Advertisement
Oleh: Sapardi Djoko Damono
pojokseni.com - Kita andaikan ada sebuah sajak dalam bahasa Jepang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris; sajak terjemahan itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, lalu ke dalam bahasa Jawa. Dari versi bahasa Jawa, sajak itu kemudian dikembalikan ke dalam bahasa Jepang. Saya yakin, pembaca Jepang akan bertanya-tanya siapa gerangan yang telah menulis sajak serupa itu. Perbedaan antara yang asli dan yang asli tapi terjemahan itu merupakan hasil dari suatu proses pengkhianatan kreatif yang dilakukan oleh para penerjemah.
Menerjemahkan karya sastra berarti mengubah mengurangi atau menambah apa yang ada pada aslinya. Setiap penerjemah karya sastra pada hakikatnya mengkhianati yang diterjemahkannya sebab hanya dengan demikian ia bisa menampung karya yang diterjemahkannya itu ke dalam bahasa sasaran. Karya sastra dihasilkan oleh suatu masyarakat yang pada suatu masa tertentu mengembangkan kebudayaan yang pada gilirannya mennghasilkan karya sastra. Pada hemat saya, tidak ada seorang sastrawan pun yang bisa menghindari kenyataan itu.
Dan ketika penerjemah melakukan kegiatannya, kenyataan itu membayanginya. Karya sastra yang merupakan benda budaya yang dihasilkan oleh suatu masyarakat yang berakar pada tempat dan waktu tertentu, dipindahkan ke masyarakat lain yang akar budayanya berlainan. Benda budaya yang di suatu masyarakat disebut puisi, misalnya, harus diterjemahkan menjadi puisi pula. Masalahnya bukan terletak pada tuntutan agar penerjemah puisi adalah penyair, sebab kalau bukan maka terjemahannya diragukan sebagai puisi, tetapi terutama terletak pada perbedaan konsep mengenai puisi di antara masyarakat sumber dan masyrakat sasaran. Contoh yang segera muncul di kepala saya adalah haiku, jenis karangan terikat yang ringkas dari Jepang yang terdiri atas tiga larik, masing-masing terdiri atas lima, tujuh, dan lima (suku) kata. Ia hanya disebut haiku hanya kalau memenuhi syarat itu, namun dalam terjemahan yang ada dalam bahasa apa pun, sepanjang yang saya ketahui syarat itu tidak pernah bisa terpenuhi.
Bahkan seandainya terjemahan haiku itu dianggap berhasil, pertanyaan yang bisa muncul kemudian adalah apakah terjemahan itu dalam bahasa sasarannya juga bisa diterima sebagai puisi. Kita bisa membayangkan tanggapan Ronggowarsito seandainya pujangga Jawa itu membaca hasil terjemahan tersebut dalam bahasa Jawa. Haiku dan dhandhangula keduanya merupakan karangan terikat, tetapi cara mengikatnya sama sekali berlainan. Berbeda dengan Ronggowarsito, sastrawan Jawa masa kini tentu tidak akan memberikan tanggapan yang sama.
Jepang dan Indonesia adalah dua negeri yang terletak di dua daerah geografis yang berbeda, yang mencakup iklim, musim, dan lingkungan alam. Faktor-faktor itulah, di samping ideologi dan agama, yang pada dasarnya menentukan tumbuhnya kebudayaan, yang mencakup bahasa. Jika masalah penerjemahan haiku dianggap terlalu jauh, kita pusatkan perhatian pada kesusastraan kita sendiri. Salah satu buku yang (pernah) merupakan bacaan wajib di sekolah-sekolah kita adalah Sitti Nurbaya karangan Mh. Rusli, sebuah novel yang terbit pertama kali tahun 1922.
Buku itu ditulis dalam bahasa Melayu (Balai Pustaka), bahasa yang kemudian berkembang menjadi bahasa Indonesia.[1] Kita umumnya beranggapan bahwa novel itu bisa dibaca remaja kita, meskipun sebenarnya hal itu perlu dipertimbangkan lagi. Masalahnya adalah apakah mereka masih bisa memahami bahasa dan kebudayaan yang telah menghasilkannya. Juga, apakah posisi novel itu tidak sama dengan kitab-kitab klasik lain yang ditulis dalam bahasa Melayu? Jika kedudukannya sama, maka usaha untuk mengubahnya ke dalam bahasa masa kini tentu merupakan pertimbangan yang tidak dibuat-buat. Diterjemahkan atau tidak, bagi sebagian besar pembaca kita terutama yang bukan Minang buku itu tentu dianggap sebagai sejenis bacaan dari suatu kebudayaan asing juga. Setidaknya pilihan kata dan susunan kalimat, belum lagi berbagai unsur dalam struktur sosial yang manjadi panggung bagi tokoh-tokoh dalam novel itu, terasa asing bagi pembaca masa kini.
(Bersambung ke bagian II : Menerjemahkan Karya Sastra Menurut Sapardi Djoko Damono)