Advertisement
Rudolf Puspa bersama teman-teman Teater Putih Mataram |
Catatan Rudolf Puspa
Teater Keliling Jakarta
Menginap di hotel berbintang di pantai Senggigi Lombok yang kamarnya mewah sejuk dan segala keperluan tersedia sehingga bisa mandi air hangat, sabun. Sampo, odol, gosok gigi, handuk yang wangi, air minum, teh, kopi, gula, susu tinggal seduh dengan teko listrik yang cepat memasak air, sehingga terasa dimanjakan sebagai manusia. Sarapan pun tersedia sehingga cukup jalan dari kamar ke restoran hotel. Sepertinya ini sudah merupakan service hotel yang dianut secara internasional. Yang menggembirakan, kini hotel berbintangpun menyediakan sarapan dengan masakan lokal. Sebuah terobosan presiden Jokowi yang layak di apresiasi dalam usahanya untuk mengenal dan menikmati kuliner karya bangsa sendiri.
Hari ini 3 Maret 2017 jam 11.00 dijemput rekan dari teater putih untuk pindah ke sanggar teater putih di kota Mataram dengan naik motor selama 30 menit. Selayaknya sanggar teater mahasiswa tentu saja kita semua sudah mengenal yakni ruang sempit namun penuh barang keperluan teater, juga jadi ruang kerja sekertariat. Namun sanggar teater putih dihadapannya adalah halaman parkir FKIP Universitas Mataram yang luas. Maka sadar atau tidak, sengaja atau tidak ruang parkir menjadi ruang kegiatan sanggar. Anggota teater putih berkumpul dan berlatih di sana dan ketika aku datang beberapa mahasiswa sedang reading sebuah naskah yang sedang dipersiapkan. Teriak sekuatnya tak akan ada yang marah atau tersinggung. Ya, semacam ada kekebalan seperti mimbar bebas kampus.
Hari ini, aku menyiapkan diri bersama teater putih merupakan anjuran dari Dolfry ketua yayasan teater keliling sehingga yang mestinya aku kembali ke Jakarta 3 maret sore diundur ke 4 Maret siang. Sang ketua sanggar bung Sani yang menjemputku di bandara Praya sewaktu aku datang telah kusampaikan agar selama aku berada di sanggar teater putih bisa dibuatkan acara bertemu anggota, diskusi, latihan teater. Sehingga bermanfaat bagi kita semua selain membantu mengurus kesiapan teman2 menerima kedatangan teater keliling bulan April mendatang.
Gayung bersambut akrab dan bersama teman2 pengurus yang dinamis aku berbincang di sanggar umtuk acara sore hingga malam hari di sanggar. Mereka mengundang komunitas teater sasentra dari kampus Muhamadyah dan juga BKMS dari IAIN. Kerja cepat dalam waktu singkat menunjukkan keinginan dan niat melakukan yang terbaik bagi kegiatan teater bersamaku. Aku memang suka kemampuanku di bidang teater dimanfaatkan dimanapun dan oleh siapapun. Sebuah kenikmatan yang membuatku tetap kuat bertahan dalam karya teater hingga puluhan tahun dan mendapat gelar “Abdi Abadi” dari FTI. Teman2 makan siang dengan bersama sama dalam satu wadah kertas pembungkus. Hal yang tampaknya sudah menjadi budaya makan ala teater mahasiswa dimanapun yang aku jumpai. Karena menghormatiku maka aku disendirikan walau sebenarnya kalau diajak pasti aku mau karena toh sudah biasa juga. Makan “berjamaah” tentu akan menunjukkan rasa kebersamaan sesuai dengan pengertian teater yakni sebuah hasil karya kolektif.
Aku diberi waktu 2 jam memberikan latihan olah tubuh yang diikuti 30 anggota sanggar teater putih. Di halaman parkir yang berlantai batu blok ini latihan sangat dinamis. Seluruh bentuk latihan olah fisik yang aku berikan belum pernah mereka terima selama ini. Yang utama membuat mereka melakukan dengan semangat karena aku selalu menciptakan suasana “main-main”. Tak terasa serius yang berat namun kembali ke permainan yang terkesan mainan “anak-anak”. Kita kembali menjadi anak yang bermain namun penuh kesungguhan. Anak balita pegang sepatu dan kemudian imajinasinya hidup dan memainkan sepatu itu menjadi mobil. Berjalan berkeliling, cepat atau lambat dan mengerem berhenti. Semua dilakukan dengan kesungguhan yang jujur dan dinamis. Inilah yang semestinya dilatihkan kepada para pemain teater sejak awal.
