Artikel Finalis #8 : Letnan Kolonel Anwar (Pahlawan dengan Lencana dari ‘Arsy) -->
close
18 October 2014, 10/18/2014 03:14:00 AM WIB
Terbaru 2014-10-17T20:14:48Z
Artikelevent

Artikel Finalis #8 : Letnan Kolonel Anwar (Pahlawan dengan Lencana dari ‘Arsy)

Advertisement

 Oleh : Fajar Menahadilla 
nnamemenna@gmail.com

            Tahukah kamu dimana ‘Arsy? Tempat itu merupakan singgasana Tuhan yang Maha Pemurah. Bukankah begitu indah dan agung kedudukannya? Maka dari tempat menakjubkan itu, seorang pahlawan sangat pantas dianugerahi lencana. Bukan hanya tanda jasa, tapi juga tanda bangga sekaligus duka, karena ternyata negara kita belum mampu menghargai sosoknya.
            Letnan Kolonel Anwar, lahir di Tanah Kuranji pada 18 Desember 1914. Anwar muda menyelesaikan pendidikannya di sekolah Belakang Tangsi pada tahun 1930. Selepasnya, tujuh tahun kemudian beliau habiskan untuk berlayar, menyusuri lenggok lekukan laut sepanjang Asia-Australia. Jiwa mudanya bergejolak, nurani membela Tanah Air itu berteriak. Maka pulanglah Anwar muda, memulai kisahnya menjadi pejuang, merelakan jiwa dan raganya untuk kemerdekaan bangsa Indonesia.
            Anwar menoreh awal perjuangannya sebagai tentara di bawah pimpinan Bagindo Aziz Chan. Setelah itu, beliau pernah menjabat menjadi komandan 3 kompi. Beberapa tahun berlalu, pada tanggal 15 November 1946 perjanjian  Linggarjati pun digelar. Bagindo Aziz Chan, pemimpin Anwar muda menentang isi perjanjian. Maka pecahlah perang, dan kaki  Anwar yang ditembus timah panas menjadi saksi bisu amukan Belanda saat itu.
            Anwar juga pernah mengecap pahitnya di bui. Pada tahun yang sama 1946, Anwar tertangkap saat sedang bergerilya dari Padang ke Payokumbuah. Waktu itu perang sedang hangatnya, Anwar yang  melewati Padang panjang berhasil dieksekusi Belanda. Empat tahun di bui, tubuhnya benar sangat didera. Tangan diikat kawat berduri, kaki dirantai besi, dipukuli, juga diberi minum air putih dicampur air seni. Perlakuan ini, benar tak manusiawi. Tapi Anwar muda pantang menyerah, dirinya akan sangat bangga jika pulang membawa topi serdadu Belanda.
            Pernah suatu ketika Anwar ditanyai serdadu Belanda, apakah beliau berjuang untuk jabatan dan kedudukan semata? Lantas beliau jawab dengan sederhana “aku berjuang untuk negara, bukan kedudukan. Bila kelak aku mati disini. Aku bangga, karena itu demi negara”. Jawaban ini benar sangat menyentuh. Mengajari kita untuk berjuang tanpa pamrih. Mengobarkan semangat kita untuk terus mempertahankan kedaulatan bangsa.
            Sudah cukup kenalkah kita dengan sosok Anwar? Jika belum, mungkin kisah ini akan lebih mengingatkan kita, bahkan mungkin akan membuat kita tertohok dengan rasa sesal yang membuncah. Senin, 28 Juli 2008, kisah Anwar pernah di angkat oleh seorang pewarta  dalam harian PosMetro Padang. Sayangnya, hanya berita dari koran itulah yang menjadi sumber rujukan akan sosok sang Letnan. Meski kemudian, menyusul beberapa ulasan berikutnya di blog dan media sosial. Kala itu Anwar hangat diperbincangkan; seputar kisah pilunya, sekaligus kisah tragisnya yang sempat menjadi korban olokan. Namun Letnan Kolonel Anwar yang kian tua terus saja menginspirasi kita dengan gurindam hidupnya. Lewat bait demi bait lakon hidup yang mengajarkan kita untuk terus berjuang, meski hidup tak lagi bersahabat.
