Advertisement
Oleh : Fajar Menahadilla
nnamemenna@gmail.com
Tahukah
kamu dimana ‘Arsy? Tempat itu merupakan singgasana Tuhan yang Maha Pemurah.
Bukankah begitu indah dan agung kedudukannya? Maka dari tempat menakjubkan itu,
seorang pahlawan sangat pantas dianugerahi lencana. Bukan hanya tanda jasa,
tapi juga tanda bangga sekaligus duka, karena ternyata negara kita belum mampu
menghargai sosoknya.
Letnan
Kolonel Anwar, lahir di Tanah Kuranji pada 18 Desember 1914. Anwar muda menyelesaikan
pendidikannya di sekolah Belakang Tangsi pada tahun 1930. Selepasnya, tujuh
tahun kemudian beliau habiskan untuk berlayar, menyusuri lenggok lekukan laut
sepanjang Asia-Australia. Jiwa mudanya bergejolak, nurani membela Tanah Air itu
berteriak. Maka pulanglah Anwar muda, memulai kisahnya menjadi pejuang,
merelakan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
Anwar
menoreh awal perjuangannya sebagai tentara di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan.
Setelah itu, beliau pernah menjabat menjadi komandan 3 kompi. Beberapa tahun
berlalu, pada tanggal 15 November 1946 perjanjian Linggarjati pun digelar. Bagindo Aziz Chan,
pemimpin Anwar muda menentang isi perjanjian. Maka pecahlah perang, dan kaki Anwar yang ditembus timah panas menjadi saksi
bisu amukan Belanda saat itu.
Anwar
juga pernah mengecap pahitnya di bui. Pada tahun yang sama 1946, Anwar
tertangkap saat sedang bergerilya dari Padang ke Payokumbuah. Waktu itu perang
sedang hangatnya, Anwar yang melewati
Padang panjang berhasil dieksekusi Belanda. Empat tahun di bui, tubuhnya benar
sangat didera. Tangan diikat kawat berduri, kaki dirantai besi, dipukuli, juga
diberi minum air putih dicampur air seni. Perlakuan ini, benar tak manusiawi.
Tapi Anwar muda pantang menyerah, dirinya akan sangat bangga jika pulang
membawa topi serdadu Belanda.
Pernah
suatu ketika Anwar ditanyai serdadu Belanda, apakah beliau berjuang untuk
jabatan dan kedudukan semata? Lantas beliau jawab dengan sederhana “aku
berjuang untuk negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati disini. Aku bangga,
karena itu demi negara”. Jawaban ini benar sangat menyentuh. Mengajari kita
untuk berjuang tanpa pamrih. Mengobarkan semangat kita untuk terus
mempertahankan kedaulatan bangsa.
Sudah
cukup kenalkah kita dengan sosok Anwar? Jika belum, mungkin kisah ini akan
lebih mengingatkan kita, bahkan mungkin akan membuat kita tertohok dengan rasa
sesal yang membuncah. Senin, 28 Juli 2008, kisah Anwar pernah di angkat oleh seorang
pewarta dalam harian PosMetro Padang. Sayangnya,
hanya berita dari koran itulah yang menjadi sumber rujukan akan sosok sang
Letnan. Meski kemudian, menyusul beberapa ulasan berikutnya di blog dan media
sosial. Kala itu Anwar hangat diperbincangkan; seputar kisah pilunya, sekaligus
kisah tragisnya yang sempat menjadi korban olokan. Namun Letnan Kolonel Anwar
yang kian tua terus saja menginspirasi kita dengan gurindam hidupnya. Lewat bait
demi bait lakon hidup yang mengajarkan kita untuk terus berjuang, meski hidup
tak lagi bersahabat.
