Advertisement
Dr Citra Aryandari |
pojokseni.com - Dekan Fakultas Seni Pertunjukan, Institut Seni Yogyakarta, Prof. Dr. Hj. Yudiaryani,M.A memberikan klarifikasi terhadap pemberitaan kasus DR Citra yang berhembus sebelumnya.
Sebelumnya, pada pekan pertama April 2016, terang Yudiaryani, sejumlah media massa memberitakan rencana gugatan ke PTUN yang dilakukan oleh Dosen Jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, Dr. Citra Aryandari, S.Sn., Magister Agama (M.A.) terhadap institusi yang telah ikut membesarkan dirinya dan selanjutnya disebut Kasus Dr. Citra.
Sejak munculnya berita-berita tersebut, lanjutnya, energi pihak Fakultas Seni Pertunjukan (FSP) ISI Yogyakarta dengan Dekan Prof Dr. Hj. Yudiaryani, M.A. banyak tercurah ke situ, sehingga mengurangi intensitas pelayanan kepada mahasiswa yang tengah menjalani perkuliahan. Di samping itu, banyak agenda fakultas yang tergeser dan atau ditunda karena memprioritaskan penyelesaian masalah baru yang timbul akibat pemberitaan tersebut.
"Kondisi demikian tentu sangat merugikan kami baik secara material maupun moril. Institusi ISI Yogyakarta merasa sangat dirugikan atas berita-berita tersebut yang cenderung membentuk opini negatif dengan data yang tidak akurat," tulisnya di akun FB pribadinya.
Yudiaryani menjelaskan, bahwa Kasus Dr. Citra sebenarnya tidak datang secara tiba-tiba, melainkan sudah hampir satu dasawarsa menjadi pergumulan dosen-dosen Jurusan Etnomusikologi, FSP, ISI Yogyakarta. Sumber permasalahan sebenarnya lebih banyak disebabkan oleh attitude dari yang bersangkutan karena kurang bisa menyesuaikan dengan lingkungan sosialnya sehingga menimbulkan banyak gesekan. Dengan kata lain, Dr Citra dalam kehidupan sehari-hari baik dalam sikap dan tingkah laku personal maupun dalam etika berorganisasi sering melanggar kode etik pegawai di lingkungan Jurusan Etnomusikologi.
Namun, lanjut Yudiaryani, sejak adanya surat dari Ketua Jurusan Etnomusikologi tertanggal 29 Desember 2015 yang pada intinya melimpahkan pembinaan Dosen atas nama Dr. Citra Aryandari,S.Sn.,MA kepada Dekan FSP, permasalahannya menjadi di bawah ampuan Fakultas Seni Pertunjukan. Sesuai dengan prosedur, Dr Citra sebenarnya tengah dalam proses pembinaan sehingga sangat mengejutkan ketika tiba-tiba muncul di media dengan pernyataan akan menggugat Dekan Fakultas seni Pertunjukan ISI Yogyakarta ke PTUN.
"Sementara proses di internal masih berlangsung. Berhubung permasalahannya kini sudah beralih dari ranah internal ke publik melalui pemberitaan, maka saya memandang perlu untuk memberikan tanggapan atau klarifikasi agar pembentukan opini publik tidak berjalan secara sepihak," lanjutnya.
Yudaryani menambahkan, setelah melakukan analisis isi pemberitaanterkait kasus tersebut, pihaknya menangkan adanya setting pesan yang dicoba desakkan oleh Dr. Citra melalui media massa. Yudiaryani menekankan, jika dicermati, muatan pesan tersebut bertendensi mendeskriditkan pihak FSP ISI Yogyakarta. Dari berbagai berita yang berhasil dikumpulkan dan dilakukan analisis isi ditemukan adanya sejumlah pesan negatif terhadap ISI Yogyakarta yang disampaikan oleh Dr. Citra atau pengacaranya.
Adapun kondisi yang senyatanya, menurut Yudiaryani adalah sebagai berikut:
1. Dr. Citra Aryandari, S.Sn.MA tidak diberi jadwal mengajar di Jurusan Etnomusikologi pada semester Genap 2015/2016 bukan suatu larangan melainkan hasil KESEPAKATAN yang dibuat dengan melibatkan dosen-dosen di Jurusan Etnomusikologi yang juga dihadari Dr. Citra Aryandari, S.Sn.MA bahwa dalam satu semester Genap 2015/2016 yang bersangkutan tidak dibebani tugas mengajar. Kesepakatan itu dibuat dengan maksud untuk meredakan suasana/ketegangan yang sudah merambah wilayah silaturahim antarmahasiswa di Jurusan Etnomusikologi, dan memberikan kesempatan kepada Dr. Citra Aryandari, S.Sn.MA untuk introspeksi (Tersedia bukti berupa rekaman audio atas pertemuan ini).
