Kisah Perjuangan “Ayam Jantan dari Timur” -->
close
21 October 2014, 10/21/2014 02:21:00 AM WIB
Terbaru 2021-02-02T17:50:26Z
Artikelevent

Kisah Perjuangan “Ayam Jantan dari Timur”

Advertisement

Oleh : Andi Anita Ulandari AM
(anitaulandari@gmail.com)

Indonesia terbentuk dari begitu banyak gugusan pulau. Di antara gugusan pulau itu, terdapat sebuah pulau yang cukup besar dan berbentuk mirip huruf K. Pulau inilah yang dikenal sebagai pulau Sulawesi. Pada abad ke-15, di pulau ini terdapat sebuah kerajaan besar yang menguasai jalur perdagangan wilayah timur Indonesia, yaitu Kerajaan Gowa. Dari Kerajaan Gowa inilah lahir seorang pahlawan pemberani yang selalu dibanggakan oleh masyarakat Pulau Sulawesi, khususnya Sulawesi Selatan, dialah “Sultan Hasanuddin”.

Sultan Hasanuddin lahir di Makassar, 12 Januari 1631 dan diberi nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe. Ia adalah putra dari Sultan Malik Asy-Said, Raja Gowa ke- 15. Lahir dan besar di lingkungan Kerajaan Gowa tidak membuat Sultan Hasanuddin menjadi pribadi yang sombong. Dia memiliki sikap rendah diri, cerdas dan semangat juang yang tinggi sejak masih kanak-kanak. Sepeninggal ayahnya, Ia diangkat menjadi Raja Gowa ke-16 dan mendapat gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga Ri Balla Pangkana, hanya saja saat ini lebih dikenal dengan nama Sultan Hasanuddin.

Pada masa pemerintahan Sultan Hasanuddin, VOC (Belanda) tengah giat-giatnya berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah. Upaya ini ditentang oleh kerajaan-kerajaan di seluruh Nusantara, tak terkecuali kerajaan Gowa yang juga menguasai jalur perdagangan di wilayah Timur Indonesia. Belanda menyadari bahwa satu-satunya halangan terbesar untuk menguasai perdagangan di kawasan timur Indonesia adalah Kerajaan Gowa karena kekuatan armada perangnya yang seringkali membuat Belanda kewalahan.

Setelah berbagai perang antara Kerajaan Gowa dan VOC, Belanda mengalami kerugian besar dan memutuskan untuk berdamai dengan Kerajaan Gowa melalui sebuah perjanjian. Namun, perjanjian itu dilanggar oleh Belanda dengan mengirimkan surat bernada ancaman kepada Sultan Hasanuddin. Namun, Raja Gowa ini memang pantang menyerah dan akhirnya perang kembali terjadi. Dengan semangat lebih baik mati daripada menyerah kepada Belanda, pasukan Sultan Hasanuddin bertempur selama dua hari, lebih dari 2000 orang portugis diusir dari Makassar dan armadanya dihancurkan.

Pada tahun 1966, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Belanda berusaha menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Kerajaan Gowa. Pada saat itu juga Sultan Hasanuddin berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan Belanda. Sebelum melakukan penyerangan Belanda mengutus seseorang untuk membawa tuntutan agar Sultan Hasanuddin menyerah saja dan membayar kerugian Belanda dalam perang terdahulu. 

Sultan Hasanuddin menjawab surat itu dengan berkata "Bila kami diserang, maka kami akan mempertahankan diri dan menyerang kembali dengan segenap kemampuan yang ada. Kami berada dipihak yang benar. Kami ingin mempertahankan kebenaran dan kemerdekaan negeri kami". Pertempuran pun tak bisa dihindarkan. VOC sempat kewalahan dan meminta bantuan armada perang dari Batavia.

Selepas perang hebat itu, kondisi prajurit perang kedua pihak sangat lemah. Oleh karena itu, Speelman mengusulkan perdamaian melalui sebuah perjanjian yang dikenal “Perjanjian Bungaya”. Namun, perjanjian ini dinilai memberatkan Kerajaan Gowa dan tidak disetujui oleh beberapa petinggi Kerajaan Gowa dengan tekad "Hanya Mayat yang bisa menyerah".Akhirnya perang pecah kembali tanggal 21 April 1668. Peperangan berlangsung sengit dan memakan begitu banyak korban selama berbulan-bulan. Pada tanggal 15 Juni 1669 pasukan Speelman menyerang benteng Somba Opu. Patriot kerajaan Gowa tetap memberikan perlawanan yang gigih atas serangan Belanda dan hujan peluru. Tapi, Setelah perang selama selama 10 hari, maka pada tanggal 24 Juni 1669 seluruh benteng Somba Opu dikuasai Belanda. Sultan Hasanuddin pun kalah pada peperangan ini dan mundur ke benteng Kale Gowa.

Saat itu, Sultan Hasanuddin memang mengalami kekalahan dalam peperangan namun Belanda mengakui bahwa inilah pertempuran yang paling dahsyat dan terbesar serta memakan waktu yang paling lama dari yang pernah dialami dilakukan Belanda untuk menduduki Indonesia. Sehingga, Belanda memberikan julukan De Haantjes van Het Oosten yang artinya “Ayam Jantan Dari Timur” karena semangatnya pantang mundur.

Dari potongan sejarah diatas, kita tahu bahwa Belanda memiliki kapal dan perlengkapan perang yang baik untuk melawan Pasukan Kerajaan Gowa. Sedangkan laskar dan pelaut armada Kerajaan Gowa hanya bermodalkan semangat juang yang tinggi dan tidak takut mati karena budaya siri' na pacce telah berakar dihati sanubari para pejuang Kerajaan Gowa. Meskipun begitu, mereka tetaplah pasukan tangguh yang tak mudah dikalahkan belanda.

Berbagai cara untuk menghormati jasa dengan mengabadikan namanya seperti menjadikannya nama jalan dan sebuah perguruan tinggi terkemuka di Indonesia Timur yaitu Universitas Hasanuddin yang juga memakai nama dan lambangnya "Ayam Jantan Dari Timur". Melalui keputusan Presiden RI No. 087/TK/tahun 1973 Tanggal 6 November 1973, Sultan Hasanuddin dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, untuk menghargai jasa-jasa kepahlawanannya. Sebuah bukti nyata bahwa nilai sebuah perjuangan tidak akan mati.

Sultan Hasanuddin kini telah wafat, tapi jasanya tidak pernah mati. Bahkan sampai saat ini budaya siri’ na pace masih tetap dianut oleh masyarakat Sulawesi. Beliau adalah cerminan karakter masyarakat Pulau Sulawesi, khususnya Makassar. Kami Makassar, tidak kasar. Meski suara kami keras, bahasa kami agak kasar, tapi kami tegas dan berjiwa besar. EWAKO !

Ads