Advertisement
(Review pertunjukan Teater 'Gadungan' oleh Kelompok Pojok sutradara Iqbal Samudra)
“Siapa yang gadungan?
Kenapa saya yang salah? Saya berbuat benar, saya disalahkan. Saya berbuat
salah, saya makin disalahkan. Siapa yang gadungan? Cerita macam apa ini? Kenapa
keadaan ini selalu tertulang? Bagaimana mengakhiri ini semua?” Tanya sang
dokter gadungan dengan kalut, ketika semua kejadian yang hilir mudik di depan
matanya seakan-akan berputar-putar, berulang-ulang, dan tumpang tindih
menghantui dirinya.
pojokseni.com - Pertunjukan teater yang
bertajuk “Gadungan” ini dipersembahkan oleh Kelompok Pojok dari Bulungan
Jakarta Selatan dalam serangkaian acara Bengkulu Art Festival (15-16 Maret
2017). Naskah “Gadungan” ini diadabtasi secara bebas dan disutradarai oleh
Iqbal Samudra. Naskah monumental yang berusia hampir tiga setengah abad ini
ditulis oleh penulis naskah keturunan bangsawan yang bernama Jean-Baptiste
Poquelin alias Moliére. Naskah Dokter Gadungan atau Le Médecin Malgré Lui ini
pertama kali dipentaskan Salle du Palais-Royal, Perancis pada tahun 1666. Kritik
tentang asas keprofessionalan seorang dokter disampaikan dengan dialog antar tokoh
yang menggelitik. Hal inilah yang menjadikan naskah Le Médecin Malgré Lui atau
Dokter Gadungan dinobatkan menjadi naskah terlucu yang pernah ada dalam sejarah
dunia teater.
Ditangan kelompok
Pojok, Naskah Dokter Gadungan yang disadur oleh Asrul Sani diadabtasi dengan
judul “Gadungan”. Proses pengadaptasian Kelompok Pojok terbilang sangat berani
dan kreatif. Iqbal Samudra selaku penyadur dan juga sutradra menghilangkan
beberapa adegan, dialog dan beberapa tokoh dalam naskah aslinya dan menambahkan
koor dan beberapa adegan tambahan. Kelompok Pojok juga mengangkat isu yang
berangkat dari pemikiran Jean Baudrillard (1929-2007), seorang filsuf asal
Prancis tentang teori Simulakra. Teori simulakra mengkritisi ihwal dunia
periklanan yang telah menjadikan masyarakat seluruh dunia mengalami keadaan
hiper reality. Teori ini juga bercerita tentang dunia periklanan yang
menghilangkan jati diri masyarakat.
Konsep teater Epik yang
di usung oleh Brecth sangat kentara pada pertunjukan “Gadungan” oleh Kelompok
Pojok ini. Iqbal selaku sutradra berhasil mengemas efek Alinasi yang apik. Iqbal
seakan-akan menjauhkan kisah ‘Gadungan’nya pada konsep-konsep teater dramatik.
Hingga katarsis tidaklah menjadi sebuah capaian dalam pertunjukan Kelompok
Pojok kali ini.
Proses alinasi atau
penghancuran empati penonton ini terasa sangat tergarap melalui “interupsi-interupsi”
tak terduga oleh para aktor. Perwujudan V-Effect yang sangat kentara
ialah ketika tiba-tiba sutradara menghentikan laju pertunjukan.
“Cut! Kalian telah
memainkan peran dengan baik dan sekarang silahkan beristirahat,” ujar seorang
tokoh yang berperan menjadi sutradara.
Dengan adegan yang
renyah dan dialog-dialog yang komunikatif, pertunjukan “Gadungan” persembahan
kelompok pojok ini terasa sangat akrab. Namun, proses adabtasi secara bebas
oleh Iqbal Samudra terkesan sangat bebas. Kekuatan vebal dari naskah Dokter
Gadungan karya Moliére seakan tersia-siakan. Moliére meramu teks drama Dokter
Gadungan dengan mengedepankan problematika realitas yang sederhana dan
menggelitik. Secara sudut pandang yang lebih generik, Naskah Dokter Gadungan
karya Moliére mengupas tentang kepalsuan dan tipu muslihat. Secara implisit
makna yang terkandung adalah “ Apa jadinya seorang tukang kayu yang gemar mabuk
menjadi seorang dokter” atau yang lebih universal adalah “Bagaimana jadinya
seorang yang tidak berkompeten pada suatu bidang malah ditempatkan dibidang
tersebut”. Hal ini sangat kontekstual dengan Indonesia hari ini, namun Kelompok
Pojok terkesan tak mengindahkan esensi Moliére dalam naskah Dokter Gadungan. .
Namun, tangan Kelompok Pojok naskah tersebut menjadi sangat
berat dengan mengambil titik fokus pada penyakit Psikosis yang diidap oleh sang
dokter gadungan akibat tekanan-tekanan psikologis yang mengakibatkan sang
dokter gadungan memisahkan realitas dan fantasinya. Fantasi-fantasi itu datang
seperti siklus abadi. Hingga menyerang kedirian aktor.
Pengambilan sudut
pandang yang berbeda ini sangat menarik dengan inovasi-inovasi yang ditawaran. Sehingga
menihilkan konsep pertunjukan “Dokter Gadungan” yang konvensional. Namun, Naskah
Dokter Gadungan karya Moliére yang mengedepankan dialektika verbal yang satir
ini terasa terabaikan.
Dalam konteks artistik,
Kelompok Pojok menghadirkan setting panggung yang sugestif. Kain-kain hijau
yang membentuk frame-frame memberikan ruang tafsir secara bebas kepada para
penonton. Namun, setting tersebut tak sedikit pun hidup karena tak adanya
interaksi aktor-aktor terhadap setting panggung. Setting yang dihadirkan
tersebut malah menganggu cahaya lampu pada panggung.
Sehingga dalam beberapa
adegan ekpresi para aktor tak tertangkap dengan jelas. Alunan musik yang
dihadirkan juga sangat rapi, beberapa suasana berhasil tersampaikan dengan
baik. Beberapa lagu yang dinyanyikan oleh Koor dengan iringan musik yang apik,
membuat musikalitas pertunjukan ‘Gadungan’ begitu kuat. Namun, lemahnya vokal aktor mengakibatkan musik
seakan menghimpit vokal aktor. Alhasil beberapa dialog penting gagal
tersampaikan dengan baik. Kurangnya orientasi panggung dan ‘hancurlebur’nya
akustik yang dimiliki GTT (Gedung Teater Tertutup) Taman Budaya Bengkulu, mungkin menjadi alasan untamanya.
Meskipun pertunjukan ‘Gadungan’
sutradara Iqbal Samudra persembahan Kelompok Pojok ini dipentaskan dua malam
berturut-turut dengan cerita yang hampir sama persis. Namun, GTT (Gedung Teater
Tertutup) Taman Budaya Bengkulu tetap dipenuhi oleh penonton. Kelucuan-kelucuan
yang komunikaif ditambah dengan ide cerita yang menarik. Membuat pertunjukan ‘gadungan’
tak membosankan meskipun dipentaskan berulang-ulang. (isi/pojokseni)