Advertisement
pojokseni.com - Di Bengkulu, perkembangan teater masih begitu terasa. Meski hanya mendapat jatah "sedikit" di bangku sekolah, tapi setiap sekolah berhasil mengembangkan satu atau lebih grup teaternya. Bermula dari drama realis, lalu perlahan mewabah gejala drama postrealis. Sejumlah drama postrealis, mulai dari surealis, simbolis sampai absurd mulai menunjukkan diri di tengah gencarnya perkembangan drama realis dan sejumlah pertunjukan drama tradisional di berbagai grup teater remaja pada awal tahun 2000-an silam. Lalu, pertunjukan teater yang surealis, simbolis hingga absurd menjadi sebuah tontonan yang unik dan menarik, serta mendapat tempat utama di hati penggemar teater pada era itu.
Awalnya, iya, awalnya. Penonton teater yang dulunya rela menghabiskan uang untuk membeli tiket mulai dari Rp 5.000 sampai 50.000 per lembar demi menyaksikan pertunjukan teater. Penonton yang ingin hiburan, sebagai sarana hiburan diri, lalu duduk santai, tertawa dan menangis karena sebuah pertunjukan teater. Lama-lama, penonton yang seperti ini justru semakin jauh dari teater. Bentuk-bentuk teater yang bagi mereka begitu memusingkan dan membuat mereka justru harus berpikir lebih keras, dibandingkan pekerjaannya selama seminggu penuh, malah dianggap sebagai sebuah beban yang baru. Hasilnya, banyak kenalan saya yang mengaku menjauh dari pertunjukan teater. Bagi mereka, hanya kaum akademis yang seminggu tidak banyak beban, sajalah yang mampu menyaksikan pertunjukan itu. Jadi, bebannya hanya berpikir apa arti dari pertunjukan yang diberikan oleh grup teater yang sedang pentas di atas panggung.
Satu persatu, penonton teater menjauh dari pertunjukan teater. Di kota kecil seperti tempat saya tinggal, pertunjukan drama postrealis menghasilkan teater sebagai salah satu "benda aneh". Hanya orang teater saja yang menonton teater, bukan orang umum. Pernah mereka menyaksikan sebuah pertunjukan teater, yang dilihatnya adalah seorang dengan kakinya diikat ke tiang pelantang. Ada juga yang pentas monolog dengan seluruh tubuhnya terlilit tali. Mereka berteriak ke sana kemari, menyalahkan penguasa, birokrasi, sampai ada yang menyalahkan Tuhan. Mungkin ada sebuah kritik yang disampaikan, namun terlalu simbolik, jadi bahkan tak sampai ke orang yang dikritik. Tepuk tangan yang diberikan sehabis pertunjukan, bila tidak ingin dikatakan formalitas, maka anggap saja tepuk tangan menghargai jerih payah sang aktor yang membilit seluruh tubuhnya dengan tali, dan sebagainya.
Kembalinya Realisme dan Teater Tradisional
Salah satu pertunjukan drama di salah satu festival di Jakarta |
Lalu, pertunjukan teater semakin jauh dari penontonnya. Dari ratusan ribu penduduk di satu kota, hanya ada 300 orang yang maksimal menyaksikan sebuah pertunjukan teater. Dari angka tersebut, hanya 40 orang saja yang menyaksikannya dengan serius dan berkedut keningnya. Kemana sisanya? Mungkin masih duduk di kursi penonton, tapi pikirannya entah kemana. Ada yang swafoto, ada juga yang pulang.
Saat seperti itu, muncul kembali sejumlah pertunjukan drama realis dan sejumlah grup teater yang membawakan bentuk teater tradisional. Drama realis dihadirkan, agar teater mampu menjadi pesaing bioskop yang terus menawarkan film terbaru. Tentunya, Anda tahu kemana para penonton yang semakin jauh dari teater akan berlari, bukan? Apalagi, saat film tidak ada yang bagus, begitu juga film barat tak ada yang sedang menarik ditonton, maka drama realis muncul sebagai pesaingnya.
Drama realis, tentu memiliki penonton yang berbeda dengan drama post realis. Penonton drama realis, tidak melulu datang karena embel-embel anak teater, juga bukan karena ingin terlihat sebagai orang seni, atau malah datang karena membuat tugas kuliah dan sekolah. Beberapa di antara mereka datang karena memang ingin menonton sebuah pertunjukan teater. Beberapa di antara mereka datang karena ingin menangis, tertawa, tersenyum dan terkejut karena ulah para aktor di atas panggung.
Apa yang ditawarkan sutradara dan para pemain drama realis? Sensasi! Sensasi yang jauh berbeda ketika menonton bioskop. Sensasi ketika melihat pertumbuhan laku, hingga klimaks, lalu penurunan laku kembali. Sensasi ketika melihat wajah aktor yang marah, menangis, mengamuk, bersemu merah, merayu dan cemberut langsung beberapa meter di hadapannya. Sensasi ketika melihat langsung peluh aktor berjatuhan, air mata berlinangan hingga cinta yang bertebaran di atas panggung.
Konsekuensi dari sensasi tersebut adalah biaya, motivasi, teknik dan tenaga yang luar biasa. Biaya untuk dekorasi artistik yang harus realis. Motivasi dari para aktor untuk menampilkan yang terbaik agar penonton ingin kembali menyaksikan saat mereka pentas kembali. Teknik yang mumpuni agar pertunjukan tersebut bisa tersampai dengan baik dan diterima dengan baik pula. Tenaga yang luar biasa untuk proses, pembentukan karakter, sampai akhirnya berhasil menaklukkan naskah menjadi sebuah pertunjukan yang memukau.
Selain drama realis, pertunjukan teater tradisional juga mampu hadir kembali untuk para penonton teater yang sekarang sudah berbalik badan. Pertunjukan ala komedi stambul, atau teater bangsawan, atau ludruk, ketoprak, lenong, dan sebagai macamnya mampu menjadi hiburan yang melepas penat di akhir pekan. Hiburan berarti penyegaran diri bagi penonton. Penyegaran diri yang membuat tiket Rp 25.000 terasa tak begitu mahal. Penyegaran diri yang membuat penonton mau kembali lagi ke gedung pertunjukan bila ada pertunjukan selanjutnya.
Apakah drama postrealis sudah tidak mendapat tempat? Tentu saja, selalu ada tempat untuk apapun. Hanya saja, membangun sebuah bangunan di tanah yang berbatu dan bergoyang, maka mulailah dari membuat pondasi yang kuat. Cakar ayam, atau tumpukan batu gunung tentu masih belum berbentuk sebuah bangunan, bukan? Membuat sebuah pertunjukan postrealis di tanah yang teater sedang baru akan berkembang, bagi saya sama dengan membangun gedung besar dan artistik, tapi belum membangun pondasi yang kuat.
Penulis : Adhyra Irianto