            Usia beliau ketika dimuat di harian itu sudah tidak lagi muda. 94 tahun, anwar muda mungkin kini sudah dipanggil kakek tua. Pertempurannya masih terus berlangsung, tapi bukan lagi di medan perang. Lawannya pula bukan lagi serdadu Belanda, melainkan getirnya hidup di hari tua. Tapi Anwar masih terus mempesona, kemampuannya menguasai tiga bahasa asing ditambah dua bahasa daerah, masih luar biasa. Ilmu itu beliau ajarkan tanpa dipungut biaya kepada kanak-kanak di sekelilingnya. Namun ilmu yang diberinya ternyata bukan hanya itu saja. Anwar yang renta terus menyemai pelajaran hidup. Menyadarkan para pemuda untuk tidak lupa pada sejarah bangsa, apalagi lupa pada peluh bahkan darah yang dikorbankan oleh para pahlawannya.
            Maka Letnan Kolonel Anwar itu kian menepi. Kisah heroiknya pernah dianggap bualan, Anwar dianggap bukan pahlawan. Tapi beliau tak patah arang, sejarah tak akan pernah mendustainya. Letnan ini terlunta, berjuang susah payah di sepanjang jalan. Beliau terpaksa menengadah tangan, tidak mengharap uang, sesuap nasipun sudah lebih dari cukup baginya. Pejuang ini hidup tanpa keluarga, istrinya dan calon bayinya telah lama meninggal dunia. Jangan tanya rumah padanya, sebab hidupnya hanya menumpang di rumah kecil milik keluarga berhati emas. Tak usah singgung tentang mobil mewah, karena mirisnya beliau hanya naik angkot dan berjalan kaki dengan sepasang sendal jepit yang diikat tali untuk menyusuri jalanan.
            Letnan Kolonel Anwar tetaplah seorang pahlawan, jiwa ksatrianya tak akan pernah padam. Dengan tulusnya beliau bertutur  kepada pewarta hebat itu, “Saya tak butuh apapun. Dulu, saya berjung bukan untuk mendapatkan tanda jasa. Saya berjuang untuk negara. Biarlah hidup begini, asal tak mengganggu orang lain. Saya rela. Bagi saya berjuang bukan untuk kemapanan masa tua, tapi untuk kemerdekaan bangsa. Biarlah orang memandang saya hina. Asal saya bisa tenang. Biarlah hanya makan sehari yang penting bangsa ini merdeka. Tak ada yang membuat saya bahagia kecuali melihat kibaran bendera Indonesia”. Benar miris sekali mendengar tuturnya, mendengar kisah prihatin hidup sang Letnan hingga tutup usia pada Selasa, 12 april 2011 lalu.
            Pejuang mana lagi yang tega kita biarkan melarat seperti Letnan Kolonel Anwar? Mengetahui ada kisah semenyedihkan letnan ini saja sudah membuat kita merasa amat sangat berdosa. Lihatlah kini, bendera mungkin sudah berkibar di tiang sana. Coba rasakan, bagaimana nikmatnya hidup tanpa perang dan gerilya. Benar sangat indah dan damai. Maka ini semua juga hasil dari jerih sang Letnan. Anwar tak pernah menuntut kita untuk membayar peluhnya. Namun sekedar menghargai jasanya, bukankah sudah sepatutnya kita lakukan.
            Untuk para pemuda pemudi di negeri ini, Anwar mana lagi yang akan kita korbankan? Sudah sepatutnya kita sadar bahwa masa depan akan selalu berdampingan dengan masa lalu. Dari balada kesederhanaan hidup Letnan Kolonel Anwar, kita harusnya belajar banyak; akan perjuangan tanpa pamrih, akan lembut hati  untuk lebih menghargai, untuk lebih peduli, serta tahu diri akan setiap peristiwa yang pernah terjadi. Maka maafkan kami Letnan, yang mungkin lupa bagaimana cara balas budi. Untuk Letnan Kolonel Anwar,  kau jauh lebih pantas mendapat lencana dari Tuhan. Selamat Jalan sang Letnan, biarlah kisah serta nisan mu terus menegur juga mencambuk kami agar lebih menghargai jasa pejuang bangsa di negeri ini. Tak perlu pakai surat, tak perlu pakai lencana, karena tauladanmu telah mewakili segalanya. Maka Tuhan, Lencana mu tentulah lebih indah, anugerahi beliau, Letnan Kolonel Anwar, dengan lencana dari ‘Arsy. 

Ads