Advertisement
Lembaga Setara Institute mengeluarkan data yang menyebut bahwa tindakan intoleransi di Indonesia selama 2017 (hingga September) sudah menyentuh angka 182 kasus. Masih ada tiga bulan yang akan berjalan, bisa dikatakan bahwa jumlah tersebut ada kemungkinan besar meningkat. Apakah ada penurunan dari tahun sebelumnya? Tidak! Malah meningkat! Hal yang sangat lucu, dibalik keberagaman Indonesia yang super kaya, masih ada tindakan intoleransi. Bahkan, kalau menurut penulis, justru lebih berani.
Kembali ke kota kecil tempat saya tinggal dan bertetangga dengan banyak orang yang memiliki suku, agama, ras dan kepribadian yang beragam, justru baik-baik saja. Dari kecil, sudah biasa berkunjung ke Natalan tetangga, atau Galungan teman dekat, sampai berkunjung ke rumah tetangga yang lain saat Waisak, kalau beruntung dapat angpao saat Imlek. Kemudian, ketika lebaran, tetangga dan teman-teman saya berkunjung ke rumah. Tidak pernah ada masalah, sampai akhirnya di pusat peradaban Indonesia, Ibukota negara, Jakarta, tindak intoleransi terjadi dan mendunia sekalipun, kami tetap sama, tetap natalan, galungan, waisak, imlek, lebaran tanpa masalah. Hanya ada polisi yang bertugas tanpa harus ada ormas yang mengawal gereja, menjaga vihara atau menjaga yang sedang shalat ied di setiap hari raya.
Toleransi Beragama |
Sebelum tahun 2010 misalnya. Anda bisa bekerja di mana saja di kota saya, tanpa harus menyebutkan apa agama Anda. Anda bisa bekerja di warung nasi Padang, toko China, sampai kuli proyek yang bos-nya beragama Nasrani. Tidak pernah ada masalah dan tidak akan pernah ada masalah. Waktu yang digunakan begitu produktif, bekerja dan mencari nafkah. Sampai suatu hari, beberapa mahasiswa dari daerah saya pergi ke Jakarta untuk ikut aksi yang benar-benar tidak ada hubungannya dengan daerah saya. Ketika pulang, tindakan intoleransi mulai perlahan-lahan memunculkan diri. Setidaknya di dunia maya.
Telinga saya rasanya berdenging, ketika melihat televisi. Seorang pengacara kondang, Eggy Sudjana, menyebut bahwa hanya agama yang dianutnya yang sesuai dengan sila pertama Pancasila. Yang lain, bubarkan. Ealah, dengan penafsiran pendek dan terburu-buru terhadap agama lain, bisa dengan berani mengeluarkan fatwa semacam itu. Tujuannya hanya untuk menyelamatkan ormas HTI yang notabene dibubarkan pemerintah lewat Perppu No 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.
Apa pendapat mereka yang tidak setuju? Mereka katakan bahwa ini adalah tindakan sewenang-wenang, alias kezaliman pemerintah sekarang terhadap umat agama tertentu. Hah, serius?
Masalah yang benar-benar membuat saya mual adalah mayoritas vs minoritas. Di Indonesia, kok ya baru-baru ini bisa kembali booming lagi. Di saat Singapura mendapatkan seorang Presiden dari golongan minoritas, London mendapat walikota dari golongan minoritas juga Rotterdam mendapat pemimpin dari golongan minoritas. Ketika demokrasi di dunia mulai menunjukkan titik cerah, lah kok di Indonesia kembali tambah ruwet masalah yang sama.
Media juga sangat berpengaruh untuk mengentaskan masalah intoleransi ini. Lewat media, tindakan intoleransi bisa dicegah, juga bisa diprovokasi. Pertanyaannya, bagaimana media, jurnalis, menanggapi permasalahan ini? Di jawab oleh Karllina Supelli, lewat pidato kebudayaan saat Ulang Tahun AJI, 7 Agustus 2017 di Hotel Aryaduta, Jakarta. (Baca di sini)
Siapa Minoritas Sesungguhnya?
Agama yang paling mendominasi di Indonesia adalah Islam. Tidak ada yang bisa menyangkalnya. Lebih dari 80 persen penduduk Indonesia memeluk agama Islam. Tapi, Islam yang mayoritas adalah muslim yang taat pada agamanya, taat pada aturan agamanya juga cinta terhadap tanah airnya. Itu muslim yang mayoritas. Kalau yang ingin mendirikan negara sesuai kehendak pribadi, merasa Pancasila hanya bersumber dari satu agama, merasa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanya milik satu agama, rasanya tidak banyak, kok. Yah, dari total 270 juta penduduk Indonesia dan sekitar 85% diantaranya adalah muslim, berarti setidaknya ada sekitar 229 juta penduduk Indonesia yang muslim, hanya berapa persen yang egois dan ingin negeri ini menjadi seperti kehendaknya? Paling cuma 7 juta, seperti angka yang diklaim ketika aksi pertama, pembuka aksi berjilid-jilid berikutnya.
