Advertisement
Oleh : Martha Christina
(marthachristinasinurat@gmail.com)
“Apa yang sedang kau
lakukan Wil?” Suara gadis yang bening tapi lantang membuyarkanku dari lamunan.
Martha melongokkan kepalanya, rambut panjangnya bergoyang lembut dengan ikat
merah yang selalu bertengger di singgasana.
“Masakan kau tak
lihat? Bukannya selalu ini yang kulakukan sambil menunggu gerakan selanjutnya?”
Gerakan menyerang atau gerakan diserang, tambahku dalam hati. Kubersihkan noda
darah terakhir pada tombak yang kupegang. Ujungnya sedikit tumpul, perlu
diasah.
“Mukamu kenapa muram
seperti itu? Seperti kita tidak berhasil memukul mundur orang-orang penjajah
saja.” Martha duduk di sebelahku, mengambil satu tombak dari tumpukan tombak
yang sudah disempurnakan. Ia bersiul dan mengangguk setuju akan hasil asahanku,
“Tombakmu selalu unggul Wil!”
Ya, hari itu
pertarungan yang kesekian kalinya antara pasukan rakyat Maluku dengan koloni
Belanda. Kali ini pasukan Belanda harus gigit jari, pimpinan mereka tertembak
mati. Masih jelas ingatanku akan sore tadi, teriakan kemenangan memecah,
bagaikan amukan api yang bergelora. Orang-orang kami tak ada saingannya dalam
hal-hal begini. Kulihat Martha berjalan mengelilingi gerombolan orang yang
berkumpul, langkah-langkahnya lambat tapi mantap, mengangkat tombaknya sambil
berteriak. Suaranya memang tak terdengar sampai ke sini tapi aku selalu tahu
apa yang sedang dia katakan, sudah terbiasa. Lagipula kobaran api di matanya
sudah cukup berbicara.
Martha memang bukan
gadis yang biasa. Ia selalu ikut ayahnya Kapitan Paulus dalam perang, tak
peduli ayahnya melarang. Ia ikut dalam perang, dan bukan hanya itu saja, ia
juga mengajak kaum wanita yang lain untuk turut turun tangan dalam perlawanan
ini. Aku? Aku hanya orang biasa saja. Hanya membantu membawa peralatan saat
perang, menyampaikan kata dari si anu kepada si anu. Tak kuat untuk benar-benar
ancang sejata.
Mungkin aku kurang
nyali. Atau mungkin karena tidak benar-benar mengimani saja. Sungguh, walaupun
aku mengerti mengapa pasukan rakyat terus berjuang melawan penjajah, tapi tak
urung di kepalaku bertanya, sampai kapan? Sampai titik darah penghabisan? Lalu
jika sudah habis, apa? Bukankah hanya jadi sia-sia saja? Memang kali ini kita
di atas angin, tapi kemarin saja penjajah sudah mengambil alih kembali Benteng
Beverwijk, benteng yang gara-gara merebutnya Oom Agil jadi pincang. Rasanya ini
bukan lagi perkara kalah menang, tapi perkara sebanyak apa kau bisa melukai
lawan. Sekarangpun sudah jumlah orang yang bisa bertarung sudah sangat sedikit
dibanding ketika awal berperang, persediaan sudah sangat menipis jika tak mau
dibilang hampir habis.
“Mengapa kau di sini?
Tumben tak ikut rapat seperti biasanya?”
“Tak apalah.
Bagaimanapun aku toh pasti ikut dalam serangan besok. Orang-orang tua juga
lebih tahu soal perencanaan begini”, jawabnya sambal menyenderkan badan ke
tembok. “Tadi aku pergi melihat orang kita yang terluka.”
Martha si wanita
kabaresi. Selalu tidak ada keragu-raguan dalam setiap langkah yang dia ambil.
Tidak ada yang samar-samar, abu-abu, yang ada hanya merah. Dia selalu tahu apa
yang dia mau, dan bagaimanapun caranya dia akan memastikan itu terjadi.
“Seandainya aku tidak
dilahirkan di tanah kita ini tapi di tanah penjajah kita sekarang, bagaimana
menurutmu? Tidakkah aku akan melakukan hal yang sama seperti mereka lakukan
sekarang?” tanyaku sambil sedikit menerawang.
Hening sebentar.
