Advertisement
pojokseni.com - Gambar di atas adalah paparan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) lewat akun twitternya @BEMUNS pada hari Selasa (18/07/2017) dini hari. Inti bahasannya adalah hutang Indonesia pada era Presiden Jokowi adalah yang tertinggi dibanding presiden sebelumnya.
Angka dalam grafik tersebut juga bukan mengada-ada, karena dikumpulkan admin @BEMUNS lewat data yang dikompilasi dari Kementerian Keuangan RI. Angka yang disebut dalam grafik tersebut dalam triliunan rupiah.
Berikut hasil screenshoot pojokseni lewat akun twitter @BEMUNS tersebut.
Ada banyak tanggapan terhadap cuitan yang menampilkan grafik tersebut, meski terpecah menjadi pro dan kontra. Namun, Pojokseni menganggap bahwa akun ini menggunakan "prinsip seni" untuk menggiring opini.
Dalam pertunjukan seni, khususnya teater, dibutuhkan make up yang ditekankan demi mewujudkan karakter dari aktor. Bisa jadi, seorang lelaki yang lemah gemulai, wajahnya terkesan lucu bisa tampil menjadi seorang tua yang sakit-sakitan dan pasrah dengan keadaan. Bisa jadi juga seorang wanita cantik, polos dan terkesan ramah berubah menjadi seorang wanita yang kejam, berdarah dingin dan antagonis.
Bagaimana caranya? Yah, dengan merubah wajah mereka dengan make up. Jadi, penonton yang melihat wajah mereka sudah percaya bahwa wanita tersebut adalah seorang pembunuh, atau wanita yang kejam hanya karena make up. Itu guna make up dalam pertunjukan, untuk mempertegas.
Jadi, tidak ada seorang penonton pun yang akan melihat kepolosan dari gadis ini, karena tertutup oleh riasan make up yang mengarahkan pikiran penonton. Loh, apa hubungannya dengan grafik yang dipaparkan BEM UNS?
Mau tidak mau, pandangan pembaca pertama akan jatuh pada garis grafiknya. Bukannya mendukung atau tidak mendukung dengan presiden Indonesia terdahulu, atau pro dengan presiden Jokowi, namun sepertinya ada rencana dari BEM UNS untuk mengalihkan pandangan pembacanya, dari melihat angka.
Garis dan Angka
Ada tiga presiden Indonesia yang ditampilkan dengan grafik, yakni Megawati Soekarno Putri, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo. Dalam grafik tersebut, trend hutang Indonesia seperti meningkat drastis pada era Megawati dan Jokowi, karena kebetulan angkanya juga meningkat. Sementara itu, pada zaman SBY selama dua periode, garis grafik terkesan datar, menunjukkan peningkatan hutang tidak begitu signifikan. Itulah yang coba digiring oleh pembuat infografik ini.
Sekarang, coba lupakan garisnya, dan fokus pada angkanya saja. Pada grafik hutang era Megawati, angkanya tertulis ada peningkatan dari Rp 1223,7 T menjadi Rp 1230,6 T lalu meningkat (drastis) dengan garis grafik yang terlalu naik menjadi Rp 1298 T. Kenaikan yang digambarkan drastis tersebut adalah sebesar Rp 68,6 T.
Sedangkan pada era SBY, garis terkesan lurus untuk memberi gambaran bahwa hutang tidak begitu membengkak. Namun, bila dilihat angkanya, terutama pada era terakhir tahun 2014, ada peningkatan hutang dari Rp 2375,5 T menjadi Rp 2608,8 T yang berarti meningkat sekitar Rp 233,3 T. Jumlah peningkatan yang besar, namun garis grafiknya justru seakan tidak naik.
Garis yang terkesan naik menjulang juga digambarkan pada grafik hutang era Jokowi. Salah satunya adalah peningkatan hutang dari tahun 2016 sampai Mei 2017, dari angka Rp 3466,9 T melonjak menjadi Rp 3,672 T, yang berarti naik Rp 205,5 T.
Dibandingkan dengan kenaikan dari awal masa kepemimpinan, bisa disimpulkan seperti ini zaman Megawati ada kenaikan dari angka Rp 1223,7 T tahun 2002 menjadi Rp 1298 T pada tahun 2004, yang berarti total peningkatan hutang mencapai Rp 74,3 T. Pada periode pertama SBY ada peningkatan hutang dari Rp 1311,7 di tahun 2005 menjadi Rp 1590,7 T atau meningkat sekitar Rp 279 T.
Periode kedua SBY, ada peningkatan hutang negara dari tahun 2010 sebesar Rp 1681,7 T menjadi Rp 2608,8 pada tahun 2014 dengan peningkatan sebesar Rp 927,1 T. Sedangkan di era Jokowi, ada peningkatan hutang dari Rp 3165 T pada tahun 2015 menjadi Rp 3672,4 T pada Mei 2017 dengan peningkatan mencapai Rp 507,2.
Meski sama-sama memiliki peningkatan jumlah hutang, tapi grafik tersebut memberi garis yang meningkat signifikan pada hutang era Megawati dan Jokowi, sedangkan pada era SBY digambarkan dengan garis yang nyaris lurus. Tentu, seperti prinsip dalam dunia seni yang dipaparkan di atas, garis tersebut memberi efek ilusi optik yang bertujuan untuk menekankan maksud tertentu.
Jadi, dari melihat angkanya dan mengenyampingkan garisnya, Anda tahu bahwa ada misi yang diemban BEM UNS ini untuk menggiring opini tertentu, entah apa tujuannya. Sayang sekali, padahal mahasiswa inilah yang ditujukan untuk membangun negara, siapapun presiden pilihan rakyatnya, namun mencoba memecah belah, ditambah dengan tanda pagar #1000HariIndonesia Berduka. Data yang digunakan benar dan tidak mengada-ada, namun gambar grafiknya yang digunakan untuk menipu mata. Satu hal yang dilupakan BEM UNS ini adalah, tidak semua warganet Indonesia gampang ditipu hanya dengan grafik. (ai/pojokseni)