Advertisement
Oleh : Adhyra Irianto
Terkesan judul
yang saya buat mirip dengan yang ditulis oleh Kak Emong Soewandi (atau
Firmansyah, S.Pd) usai salah satu gelaran festival teater yang digelar tahun
2009 lalu. Terpaksa seperti itu, karena faktanya kejadian yang ditemui mirip.
Hanya kejadian saja berkelang 8 tahun.
Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) Kabupaten
Rejanglebong cabang pantomime dihelat pada hari Kamis (23/3/2017) di Gedung
Olahraga (GOR), Jalan Merdeka, Curup. Lomba ini (hanya) diikuti oleh 11 peserta
dari seluruh Rejanglebong. Hal yang menandakan bahwa peminat pantomime masih
begitu minim. Saya dan salah satu teman saya, Kak Iman, dipercaya menjadi juri
dalam cabang tersebut.
Dari 11 peserta yang tampil, saya menemukan beberapa peserta
yang konsepnya menjiplak atau imitator. Beberapa tampilan pemenang lomba FLS2N
tingkat nasional tahun lalu, atau beberapa tahun yang lalu, dijiplak habis. Ada
juga yang dimodifikasi. Artinya apa? Ini bukan kesalahan siswa yang ikut, tapi
dari guru pembina atau pelatih yang begitu malas menyiapkan siswanya untuk ikut
kegiatan ini.
Video pementasan, mungkin diunduh dari situs Youtube,
diambil seluruh gerakannya dan ditiru. Lalu, dengan mudahnya mencari musik
baru. Ada juga pementasan yang musiknya justru mengambil penuh dari internet.
Ini, menurut saya, tidak bisa dimaafkan. Meskipun pementasannya bagus, tidak
mungkin bisa dimenangkan, karena saya mempertimbangkan ide dan kerja keras guru
pembina dan pelatih lain yang menciptakan sebuah pertunjukan baru.
Latihan, pengajaran teknik dasar, penyiapan konsep, dan
lain-lain terkait pertunjukan adalah sebuah proses. Saya sangat menghargai
proses. Ingat, proses tidak akan pernah mengkhianati hasil.
Akhirnya, setelah berunding alot, kami mempercayakan SDITA
Aisyiyah, SDIT Rabbi Radiyah dan SDN 2 Rejanglebong sebagai juara. SDITA kami
percayakan sebagai juara I, yang akan menjadi wakil Rejanglebong bertarung di
jenjang yang lebih tinggi, tingkat Provinsi. Semoga diberkahi Tuhan, bisa
mewakili Provinsi Bengkulu ke tingkat Nasional.
Apalagi, selama beberapa tahun
berturut-turut, pantomimer cilik asal Rejanglebong selalu sukses mewakili
Bengkulu ke tingkat nasional. Tentu saja, kami harus memilih yang terbaik dari
yang baik.
Selain masalah plagiat, kami juga menemukan bahwa anak-anak
yang tampil benar-benar minim untuk masalah teknik. Bahkan teknik dasar.
Penggambaran artistik yang kurang detail, ekspresi, gestur tubuh, hingga
penguasaan panggung yang terkesan dipaksakan. Sekali lagi, saya terpaksa
menyalahkan guru pembimbing atau pelatih. Karena hal ini memang ranah mereka
untuk mendidik dan melatih siswa sebelum akhirnya ikut festival.
Belum ditambah lagi masalah “eksternal” seperti musik
pengiring dan konsep yang terlalu lemah. Alhasil, pertunjukan yang disajikan
benar-benar kurang maksimal. Ada satu peserta, yang menurut kami, memiliki
gestur yang baik, ekspresi yang mendukung serta bakat yang mumpuni. Ia memiliki
kans menjadi juara, kalau saja didukung dengan konsep yang baik dan mendukung pertunjukan.
Selain anak tersebut, beberapa anak lain yang tidak kami
masukkan dalam daftar juara juga memiliki bakat dan semangat yang tinggi. Entah
kurang dukungan dari sekolah, atau guru pembina dan pelatih yang tidak begitu
serius sehingga pertunjukan yang dihadirkan benar-benar seperti sayur yang
kurang garam. Tidak berasa, tidak meninggalkan kesan.
Saya berharap ke depannya, sekolah lebih memperhatikan hal
ini. Ada banyak seniman muda asli Rejanglebong yang sudah berkarir di tingkat
nasional, bahkan internasional, namun perkembangan seni di daerah ini justru
terhambat. Ada beberapa seniman muda yang bisa diajak bekerjasama menghadirkan
hal yang baru bagi setiap sekolah. Entah itu pengajaran, berbagi inspirasi atau
sekedar berbagi cerita, dapat meningkatkan kemampuan anak.
Karena sekolah bukan hanya masalah akademik. Sekolah adalah
tempat dimana setiap anak bisa mengembangkan kemampuan yang dimilikinya, apapun
itu. (**)