Advertisement
Oleh : Dewi Setiowati
(dewisetiowati97@yahoo.com)
“Jangan kalian
mau disebut wong. Sebab wong itu dapat diartikan klowong, diberi peringatan (pelajaran)
masuk telinga satu, keluar dari telinga lainnya. Tidak ada yang tersangkut di
kepala. Jangan mau pula disebut tiang.
Sebab tiang itu pal yang selalu diam tidak bergeming (diam tidak ada perhatian,
tidak terpengaruh) ketika diberi peringatan. Hendaklah kalian menjadi manusa. Manusa berasal dari kata manu
dan sa. Manu artinya manusia, sa artinya esa. Maksudnya kalian haruslah selalu menjadi hamba Allah Yang
Esa.”
Setelah
membacanya, Bunga sejenak menatap foto sosok yang menyampaikan nasehat itu, sedang
duduk di atas kuda kesayangannya, Dawuk. Tak berapa lama, Bunga menutup wajahnya
dengan buku biografi Panglima Besar Jenderal Sudirman. Ugh, hamba Allah Yang
Esa, mungkin itulah solusi yang Bunga cari. Bisa jadi, akhir-akhir ini Bunga
telah menjadi hamba dari selain Sang Rabbi,
sehingga ketenangan hati tak utuh terasakan lagi. Semangat menurun tanpa
basa-basi.
“Berharap
itu hanya kepada Allah saja,” nasehat Aa’ Gym. “Boleh kita minta tolong kepada
makhluk, tetapi hati hanya berharap pada pertolongan-Nya. Allahlah nanti yang
akan menggerakkan hati-hati makhluk-Nya untuk menolong kita,” lanjut Aa’dalam
kajiannya setiap pagi di radio MQ.
“Seseorang
yang telah yakin kepada Allah, maka semangatnya akan terjaga, ia seorang yang
optimis, penuh harap dan tidak gampang menyerah,” Ustadz Syatori Al Hafidz
berbagi ilmu yang beliau miliki. Oh my
God, terjaganya semangat, menjadi pribadi optimis, penuh harap dan tidak
mudah menyerah adalah impian Bunga sekarang ini. Melintas di dalam benak Bunga
kiriman naskahnya untuk dua media berbeda yang sekarang kemungkinan besar tidak
akan memuat karyanya. Juga lomba novel yang terlewati karena kesalahan Bunga
sendiri. Sementara naskahnya ke media lain dan satu penerbit belum jelas
kabarnya. Mungkinkah karena Bunga telah meletakkan hati pada naskah-naskah yang
dikirimkannya, juga kepada redaksi atau penerbit sehingga hatinya rapuh saat
harap itu tidak terlaksana sebagaimana rencana? Rabbi, bagaimana agar semangat diri bisa tetap terjaga setiap hari?
Bunga tertidur bersama pertanyaan-pertanyaannya.
“Kamu
butuh jalan-jalan untuk menyegarkan jiwamu, Nak,” sebuah suara memaksa Bunga
membuka mata. Dalam sekejapan mata pula, Bunga telah berdiri di sebuah tanah
lapang. Seseorang memberikan tali kekang seekor kuda putih kepadanya. Tidak berapa
lama, Bunga mendapati dirinya telah menyusuri jalan mengendarai kuda, di tengah
malam gulita. Satu sosok berkuda
memandunya di depan, sementara sosok berkuda lainnya, mengawal di
belakang. Bunga menikmati menunggang kuda, satu hal yang menjadi impiannya
sejak lama. Tak berapa lama, sosok berkuda di depan Bunga menghentikan langkah
kudanya, diikuti yang lainnya. “Pejamkan matamu, Nak,” sosok itu bersuara dan
secara reflek, Bunga mematuhi perintahnya.
Hawa
dingin menyergap seketika. Bunga memeluk kedua tangannya erat. Suasana malam di
pegunungan Dieng, sekitar tahun 1935. Bunga melihat tenda-tenda mengelilingi
bekas api unggun. Beberapa pandu anggota Hizboel Wathan (HW) tampak berjaga
sementara beberapa peserta ada yang mengungsi, menumpang tidur di rumah
penduduk. Udara dingin dan rintik hujan yang turun penyebab semuanya.
Di
sebuah tenda pimpinan perkemahan. “Allahu
laa ilaha illa huwal hayyul qayyum … .” Lamat terdengar lantunan ayat
kursi. Bunga menoleh ke sosok pemandunya. Senyum tawadhu mengiyakan pertanyaan yang
melintas di hati Bunga.
