Kabaresi; Secuil Kisah Martha, Perempuan Kuat Asal Maluku -->
close
21 October 2014, 10/21/2014 02:13:00 AM WIB
Terbaru 2021-02-02T17:52:28Z
Artikelevent

Kabaresi; Secuil Kisah Martha, Perempuan Kuat Asal Maluku

Advertisement

Oleh : Martha Christina
(marthachristinasinurat@gmail.com)

“Apa yang sedang kau lakukan Wil?” Suara gadis yang bening tapi lantang membuyarkanku dari lamunan. Martha melongokkan kepalanya, rambut panjangnya bergoyang lembut dengan ikat merah yang selalu bertengger di singgasana.

“Masakan kau tak lihat? Bukannya selalu ini yang kulakukan sambil menunggu gerakan selanjutnya?” Gerakan menyerang atau gerakan diserang, tambahku dalam hati. Kubersihkan noda darah terakhir pada tombak yang kupegang. Ujungnya sedikit tumpul, perlu diasah.

“Mukamu kenapa muram seperti itu? Seperti kita tidak berhasil memukul mundur orang-orang penjajah saja.” Martha duduk di sebelahku, mengambil satu tombak dari tumpukan tombak yang sudah disempurnakan. Ia bersiul dan mengangguk setuju akan hasil asahanku, “Tombakmu selalu unggul Wil!”

Ya, hari itu pertarungan yang kesekian kalinya antara pasukan rakyat Maluku dengan koloni Belanda. Kali ini pasukan Belanda harus gigit jari, pimpinan mereka tertembak mati. Masih jelas ingatanku akan sore tadi, teriakan kemenangan memecah, bagaikan amukan api yang bergelora. Orang-orang kami tak ada saingannya dalam hal-hal begini. Kulihat Martha berjalan mengelilingi gerombolan orang yang berkumpul, langkah-langkahnya lambat tapi mantap, mengangkat tombaknya sambil berteriak. Suaranya memang tak terdengar sampai ke sini tapi aku selalu tahu apa yang sedang dia katakan, sudah terbiasa. Lagipula kobaran api di matanya sudah cukup berbicara.

Martha memang bukan gadis yang biasa. Ia selalu ikut ayahnya Kapitan Paulus dalam perang, tak peduli ayahnya melarang. Ia ikut dalam perang, dan bukan hanya itu saja, ia juga mengajak kaum wanita yang lain untuk turut turun tangan dalam perlawanan ini. Aku? Aku hanya orang biasa saja. Hanya membantu membawa peralatan saat perang, menyampaikan kata dari si anu kepada si anu. Tak kuat untuk benar-benar ancang sejata.

Mungkin aku kurang nyali. Atau mungkin karena tidak benar-benar mengimani saja. Sungguh, walaupun aku mengerti mengapa pasukan rakyat terus berjuang melawan penjajah, tapi tak urung di kepalaku bertanya, sampai kapan? Sampai titik darah penghabisan? Lalu jika sudah habis, apa? Bukankah hanya jadi sia-sia saja? Memang kali ini kita di atas angin, tapi kemarin saja penjajah sudah mengambil alih kembali Benteng Beverwijk, benteng yang gara-gara merebutnya Oom Agil jadi pincang. Rasanya ini bukan lagi perkara kalah menang, tapi perkara sebanyak apa kau bisa melukai lawan. Sekarangpun sudah jumlah orang yang bisa bertarung sudah sangat sedikit dibanding ketika awal berperang, persediaan sudah sangat menipis jika tak mau dibilang hampir habis.

“Mengapa kau di sini? Tumben tak ikut rapat seperti biasanya?”
“Tak apalah. Bagaimanapun aku toh pasti ikut dalam serangan besok. Orang-orang tua juga lebih tahu soal perencanaan begini”, jawabnya sambal menyenderkan badan ke tembok. “Tadi aku pergi melihat orang kita yang terluka.”
Martha si wanita kabaresi. Selalu tidak ada keragu-raguan dalam setiap langkah yang dia ambil. Tidak ada yang samar-samar, abu-abu, yang ada hanya merah. Dia selalu tahu apa yang dia mau, dan bagaimanapun caranya dia akan memastikan itu terjadi.

“Seandainya aku tidak dilahirkan di tanah kita ini tapi di tanah penjajah kita sekarang, bagaimana menurutmu? Tidakkah aku akan melakukan hal yang sama seperti mereka lakukan sekarang?” tanyaku sambil sedikit menerawang.

