Advertisement
“Jika kami harus pergi, tuntunlah kemana kami harus pergi. Karena kapur ini telah menjadi penyambung hidup kami!” sepenggal teks dari lakon Carito di Bukik Tui karya Tya Setiwati.
pojokseni.com - Carito Di Bukik Tui, sebuah kisah menyayat hati dari selatan kota Padangpanjang, tepatnya di lereng Bukit Tui antara Rao-rao hingga Tanah Hitam. Kisah tentang masyarakat penambang kapur yang seakan membunuh diri mereka sendiri secara perlahan demi kelangsungan hidup keluarganya. Maut selalu menghantui pekerjaan mereka yang terbilang sangat berbahaya. Tak hanya mengesampingkan ketakutan akan Galodo (longsor), mereka juga menahangan tiap-tiap partikel kapur yang memaksa masuk ke dalam paru-paru dan menganggu pernapasan mereka.
Telah bertahun-tahun
masyarakat di lereng Bukit Tui bergantung hidup dari kapur. Seakan kapur telah
menjelma menjadi tulang punggung mereka. Namun, hal-hal faktual itu seakan tak
pernah muncul dalam bahasan rapat-rapat pemerintahan. Aroma-aroma bantuan pemerintah tak tercium
sampai ke lereng Bukit Tui. Dan ketika aktivitas penambangan kapur mulai
dinilai sebagai perusak ekosistem dan mencemari udara segar. Para penguasa
memutuskan untuk menutup lahan penambangan kapur itu secara sepihak. Dilema seketika
seakan menghantam kepala setiap keluarga di sana. Mereka tak tahu lagi harus
apa dan bagaimana, karena kapur telah mendarah daging bagi mereka. Begitu juga
para penguasa, mereka tak jua memberikan kejelasan atas nasib masyarakat Bukit
Tui. Seandainya lahan tambang kapur ditutup dan mereka harus pergi, lalu kemana
lagi langkah kaki mereka akan mengais rezeki. Karena tak adanya kejelasan
tentang lahan pekerjaan yang baru sebagai ganti dari lahan tambang kapur.
Kiranya, itulah
yang ingin Tya Setiawati sampaikan melalui naskah Carito di Bukik Tui.
Sutradara perempuan berdarah sunda ini kiranya sangat memiliki rasa empati yang
tinggi dan peka terhadap lingkungan sekitarnya. Dalam beberapa karya-karyanya
beberapa tahun terakhir ini, Tya selalu mencoba menggugah kesadaran penonton
secara khusus dan masyarakat secara umum. Naskah yang lahir dari kegelisahan
Tya sebagai pengkarya kepada kisah Bukik Tui yang seakan ditutupi kabut tebal.
Dengan penelitian yang cukup memakan waktu, Tya mulai mencoba menyusun
kontruksi awal teks dramanya. Dengan penambahan peristiwa-peristiwa fiksi
sebagai kebutuhan estetikanya.
Tya Setiawati
Naskah drama
Carito Di Bukik Tui ini, awalnya berjudul Dongeng Mande Dari Bukik Tui. Pertama
kali naskah ini selesai di tulis, pada tahun 2011. Kemudia Tya memilih teater
sebagai media penyampaian kegelisahannya. Tya seakan menerobos tebalnya kabut
hitam pada Bukit Tui, kemudian membawanya ke atas panggung. Tidak sebatas itu
saja, untuk mengorasikan keprihatinannya atas ketidakpedulian beberpa pihak
akan kelangsungan hidup masyarakat di Bukit Tui, naskah yang ia tulis ini, ia
pentaskan di beberapa kota besar, yaitu Lampung, Jogjakarta,
Semarang, Surakarta, Pekanbaru dan Jakarta.
Tak puas sampai
disitu, Tya kembali membawakan kisah Bukik Tui ini kebeberapa tempat lagi
seperti di kota Padang dan Padangpanjang. Baru-baru ini (17 Sepember 2016),
Carito di Bukik Tui kembali dipentaskan dalam acara Ajang Teater Sumatra (ATS)
di Pekan Baru.
Dibantu oleh
sang suami yang juga bertindak sebagai Supervisor, kisah Carito di Bukik Tui
ini dipentaskan dengan berbagai bentuk, aliran dan gaya. Sehingga kisah-kisah
yang dihadirkan Tya dalam teks dramanya dapat dinikmati dan diresapi dari
berbagai golongan masyarakat. Seniman atau nonseniman. Tya Setiwati seakan
mencoba menggiring para penonton untuk tak hanya larut dalam emosi cerita,
namun juga dapat menangkap makna-makna filosofis yang disampaikan secara
metafora.
Meski mengusung
gagasan konseptual yang berat. Dengan capaian mempertajam rasa empati penonton dari
isu-isu lingkungan sekitar. Setiap pertunjukan Carito di Bukik Tui terkesan
sangat akrab kepada penonton. Penonton seakan terjun langsung ke lereng Bukit
Tui. Kiranya Tya ingin setiap jiwa-jiwa penonton yang menyaksikan
pertunjukannya akan tersucikan dengan rasa empati yang besar.
Semangat Tya
Setiawati layaknya mendapatkan acungan jempol. Tak banyak lagi seniman di
Indonesia yang peka terhadap lingkungannya. Yang mengangkat problematika sosial
dan isu lingkungan sebagai tema dari karya-karyanya. Seniman-seniman sekarang
lebih mementingkan keindahan bentuk dan rupa pertunjukannya, sementara
melupakan problematika realitas yang berada di sekitarnya. Kiranya seniman-seniman saat ini lebih
mementingkan segi estetika dan kepuasan jiwa dalam berkesenian.
Seperti kata WS
Rendra dalam sepenggal dari puisi “Sajak Sebatang Lisong”
Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat
penyair-penyair salon,
yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
Semangat Tya
merupakan sebuah Reflesksi kepada kita semua, agar tak terperangkap kepada
jeratan pemikiran Seniman-Seniman Salon. (isi/pojokseni.com)