Kendala yang terbesar adalah ketika dalam berlatih harus menghentikan pikiran. Bergerak mengalir melepas bebas dan “liar” bukan hal yang mudah dilakukan oleh orang dewasa. Diminta tidak berpikir justru jadi berpikir kenapa tidak boleh berpikir. Maka ya nggak akan ketemu jawabannya. Teater adalah yang dilakukan, bukan yang dipikir-pikir. Maka siang hingga sore itu teman2 sanggar teater putih kembali menjadi anak-anak tanpa mereka sadari. Berdiri, berjalan, jongkok hingga bergulingan tidak menjadi kesulitan. Hanya ketika diminta tutup mata maka ada beberapa yang mencuri-curi mengintip sekitarnya ingin tau apa yang dilakukan temannya. Kurang pasrah dan mudah2an “mencuri” bukan menjadi pilihan hidup menuju existensinya.
Dua jam membuat keringat deras mengalir, badan ngilu karena melakukan gerak yang barangkali belum menjadi kebiasaannya. Dilanjutkan kumpul ke dalam ruangan dan di sana kita diskusi dan teman2 dari kampus lain ikut hadir. Sayang tadi hanya nonton latihan sehingga tidak merasakan bagaimana olah tubuh yang aku berikan. Diskusi diawali oleh moderator bernama panggilan Sri yang menceritakan sedikit biografi ku. Tentu terkejut dan bangga bertemu seorang teaterawan yang sudah 55 tahun berkubang di teater Indonesia tanpa membagi waktu dengan kerja selain teater sehari2nya. Dan akupun diminta untuk bercerita tentang perjalanan teater keliling dan juga pandanganku tentang teater Indonesia dewasa ini.
Aku bicara singkat saja agar lebih banyak waktu untuk tanya jawab yang ternyata banyak yang mengangkat tangan meminta kesempatan. Pertanyaan yang diajukan tentang apa dan kenapa berteater? Halangan apa yang paling berat dalam melatih pemain? Kalau diluar negeri pakai bahasa apa? Kenapa tidak membuat cabang teater keliling di daerah? Berapa jumlah anggota teater keliling? Berapa lama menyiapkan sebuah produksi? Kalau keliling apa hanya satu drama dimainkan?Apa juga menulis naskah sendiri dan kenapa?
Pertanyaan2 yang menyita waktu cukup banyak dan aku berbicara dalam irama yang tidak cepat agar bisa komunikatif karena aku takut bahasaku tidak dipahami karena beda umur dan pengalaman yang cukup jauh. Waktu untuk acara diskusi harus berakhir magrib sehingga tentu saja masih banyak yang mau tanya namun terpaksa berhenti. Santai namun serius dalam isi pembicaraan adalah gaya ku dalam setiap ada acara tanya jawab. Melalui pertemuan inilah aku menyisipkan visi besarku yakni mencerdaskan bangsa dengan mendorong agar para mahasiswa memiliki kemampuan menjadi manusia yang berkarakter sebelum akhirnya menjadi agen2 pembangunan kebudayaan yang sesuai zamannya.
Istirahat sejenak dan kemudian di akhir pertemuan dengan teman2 teater Lombok yang diselenggarakan teater putih dilanjutkan dengan olah fisik dan sedikit mengenal olah rasa. Diadakan di parkiran lagi dan yang hadir 90 anggota sanggar. Hanya 45 menit aku diberi waktu dan cukup memberikan sesuatu yang mengatakan bahwa berlatih teater harus bisa sampai pada rasa hati yang menyenangkan. Teater itu sesuatu gerak laku yang keren menurut istilah anak muda sekarang. Tentu latihan di babak kedua ini aku berikan lebih berat walau tetap mereka tidak merasakan karena lebih pasrah dan lebih bersemangat untuk menerima bentuk2 latihan yang banyak macamnya. Hanya sedikit saja olah rasa aku sisipkan karena jika dipenuhi butuh dua jam.