“Mas
Dirman tidak tidur bersama kami saja Mas atau numpang ke rumah penduduk? Lebih
hangat Mas,” ajak seorang pandu. Sebelumnya, temannya yang lain memberikan
ajakan yang sama. Sudirman muda menolak ajakan mereka dan memilih tetap tinggal
di tenda, yang menjadi basah karena hujan. Pun begitu, shalat tahajud tidak
luput dilakukannya malam itu. Ketika pagi datang, ialah yang membunyikan peluit
untuk membangunkan anak buahnya shalat shubuh berjamaah[1].
“Kedisiplinan,
tanggung jawab dan ketahanan mental kita dilatih dan diuji lewat peristiwa
seperti ini, Nak. Bisa jadi, apa yang kau alami sekarang adalah hal yang sama.
Sekarang, kembali pejamkan matamu,” sosok pemandu itu kembali memerintah Bunga.
Aura karismatik dari sang pemandu membuat Bunga menghentikan tanya yang mengemuka
dan kemudian memejamkan mata.
Sekarang,
suara langkah kaki kuda membersamai Bunga. Mereka bertiga kembali berkuda beriringan.
Kali ini di suatu daerah, tempat Sudirman muda sering ke sana, Purbalingga.
Mereka semakin dekat dengan sosok Sudirman muda yang tampak membawa sejenis
daun lontar. “Mari, Pak, Bu, mari dibeli,” bujuk Sudirman muda. Yah, Sudirman
muda mengumpulkan sejenis daun lontar dari Cilacap dan menjualnya kepada
masyarakat Purbalingga yang menggunakannya sebagai atap rumah. Hasil penjualan
daun itu untuk menambah dana kegiatan Sudirman muda sebagai ketua Hizboel
Wathan Kwartir Daerah Banyumas[2].
“Kemandirian
ekonomi, penting bagi seorang pejuang, Nak,” sosok bersahaja itu memberi
catatan penting. Kali ini tanpa diminta, Bunga memejamkan mata. Kedua sosok
yang membersamainya tersenyum bersama.
Tahun
1936, rumah keluarga R. Sastroatmojo, Plasen, Cilacap tampak meriah. Akad nikah
berlangsung dengan khidmat dan lancar. Sudirman, ketua HW Kwarda Banyumas,
Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Banyumas dan calon guru HIS Muhammadiyah
bersanding dengan Alfiah, aktivis Nasiatul Aisiyah (NA). Sudirman, pemuda
sederhana keturunan rakyat biasa dengan ijazah MULO (= SMP) itu bersanding
dengan gadis yang disukainya. Dan gadis itu berasal dari orang tua aktivis Muhammadiyah,
keturunan saudagar Jawa yang berpunya. Saat itulah, pemahaman yang benar akan
agama, keimanan yang tinggi menggantikan tradisi yang biasa berlaku di
masyarakat Jawa, bobot, bibit dan bebet[3].
“Menikah
dengan orang yang satu visi dan misi, insya
Allah sangat membantu perjuangan kita. Hal itu merupakan bagian dari
perjuangan itu sendiri,” sang pemandu berkata haru. Yah, menjadi istri seorang
jenderal, Panglima Besar TNI, tentulah membutuhkan pengorbanan tersendiri.
Terbayang dalam benak Bunga, kesibukan Bunda Alfiah mengurus ketujuh putra-putrinya
sementara Pak Dirman bekerja keras menyatukan TNI, memimpin gerilya dari atas
tandunya.
Perlahan,
mereka bertiga meninggalkan keramaian yang ada. Beberapa lama mereka berkuda
sampai Bunga menyadari, sosok lain yang membersamainya adalah Moh. Samingan,
adik kandung Pak Dirman. Moh. Samingan meminta kembali tali kekang si putih.
“Ingat,
Nak, jaga selalu kedekatanmu dengan Penciptamu. Jaga selalu amal andalanmu, di
setiap waktu dan kejadian hidupmu. Hanya bersama-Nya, kau bisa,” senyum
terakhir sang jenderal mengakhiri kunjungan mereka. Dan saat kedua mata Bunga
terbuka, ia telah diingatkan akan sumber semangat yang tak pernah mati. Ialah
Sang Rabbi, Pencipta alam ini. Wallahu’alam.
Yogyakarta, Jumat, 10 Oktober
2014, 16.14 WauW.