Usia
beliau ketika dimuat di harian itu sudah tidak lagi muda. 94 tahun, anwar muda mungkin
kini sudah dipanggil kakek tua. Pertempurannya masih terus berlangsung, tapi
bukan lagi di medan perang. Lawannya pula bukan lagi serdadu Belanda, melainkan
getirnya hidup di hari tua. Tapi Anwar masih terus mempesona, kemampuannya
menguasai tiga bahasa asing ditambah dua bahasa daerah, masih luar biasa. Ilmu
itu beliau ajarkan tanpa dipungut biaya kepada kanak-kanak di sekelilingnya.
Namun ilmu yang diberinya ternyata bukan hanya itu saja. Anwar yang renta terus
menyemai pelajaran hidup. Menyadarkan para pemuda untuk tidak lupa pada sejarah
bangsa, apalagi lupa pada peluh bahkan darah yang dikorbankan oleh para
pahlawannya.
Maka
Letnan Kolonel Anwar itu kian menepi. Kisah heroiknya pernah dianggap bualan,
Anwar dianggap bukan pahlawan. Tapi beliau tak patah arang, sejarah tak akan
pernah mendustainya. Letnan ini terlunta, berjuang susah payah di sepanjang
jalan. Beliau terpaksa menengadah tangan, tidak mengharap uang, sesuap nasipun
sudah lebih dari cukup baginya. Pejuang ini hidup tanpa keluarga, istrinya dan calon
bayinya telah lama meninggal dunia. Jangan tanya rumah padanya, sebab hidupnya
hanya menumpang di rumah kecil milik keluarga berhati emas. Tak usah singgung
tentang mobil mewah, karena mirisnya beliau hanya naik angkot dan berjalan kaki
dengan sepasang sendal jepit yang diikat tali untuk menyusuri jalanan.
Letnan
Kolonel Anwar tetaplah seorang pahlawan, jiwa ksatrianya tak akan pernah padam.
Dengan tulusnya beliau bertutur kepada
pewarta hebat itu, “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjung bukan untuk
mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Biarlah hidup begini, asal
tak mengganggu orang lain. Saya rela. Bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan
masa tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang memandang saya hina.
Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa ini
merdeka. Tak ada yang membuat saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera
Indonesia”. Benar miris sekali mendengar tuturnya, mendengar kisah prihatin hidup
sang Letnan hingga tutup usia pada Selasa, 12 april 2011 lalu.
Pejuang
mana lagi yang tega kita biarkan melarat seperti Letnan Kolonel Anwar?
Mengetahui ada kisah semenyedihkan letnan ini saja sudah membuat kita merasa
amat sangat berdosa. Lihatlah kini, bendera mungkin sudah berkibar di tiang sana.
Coba rasakan, bagaimana nikmatnya hidup tanpa perang dan gerilya. Benar sangat
indah dan damai. Maka ini semua juga hasil dari jerih sang Letnan. Anwar tak
pernah menuntut kita untuk membayar peluhnya. Namun sekedar menghargai jasanya,
bukankah sudah sepatutnya kita lakukan.
Untuk
para pemuda pemudi di negeri ini, Anwar mana lagi yang akan kita korbankan?
Sudah sepatutnya kita sadar bahwa masa depan akan selalu berdampingan dengan
masa lalu. Dari balada kesederhanaan hidup Letnan Kolonel Anwar, kita harusnya
belajar banyak; akan perjuangan tanpa pamrih, akan lembut hati untuk lebih menghargai, untuk lebih peduli,
serta tahu diri akan setiap peristiwa yang pernah terjadi. Maka maafkan kami
Letnan, yang mungkin lupa bagaimana cara balas budi. Untuk Letnan Kolonel
Anwar, kau jauh lebih pantas mendapat
lencana dari Tuhan. Selamat Jalan sang Letnan, biarlah kisah serta nisan mu
terus menegur juga mencambuk kami agar lebih menghargai jasa pejuang bangsa di
negeri ini. Tak perlu pakai surat, tak perlu pakai lencana, karena tauladanmu
telah mewakili segalanya. Maka Tuhan, Lencana mu tentulah lebih indah,
anugerahi beliau, Letnan Kolonel Anwar, dengan lencana dari ‘Arsy.