“Entahlah. Tapi aku yakin kau tidak akan menghabisi waktumu untuk merebut harta
yang bukan milikmu.“ Kualihkan pandanganku kepadanya. “Dan kau tidak akan
sependek ini” tambahnya sambil menyeringai puas.
Tidak seperti
malam-malam sebelumnya, malam itu kami habiskan dengan kisah-kisah lama. Martha
yang banyak bercerita, aku kebanyakan mendengarkan. Kisah-kisah itu seperti
memberi harapan pada kami bahwa akan ada kesempatan untuk membuat kisah-kisah
lain. Kisah-kisah lain yang bisa digunakan untuk menghabiskan waktu mengenang
sambil tersenyum. Esoknya baru kusadari, malam itu adalah malam terakhir kami
bisa seperti itu.
Desa Ouw luluh
lantak. Kebanyakan pejuang tertangkap dan satu-persatu diinterogasi oleh opsir
Belanda bernama Buyskes, termasuk Martha dan aku. Kami dibebaskan karena
dianggap masih sangat muda. Saat-saat itu aku bagaikan nanar, tak benar-benar
tahu apa yang dibicarakan. Kulihat Martha berlutut, memohon agar ayahnya
dibebaskan dari hukuman. Tubuhnya penuh luka-luka kecil dan kotor. Di saat
seperti itu pun Martha tidak menjadi hitam atau abu-abu, ia tetap merah.
Walaupun kali ini api di matanya tak secemerlang biasanya.
Dan Oom, Oom Paul
tetap dijatuhi hukuman mati.
Setelah kejadian
tersebut Martha tetap tak jera berjuang, atau lebih tepatnya bahkan lebih
membabi-buta. Aku tahu bukan karena ikut dalam perlawanan, hanya melihat dari
jauh sambil mendengar cerita-cerita sore ngongare yang beredar. Ia terus
bergerilya dan melakukan perlawanan tanpa memedulikan tubuhnya yang semakin
lemah. Sampai suatu saat akhirnya aku jengah juga melihatnya.
“Mengapa kau seperti
ini Martha? Apa kau pikir Oom senang melihat kau seperti ini? Perjuangan Oom
akan sia-sia jika kau tak menghargai hidupmu seperti ini!” kataku frustasi.
Martha yang tadinya duduk terpekur menatapku lamat-lamat. Lalu ia kembali
menatap hutan di depan kami.
“Apa arti hidup
bagimu Wil? Bagiku hidup itu bukan menyambung nafas, tapi soal mengambil
bagian. Tak ada gunanya aku hidup jika aku tidak bisa melakukan itu. Aku punya
bagianku, kau punya bagianmu.”
Itulah percakapan
kami yang terakhir kalinya.
Martha akhirnya
tertangkap juga. Pasukan Belanda menghukumnya ke pengasingan, menjadi budak di
perkebunan kopi. Ia dibawa ke Pulau Jawa naik Kapal Perang Eversten. Beberapa
minggu kemudian kudengar kabar, ia masih saja melawan walaupun sudah tertangkap
dalam kapal. TIdak makan, tidak bicara, bahkan tidak mau menerima obat yang
bisa mengurangi sakitnya. Ia telah pergi meninggalkan hayat. Melawan sampai
titik darah penghabisan.
Bagiku Martha bukan
hanya seorang perempuan yang berani melawan kodratnya di tengah dominannya
laki-laki. Bagiku Martha adalah seorang muda yang berani melawan
keterbatasannya, berani berusaha menjawab masalah yang dilihatnya, dan berani
turut mengambil bagiannya. Sungguh, mungkin tidak akan ada kesempatanku untuk
melakukan perjuangan seperti yang dilakukan Martha, mungkin tidak akan pernah
aku merasakan keyakinan yang pantang goyah seperti Martha. Tapi sungguh,
kupastikan bara api itu tidak berhenti sampai di sini. Kupastikan banyak orang
akan tahu akan perjuangan dan keberanian Martha temanku. Bukan hanya berani
soal menumpahkan darah, tetapi juga berani keluar dari rasa enggan melakukan
perubahan.
Aku memang bukan
orang berpendidikan, tulisanku tidak akan berupa kata-kata indah dan pintar.
Namaku mungkin tidak akan pernah disebut-sebut nantinya. Tidak apa. Yang pasti,
aku melakukan bagianku.
________
Terinspirasi dari
perjuangan Martha Christina Tiahahu