Advertisement
Rudolf Puspa (foto : indonesia kaya) |
Oleh : Rudolf Puspa (Teater Keliling)
Orang muda Indonesia sudah selayaknya mengukir sejarah di negeri sendiri. Apa pun kegiatan yang dilakukan. Tak henti-hentinya Teater Keliling mendorong para remaja untuk sadar sejarah. Melakukannya melalui kegiatan ekskul teater.
Hal ini sangat efektif karena melalui pendekatan yang tidak terlalu kaku seperti di bangku sekolah justru pendidikan karakter lebih cepat berjalan. Teater keliling mendapat kepercayaan dari pengurus museum perumusan naskah proklamasi untuk menampilkan pentas teater yang merupakan reka ulang sejarah perumusan naskah proklamasi yang terjadi di rumah Laksamana Maeda. Rumah tersebut kini menjadi museum dan teater keliling pentaskan di sana.
Satu kebanggaan tersendiri menerima kepercayaan yang bukan kecil ini. Mereka ulang sebuah sejarah yang memiliki nilai terbesar bagi republik Indonesia harus dikerjakan sangat teliti. Terlebih penelitian sejarah tersebut sangat minim sehingga tidak banyak referensi yang bisa dibaca. Beberapa pelaku sejarah memang menulis buku biografinya yang tentu menuliskan juga peristiwa yang mereka alami ketika hadir pada kegiatan perumusan tersebut.
Pentas Reka Ulang Perumusan Naskah Proklamasi Oleh Teater Keliling |
Sangat sedih tentunya ketika mencari sejarah tentang tokoh pemuda yang sangat vokal dalam perdebatan saat itu seperti Sukarni dan Wikana. Bahkan keluarganya tak banyak bisa memberikan keterangan karena memang para orang tua mereka tak banyak berbicara. Bahkan, Wikana hilang ketika pemerintahan orde baru kena tuduhan termasuk anggota PKI. Keluarganya tak tau di mana kuburannya atau apa masih hidup.
Setiap penulis biografi tentu saja punya sudut pandang tersendiri sehingga sebagai penulis naskah teater tentu harus sangat teliti dalam membandingkan setiap data. Wah sudah seperti ahli sejarah saja. Foto-foto kejadian di rumah Maeda ini juga sulit didapatkan. Bahkan di saat paling bersejarah yakni pembacaan naskah proklamasi di rumah Bung Karno sangat minim dan yang kita kenal hanya ada 3 foto dan ternyata ada 13 foto yang diketemukan.
"Apa jadinya jika tak ada foto sebagai bukti sejarah?"
Selain pemain teater keliling kami beri kesempatan kepada beberapa peserta ekskul teater yang bina seperti dari MTs 24, SMA 53,59 ,92 serta MAN 2. Mereka sangat antusias mendengarkan penjelasan tentang kejadian sejarah perumusan naskah proklamasi. Ketika kami bawa ke museum dan berlatih di sana, ternyata mereka belum pernah datang selama ini dan boleh dibilang tidak tahu ada museum ini.
Terlihat mereka antusias melihat dan membaca keterangan yang ada di sana serta melihat film pendek sejarah perumusan tersebut. Latihan di sana menjadikan batin dan hati terasah karena dalam beberapa saat bersama sama melalui daya imajinasi melihat suasana tahun perumusan naskah proklamasi.
Maka tercapailah misi kami yakni bukan sekedar main teater namun lebih dalam lagi yakni mengexplore sejarah bangsa. Kali ini tentang suasana kebatinan tanggal 16 Agustus 1945 yang terjadi di rumah laksamana Maeda.
Ada empat ruangan yang kami reka ulang. Pertama ruang tamu ketika rombongan Bung Karno, Hatta dan Soebardjo diterima Maeda. Kemudian ruang rapat di mana para anggota badan persiapan kemerdekaan berkumpul bersama pemuda dan tokoh2 nasional untuk bermusyawarah tentang naskah proklamasi.
Kemudian ruang makan di mana Bung Karno dan Hatta serta Soebardjo menyusun naskah proklamasi. Lalu ruang pengetikkan naskah yang dilakukan oleh Sayuti Melik yang ditemani BM Diah. Pertunjukkan di awali dengan penggambaran rakyat kecil dimana-mana yang berbicara tentang keinginan untuk merdeka. Bahwa ada suara besar yang gemuruh dan ini mendorong para pemimpin untuk semakin kuat dalam usaha memproklamasikan kemerdekaan.