Jadi, siapa yang minoritas? Ada yang demo terus mengatakan bahwa pemerintah sekarang seperti Firaun yang mendzalimi umat Islam. Nah, sekarang berapa masjid yang ada di kota Anda? Atau, di desa Anda? Atau di RT Anda? Untuk mahasiswa, berapa tempat shalat yang berada di kampus Anda? Mulai dari masjid, mushalah, langgar, bahkan ada setidaknya satu di setiap perumahan. Akses beribadah tidak terbatas. Tidak hanya Adzan, tapi juga mengaji bahkan nyanyian senandung asma Allah meraung lewat pengeras suara, berkeliling ke seluruh penjuru bersama angin. Setidaknya, setiap mendengar Adzan, Anda akan mendengar suara dari tiga masjid berbeda di satu tempat. Kita tinggal di Indonesia, bukan di Rakhine, bukan pula di Palestina.
Selama ini ada masalah? Tidak. Apakah Anda kesulitan untuk beribadah? Tidak. Apakah Anda dilarang untuk membangun masjid Anda lebih besar dan lebih besar lagi? Juga tidak. Terus di mana kedzalimannya? Ada yang menjawab masjid di ujung timur Indonesia terbakar, sehingga sempat memancing beberapa "mujahidin" untuk berangkat ke sana dan rela mati berperang. Pertanyaannya, terbakar dan dibakar di mana perbedaannya? Islam di sejumlah daerah mendapat ketidak adilan, apa penyebabnya, karena mereka adalah minoritas di daerah tersebut. Ada juga kerusuhan di Ambon yang banyak menewaskan warga di sana, baik Islam maupun Kristen.
Ah, akar masalahnya adalah mayoritas vs minoritas lagi? Ndeso!
Minoritas (Harus) Selalu Mengalah
Okelah, minoritas biasanya memilih mengalah agar tidak timbul masalah. Kita sebut saja itu toleransi. Nah, di tempat dominan Islam, meskipun apapun agama Anda, harus biasa terbangun subuh, juga sudah biasa mendengarkan ceramah lewat pengeras suara di masjid. Itu lumrah. Anda harus terima. Kita anggap saja begitu.
Nah, kalau sedang Nyepi di Bali, berarti masjid juga tidak berbunyi. Menghormati mayoritas yang sedang khusyuk beribadah. Itu kita anggap juga sebagai toleransi dalam bentuk lain. Bagaimana kalau Anda tinggal di tempat yang mayoritas Kristen misalnya? Pertama, Anda sudah terbiasa dengan tidak adanya suara adzan pada subuh dan waktu lainnya, kecuali Anda benar-benar tinggal di sebelah masjid. Juga harus terbiasa dengan nyanyian di hari Minggu tanpa harus ribut kristenisasi dan sebagainya. Itu toleransi juga, kan?
Berarti kita anggap bahwa makna "toleransi" yang sebenarnya di Indonesia adalah seberapa kuat kaum minoritas mampu mengalah. Begitu kan?
Oke, kalau benar kita pakai logika bahwa kaum minoritas harus mengalah seperti ilustrasi di atas. Pertanyaannya ; Kenapa minoritas yang ingin merubah bentuk negara, merongrong kesatuan bangsa dan mementingkan ego sendiri juga tidak mengalah juga. Mereka jumlahnya sedikit, dibandingkan seluruh warga Indonesia yang ingin hidup aman tentram, dan tidak ada perubahan terhadap negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945?
Kalau "minoritas" itu mau mengalah, tidak perlu ada demonstrasi berjilid-jilid karena tidak rela ormas yang menginginkan berdirinya negara khilafah berdiri. Tidak ada aksi berdarah di Poso, yang harus membuat personel Polri turun mencari sisa anak buah Santoso di sana. Tidak perlu ada pembakaran masjid, gereja, vihara, kuil dan apapun tempat ibadah lainnya. Tidak perlu ada anak yang dipersekusi karena berbeda pendapat, tidak perlu ada Afi yang teriak-teriak masalah keberagaman lalu dihujat karena mencontek, tidak perlu ada calon gubernur yang dipenjara, tidak perlu ada kerusuhan berdarah, yang merugikan nyawa, harta dan benda.
Kalau memakai logika mereka, bahwa minoritas memang harus mengalah. Tentu tidak ada rongrongan pada ke-bhinekaan kita. Jonru mungkin masih seorang blogger yang menulis kiat-kiat sukses, bukan orang yang mengatakan presiden adalah keturunan PKI.
Bagaimana kalau semua memilih untuk mengalah? Maka tidak akan ada yang kalah. Semua pemenangnya. Indonesia juaranya. Amin.
Penulis : Adhyra Irianto