Advertisement
Oleh : Anis Unifah
(anisunifah@gmail.com)
Sejujurnya saya mendengar seorang teman bercerita bahwa dia sangat mengagumi Haji Agus Salim. Saya tanya apa alasannya, maka dia pun bercerita tentang kejeniusan Haji Agus Salim menguasai 9 bahasa dan pernah meniupkan asap cerutu di depan Pangeran Philip (Suami Ratu Elizabeth) di Belanda. Saya juga pernah mendengar cerita itu sebelumnya dari tutur Dosen saya, namun saya menjadi lebih tertarik sekarang dan membaca tentang kehidupan Haji Agus Salim lebih dalam.
Kata-kata di Harian Neraca yang ditulisnya pada tanggal 25 September 1917 yang menyatakan "dalam negeri kita, janganlah kita yang menumpang" membuat kita patut untuk diam sejenak berpikir. Tidak hanya dalam masa perjuangan untuk memperebutkan kemerdekaan Indonesia dahulu kala, tetapi sekarang kita pun harus merenungkan kata-kata tersebut. Kita memang tidak dalam masa penjajahan Belanda ataupun Jepang, tapi kebudayaan kita yang sedang dijajah. Pemuda/i Indonesia telah kehilangan budayanya sendiri tertindas oleh budaya asing, daripada positifnya malah lebih banyak negatifnya yang masuk, seperti budaya berpakaian yang seronok, seks bebas, narkoba, dan lain-lain. Sedangkan budaya kita sendiri tidak pernah dipelajarinya, seperti budaya wayang kulit, tari tradisional, musik tradisional dan budaya Indonesia lain yang hampir tenggelam karena tidak ada penerusnya. Sungguh “miris”.
Menelisik ke tengah-tengah kehidupan Haji Agus Salim sesungguhnya kita belajar tentang sejarah Indonesia dan perjuangan tokoh-tokohnya. Seperti gelar "Orang Tua Besar" (The Grand Old Man) yang mulai disandang oleh Haji agus Salim sekitar tahun 1946-1950 karena ia laksana bintang cemerlang dalam pergolakan politik. Gelar itu akan tetap melekat pada diri seseorang karena jasanya. Kalau kita sungguh-sungguh dalam mempelajari sesuatu kemudian mendalaminya, maka pasti akan ada penghargaan meskipun tidak bersifat materi. Dan yang lebih penting lagi, materi itu bisa hilang dan musnah sedangkan immateri itu abadi.
Ditambah lagi tulisannya tentang “polisi dan rakyat” yang dimuat di harian Fadjar Asia tanggal 29 November 1927 yang isinya: "sikap polisi terhadap rakyat, istimewa keganasan dan kebuasan polisi dalam memeriksa orang yang kena dakwa atau yang hanya kena sangka-sangka rupanya belum berubah-ubah. Hampir tiap hari ada pesakitan di depan landraad yang mencabut "pengakuan" di depan polisi yang lahir bukan karena betul kejadian melainkan hanya karena kekerasan siksa." Ternyata memang dari dulu ya, jadi tidak kaget kalau begitu.
Pernah suatu hari di tahun 2013, saya mengantar seorang teman untuk mengurus kecelakaan yang dia alami sehingga mengakibatkan motornya rusak. Untuk mengurus jasa asuransi, dia harus minta surat pernyataan dari kepolisian yang menyatakan bahwa dia benar-benar kecelakaan. Kata si polisi, demi untuk uang rokok saja harus bayar 1 juta kepada si polisi karena telah mengurus surat pernyataan kecelakaannya ke pihak asuransi. Padahal uang asuransi yang dia dapat hanya 6 juta, sedangkan untuk biaya rumah sakit yang masih hutang itu pas 6 juta. Terus uang 1 juta dapat darimana? Bukannya tugas polisi itu membantu rakyat? Surat pernyataan kalau ngeprint di rental print saja mungkin cuma habis 500 perak. Sungguh lucu negeri ini.
Ada tulisan mengenai Haji Agus Salim yang menarik lagi, “Meskipun seorang poliglot yang mahir banyak bahasa, namun Agus Salim justru yang pertama kali berpidato dalam bahasa Melayu/Indonesia di sidang Dewan Rakyat (Volksraad), sehingga menggegerkan Belanda. Lawan berundingnya dari pihak Belanda mengakui, "Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit sembilan bahasa, dan mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya melarat," demikian Prof Schermerhorn, dalam catatan hariannya, 14 Oktober 1946.”
“Melarat” adalah kata yang bermakna rendah, tetapi Haji Agus Salim tidak pernah minder. Menurut beliau, Islam menghendaki terbinanya masyarakat adil dan makmur yang berpangkal pada persamaan, tetapi juga kesempatan untuk maju bagi mereka yang berusaha. Suatu masyarakat yang juga tolong menolong dan menjauhkan diri dari eksploitasi sesama manusia. Dari kata-kata yang diucapkan oleh beliau, maka dapat dimaknai bahwa biarpun melarat asalkan tidak mengeksploitasi sesama manusia itu mulia. Menurut saya, kaya tetapi korupsi! Itu sebenarnya yang “melarat”.
Seperti yang saya singgung di paragraf pertama tentang Haji Agus Salim yang meniupkan asap cerutunya di depan Pangeran Philip. “Haji Agus Salim memang tidak pernah minder berhadapan dengan tokoh asing. Ketika mewakili Presiden Soekarno menghadiri upacara penobatan Ratu Inggris Elisabeth tahun 1953, ia agak kesal dengan suami Ratu (Pangeran Philip) yang kurang perhatian terhadap tamu asing yang datang dari negeri-negeri jauh. Agus Salim lalu menghampiri dan mengayun-ayunkan rokok kreteknya di sekitar hidung Pangeran. "Apakah Paduka mengenali aroma rokok ini?" Dengan ragu-ragu menghirup rokok itu, Pangeran mengakui tidak mengenal aroma tersebut. Agus Salim pun dengan tersenyum, lalu berujar, "Itulah sebabnya 300 atau 400 tahun yang lalu bangsa Paduka mengarungi lautan mendatangi negeri saya." Maka suasana pun menjadi cair, Sang Pangeran mulai ramah meladeni tamunya.”
Dari cerita di atas, kita diajarkan untuk tidak minder kepada siapa saja meskipun kepada orang yang pangkatnya lebih tinggi. Manusia itu kan sama, kita bebas untuk bersuara. Di hadapan Tuhan, manusia itu sama derajatnya, tidak ada yang berbeda. Semua menangis ketika lahir dan akan mati suatu saat nanti. Yang membedakan manusia dengan manusia yang lainnya hanya iman dan ilmunya.
Jika kita menilik pemuda Indonesia saat ini, mungkin kita boleh mengatakan “miris”. Betapa tidak, sekolah hanya dianggap rutinitas yang harus dilakukan setiap hari, bukan sebagai tempat untuk belajar sungguh-sungguh. Bahkan lebih memprihatinkan lagi, ada yang mengumandangkan “mumpung masih sekolah” jadi mereka menjadikan sekolah sebagai alasan tawuran dan kenakalan remaja yang lain. Mungkin hanya beberapa pemuda/i yang bisa dihitung dengan jari yang benar-benar sungguh-sungguh belajar demi kemajuan bangsa Indonesia. Kenapa tidak menjadikan alasan “Mumpung masih muda” sebagai wadah untuk kreatif dan inovatif? Mumpung masih muda, ayo kita berkreativitas!