Hening sebentar. “Entahlah. Tapi aku yakin kau tidak akan menghabisi waktumu untuk merebut harta yang bukan milikmu.“ Kualihkan pandanganku kepadanya. “Dan kau tidak akan sependek ini” tambahnya sambil menyeringai puas.

Tidak seperti malam-malam sebelumnya, malam itu kami habiskan dengan kisah-kisah lama. Martha yang banyak bercerita, aku kebanyakan mendengarkan. Kisah-kisah itu seperti memberi harapan pada kami bahwa akan ada kesempatan untuk membuat kisah-kisah lain. Kisah-kisah lain yang bisa digunakan untuk menghabiskan waktu mengenang sambil tersenyum. Esoknya baru kusadari, malam itu adalah malam terakhir kami bisa seperti itu.

Desa Ouw luluh lantak. Kebanyakan pejuang tertangkap dan satu-persatu diinterogasi oleh opsir Belanda bernama Buyskes, termasuk Martha dan aku. Kami dibebaskan karena dianggap masih sangat muda. Saat-saat itu aku bagaikan nanar, tak benar-benar tahu apa yang dibicarakan. Kulihat Martha berlutut, memohon agar ayahnya dibebaskan dari hukuman. Tubuhnya penuh luka-luka kecil dan kotor. Di saat seperti itu pun Martha tidak menjadi hitam atau abu-abu, ia tetap merah. Walaupun kali ini api di matanya tak secemerlang biasanya.

Dan Oom, Oom Paul tetap dijatuhi hukuman mati.

Setelah kejadian tersebut Martha tetap tak jera berjuang, atau lebih tepatnya bahkan lebih membabi-buta. Aku tahu bukan karena ikut dalam perlawanan, hanya melihat dari jauh sambil mendengar cerita-cerita sore ngongare yang beredar. Ia terus bergerilya dan melakukan perlawanan tanpa memedulikan tubuhnya yang semakin lemah. Sampai suatu saat akhirnya aku jengah juga melihatnya.

“Mengapa kau seperti ini Martha? Apa kau pikir Oom senang melihat kau seperti ini? Perjuangan Oom akan sia-sia jika kau tak menghargai hidupmu seperti ini!” kataku frustasi. Martha yang tadinya duduk terpekur menatapku lamat-lamat. Lalu ia kembali menatap hutan di depan kami.

“Apa arti hidup bagimu Wil? Bagiku hidup itu bukan menyambung nafas, tapi soal mengambil bagian. Tak ada gunanya aku hidup jika aku tidak bisa melakukan itu. Aku punya bagianku, kau punya bagianmu.”

Itulah percakapan kami yang terakhir kalinya.

Martha akhirnya tertangkap juga. Pasukan Belanda menghukumnya ke pengasingan, menjadi budak di perkebunan kopi. Ia dibawa ke Pulau Jawa naik Kapal Perang Eversten. Beberapa minggu kemudian kudengar kabar, ia masih saja melawan walaupun sudah tertangkap dalam kapal. TIdak makan, tidak bicara, bahkan tidak mau menerima obat yang bisa mengurangi sakitnya. Ia telah pergi meninggalkan hayat. Melawan sampai titik darah penghabisan.

Bagiku Martha bukan hanya seorang perempuan yang berani melawan kodratnya di tengah dominannya laki-laki. Bagiku Martha adalah seorang muda yang berani melawan keterbatasannya, berani berusaha menjawab masalah yang dilihatnya, dan berani turut mengambil bagiannya. Sungguh, mungkin tidak akan ada kesempatanku untuk melakukan perjuangan seperti yang dilakukan Martha, mungkin tidak akan pernah aku merasakan keyakinan yang pantang goyah seperti Martha. Tapi sungguh, kupastikan bara api itu tidak berhenti sampai di sini. Kupastikan banyak orang akan tahu akan perjuangan dan keberanian Martha temanku. Bukan hanya berani soal menumpahkan darah, tetapi juga berani keluar dari rasa enggan melakukan perubahan.

Aku memang bukan orang berpendidikan, tulisanku tidak akan berupa kata-kata indah dan pintar. Namaku mungkin tidak akan pernah disebut-sebut nantinya. Tidak apa. Yang pasti, aku melakukan bagianku.

________

Terinspirasi dari perjuangan Martha Christina Tiahahu

Ads