Advertisement
pojokseni.com - Akhir-akhir ini, ada banyak kejadian menarik terjadi didunia kesenian. Beberapa kejadian yang cukup menyita perhatian adalah ketika Front Pembela Islam (FPI) bersinggungan dengan dunia kesenian.
Ada beberapa kali, FPI dengan beringas membubarkan paksa sebuah pertunjukan seni, atau kegiatan pembelajaran di sekolah seni. Silahkan baca beritanya dibawah ini :
- FPI membubarkan kegiatan "Sekolah Marx" di ISBI Bandung
- FPI membubarkan pementasan "Tan" di Bandung
- FPI membubarkan kegiatan Lady Fest di Yogyakarta
Dari rentetan kejadian tersebut, muncul pertanyaan, ada apa dengan FPI? Tiga kejadian diatas membuat FPI mendapat sorotan miring dari para seniman dan pekerja teater. Khusus untuk pementasan "Tan" FPI beralasan bahwa acara tersebut tidak memiliki izin kepolisian. Situasi berbanding terbalik dengan aksi-aksi, hingga kumpul-kumpul yang kerap dilakukan oleh FPI juga tidak biasanya ada izin tertulis dari kepolisian.
Selain itu, FPI menyatakan bahwa Tan Malaka adalah tokoh komunis. Oleh sebab itu, pementasan tersebut dianggap merupakan konspirasi untuk menyebarkan lagi komunisme di Indonesia. Sebuah alasan yang tidak masuk akal untuk sebuah pertunjukan seni. Dengan demikian, bagi logika FPI, ada banyak pementasan seni yang mengangkat biografi seseorang tokoh yang tidak boleh dilakukan, seperti biografi DN Aidit, Tan Malaka, Musso hingga Soekarno!
Pembubaran acara Lady Fest juga benar-benar tidak bisa diterima logika sehat. Dengan tuduhan mendukung LGBT dan sebagainya, FPI lalu serta merta menghentikan acara. Lebih hebatnya lagi, para peserta yang ikut dalam acara tersebut dianggap sebagai 'kafir', tanpa mengetahui draft dan visi acara secara rinci.
Terakhir pembubaran kegiatan sekolah Marx, yang tidak hanya dihujat oleh sesama seniman, bahkan dikecam oleh Mabes Polri dan Walikota Bandung, Ridwan Kamil. Pojok seni berharap, tindakan arogan tersebut tidak harus terjadi lagi. Saat ini, kebebasan berekspresi, berkreasi dan menampilkan pertunjukan seni, dilindungi oleh Undang-Undang. Jangan sampai, para seniman dan 'penegak akidah' semacam FPI akhirnya menjadi bermusuhan, lantaran keegoisan dan tindakan sembrono tersebut. (ai/pojokseni)