Advertisement
pojokseni.com - Pertunjukan CUT OFF ; TO SEE, TO SEE YOUR SELF, TO BE SEEN adalah sebuah pertunjukan terbuka (open/devise) yang berangkat dari kegelisahan tentang isu yang ada di dalam sejarah pembangunan ‘Jalan Raya Pos ; Anyer-Panarukan’ pada zaman Daendels, hingga efeknya pada apa saja yang dihasilkannya pada kondisi mutakhir jalanan hari ini. Kami merancang bahwa dasar studi kami terhadap isu kolonialisme tersebut adalah modernisme pembangunan yang dimulai dari tahun 1808 oleh Daendels dengan membangun jalan raya Anyer–Panarukan hingga apa yang berjejak sebagai efek dan evolusi sosial dari kehadiran gagasan jalan.
Pembuatan jalan kami anggap sebagai pintu masuk bebas kapitalisme ; dimana akhirnya distribusi material, rempah-rempah, kayu, sandang dan pangan menjadi lebih cepat bergerak, artinya melalui jalan-lah, dan pembuatan jalan-lah, modernisme mulai menerobos masuk. Isu sejarah tersebut kami coba baca melalui dua buku utama yaitu ; ‘Jalan Raya Pos Daendels’ dari Pramodeya Ananta Toer dan ‘Nusa Silang Jawa’ dari Denys Lombard, kedua buku tersebut memberikan kami susunan dasar, saling keterkaitan pertama antara pembuatan jalan, masuknya peradaban baru, dan modernisme barat yang mendesak masuk.
Modernisme dengan logika kelas dan kapitalisme di dalamnya, dimana kami sempat menemukan narasi tentang ‘anjing dan pribumi di larang masuk’, yaitu sebuah papan/plang nama pada setiap pintu masuk rumah para totok/indo belanda, dimana pribumi adalah anjing, dan seharga dengan anjing. Pertanyaannya adalah apa yang terjadi dari arsip sarkasme seperti itu, aspek mental apakah yang akhirnya berjejak dan tertinggal di tubuh para eks-pribumi (hari ini), dan kondisi psikis apakah yang tersisa atasnya pada perilaku kultural di jalan-jalan hari ini. Jalan lalu akhirnya membuat kami bergerak menuju lompatan waktu antara narasi di balik visi Daendels membangun jalan, sarkasme kolonial ; ‘anjing dan pribumi di larang masuk’, serta juga apa yang dihadapkan pada kita di jalan setiap hari ; penjambretan, pemukulan sepihak, aksi fasisme oleh kelompok tertentu, kekerasan agama, di mana jalan menjadi tidak lagi hanya sekedar ruang berangkat dari satu tempat ke tempat lain.
Jalan pun menjadi ruang kontestasi politik yang chaos, dan kerumunan massa yang tumpah dari ; massa parpol, massa supoter bola, massa demonstrasi, massa orkes dangdut, massa polisi serta segala berbagai chaos massa lainnya.
Dua ‘jalan’ untuk memasuki tema adalah ; situasi jalan pada saat pertama digagas oleh Daendels (Anyer-Panarukan) dan jalan sebagai ruang yang kita alami kini setiap harinya, dan kegelisahan politik massa yang ada di sekitar kita. Adakah efek dari modernitas di keduanya yang juga saling memperlihatkan chaos sosial. Kami pun memberi judul pertunjukan dengan nama ‘CUT OFF ; TO SEE, TO SEE YOUR SELF, TO BE SEEN’ semacam politik untuk melampaui sejarah (CUT), menerobos, meloncat dan meinterogasi makna aku-anjing (pribumi) dan kamu-bukan-anjing (totok/indo) yang kini kami bobol, kami gunting dan kami lompati kebekuannya.
Hari ini adalah lonjakan (CUT), dimana daendels adalah pijakan untuk kita membaca kesegeraan, kesekarangan situasi. Memotong, menyingkat, merusak, memberhentikkan dan mengitervensi, yang akhirnya juga jebol pada tahap pembacaan kita atas situasi krimanalitas sosial yang sedang marak terjadi di jalanan, bagaimana suatu massa dan massa lain saling berebut ruang, menyatakan atribut sosialnya, menyatakan ini saya dan siapa kamu, kontestasi intervensi kekuatan atas sisa-sisa kolonialisme, apokalipsme-aku yang rentan pertarungan. Sejak peristiwa Malari, Petrus (penembakan misterius), demontrasi dan chaos 1998, penyerangan FPI, pengrusakan Gereja, penembakan di jalan, adalah potensi aksi massa-pasca kolonial yang menggolakan konflik sosial.
Jalan bagi kami menjadi seperti rumah untuk massa dan kepentingan, massa dengan kepentingannya yang terpecah-pecah, sejak dimulainya kontestasi tentang konsep massa oleh Daendels dengan distingsi mayoritas-budak dan minoritas-indo. Maka hari ini jalan sebagai landasan bergeraknya Daendels memasukkan modernisme ke panggung sosial Indonesia juga menjadi peneropongan kita tentang apa-apa yang bergerak di jalanan dan atas nama massa pasca-kolonial.
Jalan sebagai rumah untuk massa, dengan frekuensi yang fraktal, acak dan chaos itu adalah mayoritas yang juga menyimpan kemarahan, dendam dan kekuasaan. Kekuasaan dari pengemudi yang ugal-ugalan, kekuasaan jalan dari partai politik, supporter sepakbola, pawai partai politik, penggusuran lahan-lahan dagang dan sengketa batas-batas tanah adalah elemen dasar rumah tangga jalan, dari massa yang mudah bergerak, bergejolak dan marah.
Ada apa di balik mayoritas dan apa saja jejak kolonialisme yang menyebabkan energi mayoritas pada hari ini begitu mudahnya menggelegak, dan bagaimanakah jalan sebagaimana yang pada mulanya digagas oleh Daendels menjadi panggung pertunjukan untuk energi mayoritas itu bergerak. Apakah kita adalah yang ada melintas dan melihat barisan jalan, ataukah kita barisan jalan yang selalu melihat apapun yang melintas.
Aktor
John Heryanto
Ganda Swarna
Hilmie Zein
Koreografer
Tazkia Hariny
Komposer
Lawe Samagaha
Skenografer
Eko Sutrisno
Videografer
Vanny Rantini
Desain Cahaya
Puji Koswara
Dramaturg
Taufik Darwis
Sutradara
Riyadhus Shalihin
Desain dan Fotografer
Mega Noviandari
Produksi
Habib Koesnady
Manajer Produksi
Rahmah Fitriyani
Sabtu dan Minggu
4 & 5 Juni 2016
Pertunjukan dimulai pada jam 20:00
di ampitheater
Selasar Sunaryo Art Space, Bandung
Jalan Bukit Pakar Timur No 100 Bandung
Harga Tiket :
Rp. 15.000
Reservasi dan Informasi
1. Rahmah Amay ; 085722849333
2. Muhammad Abi ; 08567145478