2. Adalah naif kalau institusi sebesar ISI Yogyakarta melarang dosennya mengajarkan postmodernisme kepada mahasiswanya. Jadi, hanya alasan yang dibuat-buat dan kebohongan belaka kalau Dr. Citra Aryandari, S.Sn.MA merasa dimusuhi karena mengajarkan postmodernisme. Bahkan eksistensi jurusan Etnomusikologi itu sendiri sejalan dengan spirit postmodernisme terutama dalam hal pengakuan terhadap multikulturalisme, lokalitas, etnisitas, emansipasi, keunikan, dan prinsip-prinsip lainnya dalam postmodernisme. Dengan demikian, bidang pengkajian dan penciptaan musik etnis yang menjadi tujuan kehadiran Jurusan Etnomusikologi tidaklah anti dengan aliran postmodernisme.
3. Sampai detik ini sama sekali tidak ada pencoretan nama Dr. Citra Aryandari, S.Sn.,MA dari Daftar Pengajar di Fakultas Seni Pertunjukan ISI Yogyakarta. Yang terjadi ialah, pada Semester Genap 2015/2016 Dr. Citra Aryandari, S.Sn.,MA tidak mendapatkan jadwal mengajar di Jurusan Etnomusikologi sesuai dengan kesepakatan bersama sebagaimana disebut pada butir 1 di atas. Namun, saat ini Dr. Citra Aryandari, S.Sn.,MA masih menjalankan tugas sebagai dosen dengan memberikan perkuliahan di fakultas lain. Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 2013 tentang Jabatan Fungsional Dosen dan Angka Kreditnya pada pasal 8 ayat (1) Rincian kegiatan jabatan Akademik Dosen, sebagai berikut: Malaksanakan perkuliahan/tutorial dan membimbing, menguji serta menyelenggarakan pendidikan di laboratorium, praktik keguruan bengkel/Akademik/Politeknik sendiri, pada fakultas lain dalam lingkungan Universitas/Institut sendiri, maupun di luar perguruan tinggi sendiri secara melembaga tiap sks (paling banyak 12 sks) per semester. Selama ini Dekan FSP tidak pernah melarang kegiatan tersebut.
4. Sampai detik ini meja kerja Dr. Citra Aryandari, S.Sn.,MA masih tetap berada di ruang dosen Jurusan Etnomusikologi dan tidak diubah-ubah. Dengan demikian, pernyataan bahwa meja kerjanya sudah tidak ada di ruang dosen merupakan kebohongan publik dan wujud pemutarbalikan fakta.
5. Tidak benar jika dikatakan bahwa Dekan dan dosen-dosen mengelar rapat intern tanpa menghadirkan Dr. Citra Aryandari, S.Sn.,MA dan berujung pada hilangnya hak mengajar yang bersangkutan. Faktanya, rapat yang semula dimaksudkan sebagai bentuk Pembinaan ketiga dan sebelumnya telah disanggupi sendiri oleh Dr. Citra Aryandari, S.Sn.,MA untuk hadir, ternyata yang bersangkutan mangkir, dan kemudian dia membuat terobosan dengan melaporkan persoalan langsung kepada pimpinan yang lebih tinggi ketika proses pembinaan di tingkat Dekanat masih berlangsung. Dalam etika birokrasi, langkah Dr. Citra Aryandari, S.Sn.,MA yang demikian itu jelas tidak prosedural, dan tidak mencerminkan kedewasaan emosional maupun intelektual seorang doktor yang seharusnya menjadi rujukan bagi yang lain.
6. Pernyataan bahwa Dekan FSP tidak memberikan pembinaan, tetapi justru menghukum merupakan pernyataan yang tidak berdasar dan bertendensi melakukan pembunuhan karakter (character assassination). Jika Dr. Citra Aryandari,S.Sn.,MA memahami sistem manajemen administrasi pendidikan di kampus, seharusnya tahu bahwa Dekan tidak memiliki hak untuk melakukan intervensi kepada Jurusan/Prodi dalam pembagian tugas mengajar dosen.
7. Mengenai tuduhan terhadap Dekan FSP yang tidak menindaklanjuti putusan rektor, perlu kami jelaskan bahwa surat Rektor No. 1025/IT4/PP/2016 tertanggal 19 Februari 2016 perihal “Klarifikasi Laporan Pembinaan PNS” bukan Surat Keputusan, melainkan jawaban atas surat yang dikirimkan oleh Dekan FSP. Dalam surat tertanggal 19 Februari 2016 tersebut Rektor memang memberikan himbauan agar Dekan FSP memberikan solusi (win-win solution) dengan menugaskan Dr. Citra Aryandari,S.Sn.,MA sebagai asisten Prof. Dr. Victorius Ganap, M.Ed. dalam mengampu Mata Kuliah Kapita Selekta pada Jurusan Etnomusikologi. Sebagaimana telah disebutkan pada butir enam di atas, penugasan mengajar bukan merupakan wewenang Dekan, tetapi kewenangan Ketua Jurusan/Program Studi sehingga tuntutan Dr. Citra Aryandari,S.Sn.,MA sebenarnya salah sasaran. (tim/pojokseni)