Advertisement
Oleh : Nur Lailani,
(zonaqu1414@gmail.com)
Kulihat Rafin dan Alby, kedua adikku ini hanya gigit
jari melihat sekumpulan anak yang sibuk locat-loncat diiringi musik keras
sekali, ada juga yang sibuk bergaya seperti balapan di atas motor-motoran, atau
yang susah payah menggerakkan tombol meraih boneka dalam etalase. Sesekali
mereka tertawa dan berteriak riuh entah karena kalah atau menang aku tak tahu
pasti. Dibelakangnya berjajar bapak ibu nya yang terlihat ikut bahagia
menyaksikan anaknya. Begitulah suasana di salah satu sudut pusat perbelanjaan. Saat
itu aku mengajak kedua adikku untuk berjalan-jalan saja, melepas bosan setelah
berkunjung ke rumah si mbah.
Ke dua mata bocah itu nyaris tak berkedip memandangi
situasi disudut sana. Lalu ku ajak mereka berpindah tempat. Ku lihat tukang es
teh beberapa langkah dari tempat kami berdiri.
“Dek, kita beli es teh saja ya?”
Mereka mengangguk,meski mata mereka masih tertuju ke
sudut tempat permainan tadi.lalu kubelikan dua gelas es teh aroma melati.
Mereka girang sekali. Sedotan itu terasa begitu kecil, lalu di lepaskanya dan
diminumlah langsung dari gelasnya. Aku terkekeh melihatnya. Sementara disudut
sana kulihat anak-anak kecil dengan bibir belepotan dan dengan es krim yang
meleleh di tanganya. Hatiku sakit sekali, dingin menyengat tiba-tiba. Andai
saja mbak mu ini punya banyak uang, tentu kalian berdua bisa loncat-loncatan
atau main motor-motoran seperti tadi, atau pasti saat ini kalian sudah
belepotan dengan es krim rasa coklat kacang ditangan. Namun apa daya, dua gelas
es teh ini saja dek yang mampu mbakmu ini berikan. Saat itu aku masih SMA.
Permainan dan es krim itu harga yang mahal untuk kami.
Aku empat bersaudara, kakaku masih kuliah saat itu,
aku SMA, Alby SD dan si bungsu Rafin masih TK. Aku merasa salah tempat mengajak
dua bocah ini ke sini. Mungkin akan lebih bahagia jika aku mengajaknya ke
Bengawan saja. Sekedar berenang atau mincing ikan. Mereka tak perlu gigit jari
melihat anak-anak itu jajan sesuka hati. Andai aku punya uang untuk memberikan
yang mereka inginkan. Hatiku penuh sesak dengan kesedihan. Kami keluarga
sederhana, ayahku petani dan ibuku seorang guru biasa dengan upah tiga ratus
ribu saja. Kami berempat bersekolah seluruhnya.
Mereka anak-anak, dengan kepolosanya dan
spontanitasnya. Kuingat saat itu, Alby minta dibelikan sepatu baru. Sepatu
lamanya sudah menganga bak mulut buaya. Namun, sepatu barupun tak ada, hanya
sepatu bekas ku waktu dulu yang dijahit lagi pada beberapa sisi. Sepatu hitam
dengan tali merah muda. Ada gambar kupu-kupu kecil warna pink di samping
sisinya. Bocah itu terima saja. Setiap hari dipakainya dengan gembira. Rafin
tak jauh beda, celana putihnya sudah berubah coklat muda, itupun sebenarnya
bekas celana sepupuku. Ia merengek minta celana baru. Namun, kami tak mampu.
Ibuku memang luar biasa. Dipotongnya rok putih bekasku dulu. Meski tak putih
lagi namun lebih putih dari celana lamanya. Celana baru dari rok bekasku.
Mimpi-mimpi kecil mereka, berenang, beli mainan tamiya, baju baru atau uang
jajan lebih rasanya mimpi-mimpi kecil yang teramat sulit saat itu. uang jajan mereka
pas-pasan karena harus berbagi denganku dan kakakku. Meski sesekali mereka
menangis, merengek, namun mereka akhirnya berhenti meminta saat ibu bilang:
“Nak, nanti saja, kalau ada uang lebih setelah
mbak-mbakmu bayar sekolahnya”.
