Advertisement
Oleh : Andi Anita Ulandari
AM
(anitaulandari@gmail.com)
Indonesia terbentuk
dari begitu banyak gugusan pulau. Di antara gugusan pulau itu, terdapat sebuah
pulau yang cukup besar dan berbentuk mirip huruf K. Pulau inilah yang dikenal
sebagai pulau Sulawesi. Pada abad ke-15, di pulau ini terdapat sebuah kerajaan
besar yang menguasai jalur perdagangan wilayah timur Indonesia, yaitu Kerajaan
Gowa. Dari Kerajaan Gowa inilah lahir seorang pahlawan pemberani yang selalu
dibanggakan oleh masyarakat Pulau Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, dialah
“Sultan Hasanuddin”.
Sultan Hasanuddin
lahir di Makassar, 12 Januari 1631 dan diberi nama I Mallombasi Muhammad Bakir
Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Ia adalah putra dari Sultan Malik
Asy-Said, Raja Gowa ke- 15. Lahir dan besar di lingkungan Kerajaan Gowa tidak
membuat Sultan Hasanuddin menjadi pribadi yang sombong. Dia memiliki sikap
rendah diri, cerdas dan semangat juang yang tinggi sejak masih kanak-kanak.
Sepeninggal ayahnya, Ia diangkat menjadi Raja Gowa ke-16 dan mendapat gelar
Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja saat ini lebih
dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin.
Pada masa
pemerintahan Sultan Hasanuddin, VOC (Belanda) tengah giat-giatnya berusaha
menguasai perdagangan rempah-rempah. Upaya ini ditentang oleh kerajaan-kerajaan
di seluruh Nusantara, tak terkecuali kerajaan Gowa yang juga menguasai jalur
perdagangan di wilayah Timur Indonesia. Belanda menyadari bahwa satu-satunya
halangan terbesar untuk menguasai perdagangan di kawasan timur Indonesia adalah
Kerajaan Gowa karena kekuatan armada perangnya yang seringkali membuat Belanda
kewalahan.
Setelah berbagai
perang antara Kerajaan Gowa dan VOC, Belanda mengalami kerugian besar dan
memutuskan untuk berdamai dengan Kerajaan Gowa melalui sebuah perjanjian.
Namun, perjanjian itu dilanggar oleh Belanda dengan mengirimkan surat bernada
ancaman kepada Sultan Hasanuddin. Namun, Raja Gowa ini memang pantang menyerah
dan akhirnya perang kembali terjadi. Dengan semangat lebih baik mati daripada
menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin bertempur selama dua hari,
lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan armadanya dihancurkan.
Pada tahun 1966, di
bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Belanda berusaha menundukkan
kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Kerajaan Gowa. Pada
saat itu juga Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan
kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Belanda. Sebelum
melakukan penyerangan Belanda mengutus seseorang untuk membawa tuntutan agar
Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang
terdahulu.
Sultan Hasanuddin menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami
diserang, maka kami akan mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan
segenap kemampuan yang ada. Kami berada dipihak yang benar. Kami ingin
mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri kami". Pertempuran pun tak
bisa dihindarkan. VOC sempat kewalahan dan meminta bantuan armada perang dari
Batavia.
Selepas perang hebat
itu, kondisi prajurit perang kedua pihak sangat lemah. Oleh karena itu,
Speelman mengusulkan perdamaian melalui sebuah perjanjian yang dikenal
“Perjanjian Bungaya”. Namun, perjanjian ini dinilai memberatkan Kerajaan Gowa
dan tidak disetujui oleh beberapa petinggi Kerajaan Gowa dengan tekad
"Hanya Mayat yang bisa menyerah".Akhirnya perang pecah kembali
tanggal 21 April 1668. Peperangan berlangsung sengit dan memakan begitu banyak
korban selama berbulan-bulan. Pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan Speelman
menyerang benteng Somba Opu. Patriot kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan
yang gigih atas serangan Belanda dan hujan peluru. Tapi, Setelah perang selama
selama 10 hari, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu
dikuasai Belanda. Sultan Hasanuddin pun kalah pada peperangan ini dan mundur ke
benteng Kale Gowa.
Saat itu, Sultan
Hasanuddin memang mengalami kekalahan dalam peperangan namun Belanda mengakui
bahwa inilah pertempuran yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu
yang paling lama dari yang pernah dialami dilakukan Belanda untuk menduduki
Indonesia. Sehingga, Belanda memberikan julukan De Haantjes van Het Oosten yang
artinya “Ayam Jantan Dari Timur” karena semangatnya pantang mundur.
Dari potongan sejarah
diatas, kita tahu bahwa Belanda memiliki kapal dan perlengkapan perang yang
baik untuk melawan Pasukan Kerajaan Gowa. Sedangkan laskar dan pelaut armada
Kerajaan Gowa hanya bermodalkan semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati
karena budaya siri' na pacce telah berakar dihati sanubari para pejuang
Kerajaan Gowa. Meskipun begitu, mereka tetaplah pasukan tangguh yang tak mudah
dikalahkan belanda.
Berbagai cara untuk
menghormati jasa dengan mengabadikan namanya seperti menjadikannya nama jalan
dan sebuah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia Timur yaitu Universitas
Hasanuddin yang juga memakai nama dan lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur".
Melalui keputusan Presiden RI No. 087/TK/tahun 1973 Tanggal 6 November 1973,
Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai
jasa-jasa kepahlawanannya. Sebuah bukti nyata bahwa nilai sebuah perjuangan
tidak akan mati.
Sultan Hasanuddin kini
telah wafat, tapi jasanya tidak pernah mati. Bahkan sampai saat ini budaya
siri’ na pace masih tetap dianut oleh masyarakat Sulawesi. Beliau adalah
cerminan karakter masyarakat Pulau Sulawesi, khususnya Makassar. Kami Makassar,
tidak kasar. Meski suara kami keras, bahasa kami agak kasar, tapi kami tegas
dan berjiwa besar. EWAKO !