Akhir dari reka ulang adalah pembacaan naskah proklamasi yang terjadi di rumah Bung Karno namun kami lakukan di ruang museum tersebut. Rencana semula akan ikut long march dari museum ke tugu proklamasi dan baru dibacakan di sana. Namun selanjutnya lebih memilih di ruang museum tersebut untuk tidak memutus emosi penonton yang tentu akan terbawa hingga ke puncak cerita yakni pembacaan proklamasi. Penonton bebas memilih tempat di mana pun di sekitar pertunjukkan reka ulang ini. Aditya, asisten sutradara teater keliling bekerja sendirian mengatur penonton dan juga perjalanan pemain yang berpindah-pindah ruang.
Penonton pun berdesakkan berebut duluan agar bisa berdiri paling depan. Sementara para wartawan televisi pun tak kalah sigap ikut berebut mencari tempat sehingga mendapatkan sudut rekam yang tepat. Yang mengharukan adalah tidak muncul suara bising atau ribut dari penonton ketika ikut berpindah pindah. Mereka yang berjumlah sekitar 200 orang muda, pelajar dan veteran tetap tenang dan terbawa arus suasana kebatinan para tokoh yang dibangun para pemain. Ketegangan menantikan apa keputusan akhir dari petinggi bangsa saat itu sungguh tercipta.
Suara kelompok pemuda yang gelisah dan sangat keras menuntut segera ada proklamasi telah mempengaruhi penonton yang juga ikut arus tersebut. Bahkan tidak sedikit remaja mencucurkan air mata terbawa arus suasana yang begitu tegang dan penuh haru. Kesan para remaja yang diwawancarai awak media dan juga dari kami umumnya menyatakan bahwa baru tau begitulah kejadiannya.
Pentas Reka Ulang Perumusan Naskah Proklamasi Oleh Teater Keliling |
Baru tahu, kenapa dalam rencana naskah proklamasi ada beberapa coretan. Bahwa pengibaran bendera hanya dengan tiang bambu, pengibarnya pun tidak direncanakan. Semuanya serba sederhana dan cepat serta tanpa ada yang memimpin. Semua berjalan mengalir begitu saja namun sangat khidmat mendebarkan jantung. Para remaja mengatakan bahwa mereka juga berdebar-debar menantikan apa ucapan Bung Karno tentang proklamasi.
Mereka ikut bangga melihat Bung Karno dan Hatta berani bicara lugas tegas kepada laksamana Maeda yang komandan angkatan laut Jepang. Banyak remaja yang menangis menyaksikan pentas reka ulang sejarah perumusan naskah proklamasi. Sungguh merupakan satu hal yang membanggakan kami sebagai penggarap pertunjukkan yang lebih terlihat bukan sebagai pertunjukkan karena antara pemain dan penonton menyatu karena terwujutnya perasaan menjadi bagian dari kejadian tersebut.
Pertunjukkan yang dilaksanakan memakan waktu 30 menit telah berlangsung dengan hasil yang dapat dikatakan mencapai tujuan besar yakni mengajak penonton menyadari bahwa di republik ini pernah terjadi satu sejarah yang sangat tinggi nilainya. Maka diharapkan akan selalu mereka ingat setidaknya setiap hari ulang tahun proklamasi 17 Agustus 1945.
Terakhir mereka pun menyatakan kenapa di sekolah tidak diceritakan kejadian bersejarah yang sangat besar nilainya bagi bangsa Indonesia? Sungguh ironis sebagai anak bangsa yang akan menerima tongkat estafet tidak mengerti apa siapa mengapa bagaimana sejarah bangsa Indonesia. Jika tidak tau karena memang tidak pernah diberi tau tentu saja tidak akan mengerti apa yang harus dilakukan sebagai penerus cita-cita kemerdekaan?
Atas dasar pemikiran inilah teater keliling terus menerus melakukan pentas yang berbicara tentang bangsa dan permasalahannya. Oleh karenanya setiap mendapat ruang untuk berbicara maka pasti langsung diterima tanpa memikirkan akan mendapat pembiayaan atau tidak. Kami memahami bahwa pekerjaan seperti ini selalu menjadi kegiatan yang pinggiran sehingga dananya selalu saja seadanya bahkan mungkin sisa-sisa dari proyek mercusuar. Kami iklas dan bangga melakukannya karena kami mencintai bangsa dan negeri kami.
Selanjutnya kami tengah menyiapkan pertunjukkan dengan judul “Sang Saka” karya dan sutradara Rudolf Puspa dan Dolfry yang merupakan bagian dari “Jas merah”. Akan dipentaskan di museum perumusan naskah proklamasi tanggal 29 Oktober 2016. Jam 19.30 wib. Jangan lupa catat agar pada waktunya tidak ketinggalan menyaksikan. Terima kasih. Wasalam. (Rudolf Puspa/ai/pojokseni)