Artikel Finalis #7 : Tetesan Keringat Ayah Untuk Ilalang -->
close
18 October 2014, 10/18/2014 03:10:00 AM WIB
Terbaru 2014-10-17T20:10:40Z
Artikelevent

Artikel Finalis #7 : Tetesan Keringat Ayah Untuk Ilalang

Advertisement

Oleh : Iis Ambar Mawarini 
(bisnisambar@gmail.com)
Namaku Ambar. Tapi aku lebih suka orang memanggilku Ilalang. Aku adalah anak perempuan yang terlahir dari keluarga yang sederhana. Waktu itu aku ingat betul pernah merasakan lauk dengan garam dan parutan kelapa. Tak ada yang masalah dengan itu. Yang terpenting kami bisa bertahan hidup. Bahkan, ketika tetangga memiliki sepeda motor, ayah masih setia berangkat bekerja dengan sepeda lusuhnya. Bukannya kami tidak ingin membeli, akan tetapi ayah tak sanggup untuk membelinya. Setiap hari ayah berangkat pagi-pagi sekali karena tempat kerjanya sangat jauh dari rumah. Bahkan harus kucing-kucingan dengan anak-anaknya, karena kalau kami melihat ayah pergi, kami selalu menangis tidak ingin ditinggal. Pulang malam sudah biasa ayah lalukan. Terkadang kami harus menunggu di jalan tanjakan berbatu menuju rumah kami. Sederhana, kami hanya ingin oleh-oleh yang dibawa ayah, sekalipun hanya sisa gorengan pemberian orang lain yang tidak laku dijual. Ketika sesampainya di rumah, ayah kemudian menggorengnya kembali untuk dimakan bersama-sama. Kebersamaan menikmati makanan bahkan lebih enak daripada rasa gorengan yang kami makan.
Ayahku bekerja sebagai kuli pasar di daerah Jogja. Mengangkat karung arang yang berat bahkan sudah biasa. Terkadang kulit dan bajunya sampai menghitam terkena arang. Aku tau betul karena aku beberapa kali ikut ayah bekerja di sana. Ketika aku melihat orang berlalu lalang di jalan menggunakan baju rapi, aku selalu iri dengan mereka. Namun, ayah selalu tersenyum saat aku melihat beliau mengangkat karung-karung arang itu. Bahkan, ayah tidak ada perasaan malu ketika orang-orang melihatnya. Hal itu yang membuat aku pun juga tak malu untuk mengaku bahwa aku adalah anak ayah, saat orang-orang bertanya kepadaku.
Bertahun-tahun ayah bekerja seperti itu. Namun karena do’a dan kerja kerasnya mampu mengantarkanku bisa menikmati bangku Sekolah Dasar. Walaupun aku hanya berjalan kaki menuju sekolah tersebut, namun aku sangat senang. Karena sepeda masih terlalu mahal untuk kami beli kala itu. Seusai belajar di sekolah, terkadang aku ikut ayah ke sawah, karena beliau meliburkan bekerja. Ayah selalu memberikan jatah waktu untuk bersama keluarga di rumah, walaupun hanya satu hari dalam seminggu. Sawah yang hanya berukuran kecil dekat dengan sungai itu, ditanami macam-macam tanaman palawija. Ikut membantu ayah memetik cabai, memanen ketela pohon, ataupun jagung di sawah hal yang sangat menyenangkan bagiku. Bahkan ayah mengajariku bagaimana cara memanen jagung dan ketela pohon. Seusai membantu ayah, aku sering mencari ikan di sungai dekat sawah. Sebelum ayah pulang, aku sering meminta ayah untuk menungguiku mencari ikan. Bahkan, terkadang ayah ikut membantuku mencari ikan. Kita melakukannya dengan bersama-sama.
Alhamdulillah, saat Sekolah Dasar aku mendapat peringkat lima besar. Bahkan saat SMP aku pernah mendapat juara satu umum dan saat melanjutkan sekolah di SMK aku mendapatkan juara dua. Karena beberapa kali mendapatkan juara, aku sering mendapatkan bantuan dari sekolah berupa buku-buku maupun potongan biaya sekolah. Dan atas izin Alloh, ayah bisa menyekolahkanku ke Perguruan Tinggi di Jogja. Hampir semua mahasiswa di sana adalah anak orang yang mampu. Bahkan ada yang membawa mobil untuk berangkat ke kampus. Kebanyakan orangtua mereka bekerja sebagai PNS, guru, polisi, dan staff kantor. Namun aku tidak malu ketika mereka bertanya pekerjaan ayahku. Aku ingin membuktikan bahwa untuk bisa kuliah bukan hanya orang yang kaya saja. Ayah pernah mengajariku artinya kerja keras. Dan prinsip itu aku terapkan selama sekolah dan kuliah. Jarang mbolos, rajin mencatat, dan bahkan harus meminjam buku-buku di perpustakaan. Tiga sampai empat buku tebal-tebal skaligus bisa aku pinjam. Berat memang, tapi menurutku jumlah segitu belumlah cukup. Selain itu, aku juga aktif di organisasi kampus. Cita-citaku ingin bisa lulus sesuai target dengan IP tinggi. Karena do’a dan kerja keras, aku mendapatkan beasiswa. Rasanya bahagia bisa terpilih dari sekian banyak mahasiswa yang kuliah di kampus tersebut. Beasiswa tersebut setidaknya bisa mengurangi biaya kuliah.

Ayah dan ibuku memang hanya lulusan Sekolah Dasar. Dan lagi-lagi aku tak malu harus mengaku. Kenapa harus malu? Bukankah karena jasa mereka jua aku bisa sekolah sampai kuliah?! Ayahku pernah berkata walaupun beliau hanya bisa mengenyam pendidikan Sekolah Dasar, ia ingin anak-anaknya bisa sekolah tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang baik. Beliau berharap nasib anak-anaknya tidak seperti dirinya . Begitulah harapan beliau. Semua tak luput dari do’a dan kerja keras orangtua. Tetesan keringat ayah bahkan ayah perjuangkan demi anak-anaknya. Ayah, Engkau telah mengajariku arti rendah hati dan ketabahan. Seperti Ilalang yang dipandang sebelah mata sebagai rumput pengganggu. Padahal seandainya orang mau memahami, Ilalang mempunyai banyak manfaat. Daun Ilalang yang hijau banyak makhluk hidup butuhkan. Akar Ilalang pun bisa digunakan untuk pengobatan berbagai jenis penyakit. Ayah, engkau telah mengajariku arti kehidupan. Engkau telah mengajariku bagaimana bisa bertahan di tengah kerasnya kehidupan. Seperti Ilalang yang mampu tumbuh di tanah yang subur, di jalanan, di sawah bahkan di tanah kering bebatuan. Terimakasih ayah, engkaulah pahlawan inspirasiku.

Ads