Advertisement
Hamid Jabbar : Panglima yang Syahid di Medan Perang |
Menyebut nama Hamid Jabbar, mungkin bagi non-pecinta sastra, atau masyarakat awam, kurang begitu fenomenal. Berbeda dengan nama WS Rendra, Chairil Anwar, hingga Taufik Ismail yang karyanya bahkan tercetak di buku pelajaran sekolah.
Hamid Jabbar : Panglima yang Syahid di Medan Perang |
pojokseni.com - Hamid Jabbar adalah seorang sosok pahlawan dalam sastra puisi kontemporer. Karya sastra beliau dikenal dengan puisi pertunjukan, karena hampir seluruh puisi beliau akan sangat mudah dibawakan ke atas panggung bahkan dijadikan sebuah lagu.
Hamid Jabbar lahir di Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat, 27 Juli 1949 bernama lengkap Abdul Hamid bin Zainal Abidin bin Abdul Jabbar. Semenjak kecil, beliau sering melantunkan kembali pantun-pantun bertema nasihat yang berasal dari ibunya, Ummi. Hal inilah yang membuat hidup beliau tumbuh menjadi sosok agamais. Selain dikarenakan beliau yang tumbuh di daerah yang memegang ajaran agama yang kuat.
Hal itu kemudian tersalurkan dalam karya puisinya seperti “Assallammuallaikum 1“, “Sejuta Panorama Suara” dan lainnya. Bahkan pada puisi bertema cintapun tidak lepas dengan unsur religius yang dimilikinya seperti puisi “Napas Julia”
Hamid Jabbar kecil tumbuh di kampung halamannya dari kecil. Lalu, memasuki masa SMA di Sukabumi, hingga akhirnya beliau merantau ke Bandung. Di Bandung, Hamid Jabar mulai aktif menjadi seorang penulis.
Tulisan Hamid Jabbar tidak lepas oleh pengaruh lingkungan sekitar. Dikarenakan semenjak masih kanak-kanak beliau suka sekali mengamati lingkungan sekitar. Seperti kemiskinan, kondisi social serta kondisi ekonomi yang tidak menentu
Pada tahun 1966, beliau memutuskan untuk berhenti sekolah dan memilih bergabung Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Disinilah nama beliau dikenal oleh kalangan pelajar dan guru-guru karena keaktifannya di organisasi. Akhirnya, tahun 1969 beliau melanjutkan sekolah di SMA 3 Bandung Atas, berdasarkan saran dari kepala sekolah dan langsung duduk di kelas 3.
Ia kembali aktif menulis, dimulai dari majalah sekolah. Hamid Jabbar disebut mulai menulis pada tahun 1969. Akan tetapi, baru menyiarkan karyanya pada tahun 1973. Selain itu, Hamid Jabar juga mengaku berguru pada Sutardji Calzoum Bachri. Pada saat itu, karyanya mulai tersebar di media massa seperti Horizon, Aktuil, Hai, Sinar Harapan dan lain-lain.
Hamid Jabbar : Panglima yang Syahid di Medan Perang |
Pada tahun 1998, Hamid Jabbar mendapat dua penghargaan atas karyanya yang berjudul Super Hilang : Segerobak Sajak, antologi puisi tunggalnya yang diterbitkan oleh Balai Pustaka. Selain itu, penghargaan yang juga diterima Hamid Jabbar antara lain, Buku puisi terbaik dari Yayasan Buku Utama dan Buku puisi terbaik dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Pernah Jadi Mandor dan Kepala Gudang Beras
Banyak pekerjaan yang pernah Hamid Jabar lakoni sebelum menjadi penulis dan wartawan. Hamid Jabbar disebutkan pernah bekerja sebagai mandor di perkebunan teh di Sukabumi, kepala gudang beras di Bandung dan Padang, juga menjadi seorang asisten manajer admininstrasi keuangan di sebuah perusahaan swasta di Jakarta.
Selanjutnya, ia terjun ke dunia jurnalistik. Ia pernah berkarier sebagai jurnalis Indonesia Express, redaktur Balai Pustaka, serta redaktur senior majalah sastra Horison yang didirikan oleh Mochtar Lubis.
Religius, Sarat Kritik Sosial
Dalam catatan Jose Rizal Manua, Hamid Jabbar adalah sosok yang sangat religius dan sarat dengan kritik sosial yang sangat tajam kepada penguasa dan kekuasaan yang menindas rakyat. Sebut saja puisinya yang berjudul "Astaghfirullah" atau "Aroma Maut" yang menghadirkan realitas sosial kehidupan dan kepasrahan kepada Tuhan.
Dalam diri seorang Hamid Jabbar, ia merasa sendiri, sunyi, dan sepi yang membuatnya merasa lemah di hadapan Tuhannya. Tengok juga puisinya "Proklamasi 2" yang di'proklamasikannya' 25 Maret 1992. Ia seolah mendapati masyarakat di lingkungan sekitarnya tengah menikmati “kemerdekaan palsu” yang belum bisa memerdekakan rakyat dari kemiskinan, kebodohan, ketertinggalan dan penindasan oleh para penguasa yang seharusnya memberikan jaminan kesejahteraan kepadanya. Maka dari itu, ia merasa perlu Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya untuk yang kedua kalinya.
Hamid Jabbar meninggal di atas pentas pada saat melakukan pembacaan puisi dalam rangka Dies Natalis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, pada 29 Mei 2004. Sebelum membacakan puisinya terakhir kali itu, ia sempat berkata bahwa, “Saya janji, habis membaca puisi saya akan benar-benar pulang”.
Ternyata malam itu ia benar-benar menghadap Tuhan untuk selama-lamanya. Emha Ainun Nadjib mengisahkan meninggalnya Hamid Jabbar seperti layaknya Panglima perang yang syahid di medan pertempuran. Sutardji, yang dikatakan sebagai gurunya, adalah yang pertama menyebutnya sebagai Pahlawan Puisi. (its/dari berbagai sumber)