Advertisement
Oleh : Catur Widianto
<catur95@rocketmail.com>
Eko Siswanto. Begitulah bapak dan ibu memberikan nama pada anak pertamanya, yang juga sebagai kakak saya yang pertama (selanjutnya saya panggil Mas Sis). Mas Sis bukanlah jutawan, bukan penguasaha besar, bukan anggota DPR, apalagi presiden. Beliau hanya manusia biasa, seperti manusia pada umumnya namun memiliki mimpi yang tinggi.
Meskipun Mas Sis sekarang bukanlah orang terpandang di mata negara, tapi beliau adalah sosok terpandang di mata saya. Ini karena semangat kerja kerasnya yang tertanam sejak kecil. Apalagi setelah beliau menikah pada September 2012 lalu. Hampir tiada waktu baginya untuk mengatakan ‘berhenti bekerja’.
Terlahir dari keluarga yang belum berkecukupan saat itu, bulan Desember tahun 1982. Membuatnya begitu menghargai arti kesempatan. Menjadi anak pertama dari empat bersaudara mengharuskan Mas Sis turut membantu kebutuhan keluarga, minimal membantu bapak mengusung tas dan koper dagangan setiap subuh menuju jalan raya, yang kemudian tas dan koper tersebut dijual oleh bapak.
Saat duduk di bangku SLTP, hampir setiap hari Mas Sis membantu lek Sutris – begitu saya menyebut adik pertama bapak - membuat tas, upah yang didapatkan tidak digunakan sendiri, melainkan digunakan untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga dan untuk biaya sekolah adik-adiknya. Aktivitas seperti ini terus dilakukan hingga Mas Sis mengarungi pendidikan pada jenjang STM (Sekolah Tingkat Menengah), ini karena jadwal kegiatan saat STM cukup padat, berbeda ketika SLTP.
Yang sangat menjadi inspiratif bagi saya dari Mas Sis adalah perjuangannya yang benar-benar ingin pergi ke negeri Sakura, Jepang. Keinginan ini muncul saat Mas Sis kelas XIII (4 STM – Sekolahnya 3,5 tahun). Sekolah yang dibiayai oleh pak lek Yitno - adik ke 3 dari ibu – ini tidak di sia-siakan oleh Mas Sis. Mas
Sis terus menggali informasi dari sekolah ini, hingga mendapatkan informasi dari sekolah bahwa besar peluang lulusan sekolah tersebut untuk berangkat ke Jepang. Dari sinilah terbesit niat Mas Sis untuk pergi ke negeri Sakura tersebut.
Setelah lulus dari Sekolah Tingkat Menengah, Mas Sis tidak langsung bergelut dengan urusan administrasi paspor atau administrasi lainnya. Bukan karena Mas Sis membatalkan keinginannya ke Jepang, tapi saat Mas Sis ingin mengikuti tes ke Jepang, ternyata sekolah belum mempersiapkan betul-betul. Tapi ini tidak melunturkan niat Mas Sis. Wisuda pada tahun 2001, Mas Sis langsung berusaha mencari pekerjaan yang sekiranya dapat membantu kebutuhan keluarga dan kebutuhan bersekolah adik-adiknya. Dari membuat tas lagi di konveksi milik pribadi Lek Sutris, mencoba melamar sebagai PNS pada tahun 2006 namun gagal, bekerja di pabrik meubel, pabrik timah, hingga terakhir sebelum mimpi Mas Sis benar-benar terwujud, adalah bekerja di PT. PAL Surabaya. “Apapun pekerjaannya, yang penting halal dan cukup”.
Begitulah prinsip Mas Sis. Saat Mas Sis wisuda, bapak hanyalah seorang sales pakaian, hasil yang didapatkan tidak banyak, jangankan untuk memenuhi kebutuhkan sekolah saya dan kakak saya yang lain, untuk makan sehari pun belum tentu tersisihkan hehe. Sebagai anak pertama, Mas Sis sadar bahwa ini adalah salah satu tanggung jawabnya. Tapi keadaan ekonomi doeloe bukanlah penghalang yang amat besar, SEMANGAT Mas Sis tetap ada
Ketika bekerja di PT. PAL, Mas Sis mendapatkan gambaran untuk mewujudkan mimpi yang sudah di-idamkan sejak masih sekolah di STM itu. Mas Sis mendapatkan informasi dari teman kerjanya bahwa akan ada lowongan pemberangkatan TKI ke Jepang oleh sebuah lembaga swasta. Yang sangat membuat hati Mas Sis gembira lagi adalah “tidak ada biaya yang dikeluarkan sedikitpun untuk berangkat ke Jepang”.
Kesempatan indah ini tentunya tidak di sia-siakan oleh Mas Sis. Lembaga yang memberangkat Mas Sis ke Jepang tentunya telah melakukan proses seleksi yang cukup ketat. Tapi Mas Sis kali ini beruntung, ia bisa melewati proses seleksi tersebut. Setelah dinyatakan lolos, selama 3 bulan Mas Sis diharuskan terus belajar bahasa Jepang. Untuk bisa menguasai semua grammar (dalam Bahasa Inggris nyebutnya gitu) dan menghafal kata-kata dalam bahasa Jepang, Mas Sis tiada henti belajar. Dari bangun tidur sampai tidur kembali aktivitasnya di isi dengan belajar – kerja – belajar. Pada bulan November 2008, Mas Sis akhirnya berangkat ke Jepang bersama belasan teman se-kloter-nya tanpa
mengeluarkan biaya sedikitpun. Inilah saat pertama kali mimpi Mas Sis dapat terwujudkan. Sungguh bahagianya Mas Sis, bapak ibu, serta adik-adiknya saat pemberangkatan. Sebagai kakak, Mas Sis tentunya memiliki pengalaman dan pelajaran yang lebih luas, hikmah dibalik pengalaman dan perjalanannya dulu sering Mas Sis sampaikan kepada saya. Ketika jalan bersama ataupun sedang duduk santai. Dari ratusan pesan yang disampaikan kepada saya, saya paling ingat dengan pesan ini “nek keinginane akeh, usaha+do’a-e yo kudu di akehi”. Dalam bahasa Indonesia artinya “kalo punya keinginan yang banyak, usaha + do’anya juga harus diperkuat”. Pepatah yang disampaikan Mas Sis ini yang sering saya ingat, dengan mengingat ini saya bisa membangkitkan semangat saya untuk terus berusaha dalam menggapai apa yang saya inginkan. Salah satunya adalah usaha untuk mengikuti lomba dengan tema “pahlawan inspirasiku” ini. “jangan bersikap seperti orang miskin, tetapi bersikaplah selayaknya orang kaya”
“orang miskin yang sombong vs orang kaya yang tawadlu”
“ceritakan cerita yang orang lain termotivasi karena kita, bukan iba karena kita”
Itulah beberapa kutipan yang pernah kakak sampaikan kepada saya dan kutipan yang pernah di kirimkan dalam akun sosmed-nya.
Tulisan yang saya buat ini bukanlah semenah-menah ingin menujukkan kepada pembaca bagaimana sulitnya kehidupan kakak beserta bapak dan ibu saya dulu, melainkan untuk dijadikan motivasi bagi kita bahwa “untuk bisa mendapatkan apa yang kita inginkan, kita harus punya niat yang teguh dan usaha yang keras”.