitpun
mengejar irama atau pola tertentu. Namun, daya hadir tubuhlah sebagai media penyampai
makna.
Legacy of Dalideu juga tak menihilkan dialog
verbal. Dalam beberapa fragment, di awal bagian, suara menggunakan bahasa
kerinci dengan berbagai dialek, seperti dialek Pulau Tengah, Kumun, Keliling
Danau, menyatu dalam satu resonansi. Tidak dapat dimengerti karena menggunakan
bahasa Kerinci yang merupakan budaya proto melayu. Namun, dialog verbal masih
dipakai guna memperkuat makna. Beberapa dialog yang dilantangkan
berulang-ulang, menggambarkan bahwa pada penggarapan eksperimentalnya, didin tak
hanya memilih tubuh sebagai media penyampaian maknanya, namun juga memilih
kata yang merupakan ciri khas dari tradisi bercerita dengan gaya bertutur.
Dengan tubuh yang ekspresif, dan menggunakan metode trance dalam beberapa
bagian geraknya, Legacy of Dalideu mencoba menyuguhkan
capaian pentas yang berbeda. Dengan menihilkan pemahaman tunggal, ekpresi yang
lahir sebagai laku melahirkan bentuk yang multitafsir. Sehingga Legacy
of Dalideu menyuguhkan makna yang berbeda-beda, tergantung pada persepsi
dan perspeftif penontonnya. Seperti halnya Dalideu sendiri yang tak
memiliki tafsiran tunggal dan mutlak. (isi/pojokseni.com)