Advertisement
“Ketika Sastrawan dibungkam, pers dan massa harus bergerak!”
pojokseni.com - Sejak ditetapkan
sebagai tersangka oleh Polres Jakarta Timur dan memenuhi panggilan
penyidikan pada tanggal 11 September 2015, kasus kriminalisasi sastrawan
Saut Situmorang terus berjalan. Ramainya media sosial dalam menyuarakan
penggiringan opini yang berujung pada kriminalisasi Iwan Soekri dan
Saut Situmorang serta ramainya kalangan pers dalam memberitakan kasus
ini sampai sekarang tak berhasil menghentikan proses kriminalisasi yang
secara keji dilakukan oleh Fatin Hamama dan orang-orang yang ada di
belakangnya. Kasus ini tidak hanya menciptakan rasa tidak aman pada diri
Saut Situmorang. Ia juga menciptakan rasa tidak aman di antara publik
sastra ketika mereka melontarkan kritik-kritiknya yang keras terhadap
berbagai sisi buruk dari dunia yang mereka geluti. Kasus ini, tanpa bisa
dielakkan, menunjukkan betapa pihak-pihak yang mendaku dirinya sebagai
bagian dari sastra Indonesia telah memanfaatkan kekuatan kapital dan
lembaga-lembaga hukum untuk secara licik menggiring persoalan di dunia
sastra menjadi persoalan hukum.
Tanggapan atas penggiringan opini publik sastra dari persoalan sastra ke wilayah hukum yang diikuti dengan kriminalisasi Iwan Soekri dan Saut Situmorang tak cukup hanya diramaikan di dunia media sosial (medsos). Saut Situmorang membutuhkan dukungan konkret berupa aksi massa publik sastra dan kawan-kawan pergerakan maupun masyarakat umum demi sehatnya dunia sastra Indonesia. Kita semua tahu bahwa Saut Situmorang-lah satu di antara sedikit sastrawan yang memiliki komitmen total pada tumbuh kembangnya sastra Indonesia. Ia dengan tanpa ampun menunjukkan kebusukan dunia sastra dan kebudayaan Indonesia, menuding pihak-pihak yang menjadi pelaku pembusukan itu, dan menunjukkan dengan tegas jalan menuju makin berkualitasnya sastra dan kebudayaan Indonesia di masa kini dan masa nanti.
Ketika banyak di antara penyair, penulis prosa, seniman, dan atau akademisi yang secara keilmuan dianggap mapan telah malas bertemu dengan kawan-kawan yang masih muda dan tengah semangat-semangatnya belajar, Saut justru menjadi penyair pertama yang mau diajak berdiskusi dan belajar bersama dengan kawan-kawan tersebut dengan cara yang sangat egaliter. Ketika banyak di antara penyair, penulis prosa, seniman, dan akademisi yang dianggap mapan menuntut bayaran (tinggi) ketika diundang oleh generasi muda yang masih haus-hausnya belajar, Saut justru membuka kesempatan pada siapa pun untuk belajar bersama dan saling memperkaya ilmu pengetahuan masing-masing. Ini masih belum cukup. Selain menunjukkan berbagai borok sastra dan kebudayaan Indonesia, Saut juga terus mengajak kawan-kawan untuk bergerak memperbaiki keadaan ini, di tengah-tengah budaya pembiaran dari berbagai institusi dan figur-figur yang dianggap sebagai panutan.
Dengan mempertimbangkan kontribusi besar Saut Situmorang pada kehidupan sastra Indonesia selama ini, kriminalisasi penyair Saut Situmorang lewat jeratan pasal pencemaran nama baik (UU ITE) sama artinya dengan bencana sastra Indonesia di masa kini dan masa depan. Penetapan Saut Situmorang sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik Fatin Hamama sama artinya dengan pelestarian penipuan sejarah sastra Indonesia. Kriminalisasi penyair Saut Situmorang oleh Fatin Hamama dan orang-orang yang ada di belakangnya ini menjadi tindakan paling memalukan yang ironisnya dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai bagian dari sastra Indonesia. Dampak buruk lanjutan dari kriminalisasi Saut Situmorang adalah mempermudah dijeratnya sastrawan dan para penulis kritis pada umumnya lewat berbagai pasal-pasal karet berbagai produk perundangan kita. Dengan cara ini, proses pembusukan sastra dan kebudayaan Indonesia bisa berlangsung terus, dan pihak-pihak tertentu yang selama ini mengambil keuntungan dari proses pembusukan ini akan bisa melestarikan dominasinya. Yang paling mengerikan, kriminalisasi Penyair Saut Situmorang membuat generasi muda dan kawan-kawan yang sedang membutuhkan proses belajar yang sehat akan kehilangan salah satu ruang pembelajaran yang egaliter dan kritis.
Ketika media sosial dan jurnalisme telah bersuara namun kriminalisasi Saut Situmorang tetap berjalan, maka kami mengajak semua publik sastra, mahasiswa, aktivis pergerakan, akademisi, dan masyarakat umum untuk bergerak bersama menghentikan pembelokan polemik sastra menjadi persoalan hukum. Secara konkret kami mengajak semua pihak untuk bersama-sama menuntut polisi agar menghentikan kasus kriminalisasi Saut Situmorang. Acara Aksi Budaya tentang Kriminalisasi Saut Situmorang dan Bencana Sastra Indonesia di gelar di Parkiran Terpadu/Kampus Barat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta pada Hari Rabu, 30 September 2015 pukul 19.00 lalu.
(Tulisan ini adalah rilis pers yang dikeluarkan oleh panitia acara, sebelum perhelatan)