Advertisement
Oleh : Rangga Saputra
(matariterbenam@gmail.com)
Suhartini (80) kini hanya tertatih. Serangan stroke yang menggerogoti separuh tubuhnya membuatnya hanya bisa menopang tubuhnya pada sebuah alat bantu jalan, yang mirip kaki kursi. Ia berbicara padaku, cucunya, menceritakan bagaimana kehidupan sulit ketika zaman mempetahankan kemerdekaan, sekitar tahun 1945-1950.
Suaminya, saat itu berpangkat Kapten, menjadi orang yang paling dicari, lantaran hanya batalyon yang dipimpinnya tidak mau menyerah pada Belanda, sekitar tahun 1949. Ia berpindah kesana kemari, hingga terpisah dari suaminya, kakekku, hingga bertahun lamanya. Delapan orang anak, lima diantaranya adalah perempuan, ikut serta kemanapun ia melangkah.
“Satu hal yang lupa dicatat sejarah, bagaimana perjuangan istri para veteran ketika perang berkecamuk,”katanya.
Rasanya, baru kemarin semua itu terjadi, semua terngiang kembali bak ephemeral dan berputar-putar dikepalanya. Bagaimana jeritan tangis anak-anaknya (salah satunya adalah ayahku) yang takut dengan deru mesin kendaraan perang. Lebih dari itu, letusan senjata dan meriam juga jauh lebih menggidikkan.
Semua berhasil dilewati dengan baik, ketika langit tak lagi merah karena darah, cuaca tak lagi panas karena ledakan. Indonesia bebas menghirup nafas kemerdekaan, begitu pula tanah kelahiranku, nun jauh dipedalaman Sumatera.
Saat itu terjadi, dua monument kebanggaan para pejuang justru menerima sebuah musibah. Satu monument dihancurkan dan digantikan dengan monument kesehatan. Sedangkan satu monument lagi sudah dipenuhi ilalang. Eyang putriku hanya bisa tersenyum.
“Biarlah waktu yang akan mengenang sejarah, ketika langit memerah, dan ledakan dimana-mana. Mendiang kakekmu juga pasti akan tersenyum, karena perjuangannya tak sia-sia, kita telah merdeka, lebih dari 60 tahun yang lalu,”katanya menutup cerita denganku.