Advertisement
Catatan Rudolf Puspa (Teater Keliling, Jakarta) |
Di Jakarta dan juga provinsi lain semakin banyak diadakan lomba teater antar pelajar yang umumnya yang tingkat SMA. Belum banyak yang tingkat SMP apalagi SD. Ini satu berita gembira yang layak di apresiasi kepada para penyelenggara lomba baik dari pemerintah maupun swasta. Di Jakarta, Pemda tingkat Jakarta utara melalui dinas pariwisata dan kebudayaannya menyelenggarakan Festival teater Jakarta tingkat pelajar. Selain tetap menjadi penyelenggara festival teater Jakarta tingkat kotamadya Jakarta utara.
Penyelenggaraan ini diadakan tiap tahun dan kemudian 3 peserta terbaik akan maju ke final tingkat DKI. Selama kegiatan ini tidak merupakan proyek yang berkonotasi negatif seperti selama ini; yakni pencarian keuntungan pribadi pejabat penyelenggara sehingga dalam mengatur budget maka yang diutamakan adalah “berapa masuk saku”?
Sudah digebrak sang gubernur perihal mental korup ini untuk berubah sehingga sebuah kegiatan yang ada hubungannya dengan pendidikan karakter siswa harus dilakukan dengan jujur dan memang mendidik. Mendidik berarti ada nilai-nilai yang terus dikembangkan dan bukan hanya berhenti saat lomba selesai. Karena tugas pendidikan adalah terus menerus tanpa ada kata akhir. Itu sebabnya masih tersisa keraguan apakah pejabat2 masa lalu yang sudah terdesain pemikirannya bahwa sebuah proyek adalah lahan pencari tambahan bagi isi kantongnya; sudah disiapkan untuk berubah mindsetnya?
Syukurlah jika memang demikian halnya. Kalau belum berarti tugas para pemimpin daerah masih akan sangat berat. Sementara presiden ingin bawahannya mampu berlari mengikuti langkah2nya yang semakin cepat. Sekali lagi teringat apa yang dikumandangkan pemerintah melalui menteri pendidikan dan kebudayaan bahwa seluruh yang berkaitan dengan institusi pendidikan harus menggelorakan berkesenian. Maka lomba atau kegiatan teater seperti ini menjadi jawaban yang patut diacungin jempol. Memang banyak terdengar selentingan bahwa masih ada halangan yang mau tidak mau harus dicarikan solusinya.
Ekskul teater yang umumnya masih diberikan waktu seminggu sekali ternyata masih belum sepenuhnya bisa jalan mendekati sempurna. Halangan terbesar untuk tidak tidak rajin adalah alasan ada tugas kelompok, atau acara keluarga. Anak setingkat SMA masih juga belum punya kemampuan untuk memilih jalan terbaik bagi langkahnya mencapai jalan menuju cita-citanya. Atau jangan jangan memang belum punya cita-cita karena memang tidak didorong kearah itu. Semua masih ditentukan oleh orang tuanya bahkan masalah karier atau bakatnya. Penyakit dendam sosial orang tua memang masih tampak menggayuti para orang tua muda kita. Kedua pihak sekolah sendiri banyak yang kepalanya tak punya kemampuan mengatur jalannya gerbong pendidikan. Guru sepertinya hanya memikirkan mata ajar yang dia pegang sehingga tak ada sinkronisasi kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Sementara masing-masing mata ajar ada nilainya sehingga kegiatan yang tak ada nilai seperti ekskul teater jadi tersendat sebagai akibat. Tidak salah jika siswa mendahulukan yang ada nilainya. Ditambah masih banyak kepala sekolah yang selama ini telah terlatih untuk hanya memandang sebelah mata saja terhadap kesenian. Maka wajar jika tidak mampu memberikan dukungan yang kuat untuk kegiatan kesenian. Ketika tiba-tiba datang badai yang harus menggelorakan kesenian ya jadi kebingungan karena nggak tau caranya. Berkesenian memerlukan rasa suka yang lama kelamaan bisa menjadi cinta pada kegiatan yang diikuti seperti teater misalnya. Jika mau membuka mata maka akan terlihat betapa ekskul teater di tingkat SMA begitu besar peminatnya walau tak ada nilai di sekolah.
Yang saya sering prihatin adalah belum terjawab apakah pihak sekolah punya catatan atau penelitian sejauh mana kegiatan ekskul teater bermanfaat bagi siswa siswinya? Lebih ke atas lagi adalah apa ahli2 pendidikan yang berada di kementerian tidak memahami sehingga membuat aturan main untuk memberi ruang kesenian bergerak di sekolah. Pergerakan sudah dimulai walau kini terdengar bahwa para pelatih teater dari luar sekolah diminta sertifikasi keahliannya. Ini menjadi kendala juga karena ke mana mencarinya belum ketemu pihak mana yang bisa memberi sertifikat.
Teater keliling akhirnya ambil sikap untuk tetap melatih dan mengesampingkan pembayaran gaji dari pihak sekolah bilamana ada kendala soal sertifikat. Teater keliling sendiri yang akan menggaji para pelatih yang dikirim ke skeolah2. Masih ada orang2 yang peduli pada pendidikan yang mau dan iklas memberikan dana bantuan untuk itu. Harus ada terobosan yang tepat sasaran jika memang punya komitmen membangun pendidikan Indonesia yang masih jauh tertinggal bahkan drai negeri tetangga. Tingkat universitasnya saja masih jauh di belakang, apalagi yang tingkat di bawah nya. Hampir belum ada sekolah mengikuti festival teater antar pelajar sma tingkat internasional. Yang tingkat nasional saja karena yang mengadakan bukan pemerintah maka pihak sekolah tidak memberi ijin.
Mereka hanya mau kasih ijin jika ada surat undangan dari dinas pendidikan setempat. Melalui tulisan ini saya sampaikan rasa bangga dan senang kepada para pelatih teater di sekolah2 sma yang tentu dengan segala keterbatasannya bisa menghadirkan karyanya dan ikut lomba yang ada. Jalani kehidupan teater dengan tegar dan menjadilah anak yang merdeka namun tidak merusak tata cara hidup bersama dalam kebersamaan. Teater hadir membawa perubahan yang bukan dengan paksaan. Salut kepada 3 pemenang yakni TEATER HIJAU, TEATER CLAS AKTING DAN TEATER ULET dari Jakarta Utara yang akan maju ke tingkat DKI Jakarta.
Salam jabat erat.
Surabaya 22 Oktober 2016.
Salamku
Rudolf Puspa