Setahun lalu, saat itu aku hendak membelikan sandal
ayahku saat itu bulan puasa. Aku hanya membawa uang pas. Rafin, adik bungsuku
ikut serta. Adzan berkumandang, akhirnya kutemukan sandal itu. Uang di saku
tinggal lima ribu. Adikku meminta makan bakso karena ia lapar. Ku katakan
padanya dengan nada membentak
“Tahan ya dek, uangnya nggak cukup, besok kalau ada
uang lebih kita beli bakso disana”.
Ia terdiam. Kepalanya tertunduk penuh sesal. Kalau
boleh kutebak mungkin ia merasa bersalah meminta hal yang sulit padaku meski
hanya semangkok bakso. Perutnya keroncongan, mukanya pucat pasi. Ku tinggalkan
dia sejenak, dan berlari, lagi-lagi segelas teh aroma melati dan dua butir roti
kecil seribuan. Kuulurkan padanya. Ia lahap memakanya. Ia melihatku, rotinya
masih satu dan es teh melati masih setengah diulurkanya padaku.
Aku menolak namun ia memaksa. Rasanya pahit sekali.
Saking pahitnya aku sampai menangis. Bukan rotinya, tapi hatiku. Andai aku
punya uang, andai aku bisa mengabulkan yang ia inginkan. Ia tersenyum kecil
memandangku sembari tangan kiri memegang perutnya yang kelaparan. Aku menyesal,
bahkan hingga kini, kenapa aku membentaknya padahal itu salahku. Kami bergegas
pulang, belum sampai parkiran ia melihat anak-anak duduk manis, menikmati
sepotong ayam krispi. Baunya benar-benar kuat menyengat, kuyakin perutnyapun
menggeliat.
“Mbak, nanti kalau sudah punya uang, kita makan
disana yah?”
Ia berhenti, menunjuk sebuah restoran cepat saji
sambil tersenyum. Ku anggukkan kepalaku. Hatiku perih. Rasa laparku hilang
berganti nyeri.
Ku catat satu persatu mimpi-mimpi kecil itu tanpa
tertinggal satupun dalam diaryku. Ku buat janji, nanti aku akan kembali kesini,
menebus mimpi-mimpi kecil itu.
Kini aku sudah bekerja. Seperti janjiku. gaji
pertamaku akan kutukar dengan mimpi itu. “dek ayo kita ambil mimpi-mimpi kalian
yang dulu”. Kataku dalam hati.
Pukul empat sore, aku sampai rumah. Mereka berdua,
Alby dan Rafin. Mereka sibuk dengan pekerjaan rumah masing-masing.
“Dek, ayo ke swalayan, main game, beli es krim,
makan ayam goreng, bakso, terus apa lagi yah, apa aja deh dek, kalian mau
apa?”.
Mereka melihatku bersamaan. Dan berkata bak paduan
suara.
“Emangnya kita anak-anak. Nggak usah. Mending
ditabung!”.
Mereka meneruskan pekerjaanya. Air mataku tumpah.
Kugenggam erat amplop gaji pertamaku hingga mengkerut. Mereka telah dewasa,
Alby SMA dan Rafin SMP. Mereka bukan lagi bocah yang dulu gigit jari ingin ini
itu, bukan lagi bocah yang ku hibur dengan teh melati dan sepotong roti.
Mimpi-mimpi kecil itu tetap tak terbeli.
“Dek, andai bisa kuputar waktu, sungguh ingin
kuwujudkan mimpi itu satu per satu. Tapi ku tahu, lewat cara itu mungkin Tuhan
sedang mendewasakanmu dan aku. Karenanya aku jadi tahu, kalian adik-adikku
juara satu. Dek, jika terimakasih itu sanggup dinominalkan maka aku tak tahu seberapa
banyak kali aku harus mengucapkannya padamu, agar setara dengan pegorbanan masa
kecilmu. Dek, Andai kata maaf mampu mengganti seluruh mimpi yang tak terpenuhi
ingin sekali kusebut berkali-kali sampai semua mimpi itu hadir jadi nyata.
Dek,aku percaya bahwa Tuhan akan mengganti semua mimpi kita dengan lebih baik
dari yang kita impikan saat itu. Terimaksih pahlawan-pahlawan kecilku dengan
jasa yang teramat besar. Pahlawan dari langit yang kucintai selama hidupku.