Terakhir malam ini aku mainkan monolog dengan judul “Kereta Tua” karyaku sendiri yang seluruh dialog dan jalannya cerita aku ciptakan secara spontan di tempat pertunjukkan. Dan seperti kebiasaanku selalu menarik salah seorang penonton dan ikut ambil bagian bahkan kadang hingga akir cerita seperti yang terjadi di teater putih FKIP Unram Lombok ini. Tidak panjang monolog kumainkan dan hanya sekitar 30 menit saja namun telah membawa larut penonton yang malam ini menjadi bagian dari kereta tua. Saut menyaut, jawab menjawab secara spontan terwujut dan membuat keakraban antara panggung dan audience.
Sehari bersama teater putih telah berlalu dan menjadi sebuah catatan sejarah teaterku, teater keliling dan teater putih serta teater Indonesia. Bahwa teater bisa hadir dimana saja sehingga tak perlu repot atau berkecil hati bila harus main di halaman parkir. Tak perlu iri bila pihak kampus tidak memberi ijin untuk menggunakan auditorium kampus untuk kegiatan pentas teater. Tidak perlu kecil hati bila dana kampus untuk sanggar teater sangat kecil. Malam ini kita semakin percaya bahwa teater memiliki jalannya sendiri dan di sana ada semak2 ada belukar ada jalanan ada ruang2 tak berpenghuni yang bisa menjadi ruang expresi teater. Nikmati yang tersedia bagi teater dan bangkitkan semangat terbesar yang ada di hati untuk melahirkan karya yang monumental dan menyentuh hati setiap penyaksinya. Soal dana bisa mendekati perusahaan yang sudah menjadi aturan resmi yang konstitusional bahwa mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk dana sosial yang sering kita dengar dengan istilah CSR.
Aku telah merasa menyatu dengan teater putih dan kita akan menjadi satu bagian dari wujud teater yang bernama Indonesia. Keberagaman telah menyatu dan itulah Indonesia raya kita.
Salam jabat erat, foto bersama dan juga sendiri2 berlangsung sangat akrab antara yang tua dengan muda, antara kakek dengan cucunya. Kulambaikan hati melalui sepuluh jari2 tanganku sambil berucap “salam jabat hati” kepada teman2 teater putih, sasentra dan BMKS.
Selanjutnya diantar ke taman budaya di mana teman2 seniman senior Lombok, Sukoco, Agus, Dardanela dan dua lagi telah menanti untuk bercengkerama dan malam ini aku diatur mereka untuk menginap di wisma taman budaya. Tentu berbeda dengan di hotel namun aku mampu menikmati suguhan teman2 seniman Lombok yang malam itu membawaku makan malam di pantai Ampenan dan berdialog hingga larut malam tentang “krisis kebudayaan”, tidur di wisma yang luas dan ditemani 3 anggota teater putih menjadikan malam ini semakin indah.
Bukan bentuk fisik yang membuat orang nyaman hidup namun adanya pertemuan dari hati ke hati yang iklas. Maka teringat ucapan Dirjen dalam salah satu pidato di rakor kebudayaan bahwa ingin jika ada rakor lagi sebaiknya diadakan di sebuah perkampungan dan bukan di hotel mewah. Tentu akan ada nuansa yang berbeda dan barulah kita bisa memahami apa itu gerak hidup kebudayaan yang berwajah dan hati Indonesia raya.
Tanggal 4 maret diantar Pembina teater putih dan dua anggota sanggar ke bandara sambil mampir beli kain tenun dan kaos untuk oleh2 keluarga tercintaku. Sang pembinapun memberikan oleh2 makanan khas Lombok. Terima kasih.
Selamat tiba kembali di Jakarta dan kenangan 1-4 Maret di Lombok sungguh menambah energy terbarukan yang mendorong semangatku untuk terus berkarya teater.
Terima kasih dan salam kebudayaan.
Jakarta 9 Maret 2017
Rudolf Puspa