Artikel Finalis #1 : Sumber Semangat yang Tak Pernah Mati -->
close
17 October 2014, 10/17/2014 01:02:00 AM WIB
Terbaru 2014-10-24T19:40:47Z
Artikelevent

Artikel Finalis #1 : Sumber Semangat yang Tak Pernah Mati

Advertisement

Oleh : Dewi Setiowati
(dewisetiowati97@yahoo.com)

“Jangan kalian mau disebut wong. Sebab wong itu dapat diartikan klowong, diberi peringatan (pelajaran) masuk telinga satu, keluar dari telinga lainnya. Tidak ada yang tersangkut di kepala. Jangan mau pula disebut tiang. Sebab tiang itu pal yang selalu diam tidak bergeming (diam tidak ada perhatian, tidak terpengaruh) ketika diberi peringatan. Hendaklah kalian menjadi manusa. Manusa berasal dari kata manu dan sa. Manu artinya manusia, sa artinya esa. Maksudnya kalian haruslah selalu menjadi hamba Allah Yang Esa.”
            Setelah membacanya, Bunga sejenak menatap foto sosok yang menyampaikan nasehat itu, sedang duduk di atas kuda kesayangannya, Dawuk. Tak berapa lama, Bunga menutup wajahnya dengan buku biografi Panglima Besar Jenderal Sudirman. Ugh, hamba Allah Yang Esa, mungkin itulah solusi yang Bunga cari. Bisa jadi, akhir-akhir ini Bunga telah menjadi hamba dari selain Sang Rabbi, sehingga ketenangan hati tak utuh terasakan lagi. Semangat menurun tanpa basa-basi.
            “Berharap itu hanya kepada Allah saja,” nasehat Aa’ Gym. “Boleh kita minta tolong kepada makhluk, tetapi hati hanya berharap pada pertolongan-Nya. Allahlah nanti yang akan menggerakkan hati-hati makhluk-Nya untuk menolong kita,” lanjut Aa’dalam kajiannya setiap pagi di radio MQ.
            “Seseorang yang telah yakin kepada Allah, maka semangatnya akan terjaga, ia seorang yang optimis, penuh harap dan tidak gampang menyerah,” Ustadz Syatori Al Hafidz berbagi ilmu yang beliau miliki. Oh my God, terjaganya semangat, menjadi pribadi optimis, penuh harap dan tidak mudah menyerah adalah impian Bunga sekarang ini. Melintas di dalam benak Bunga kiriman naskahnya untuk dua media berbeda yang sekarang kemungkinan besar tidak akan memuat karyanya. Juga lomba novel yang terlewati karena kesalahan Bunga sendiri. Sementara naskahnya ke media lain dan satu penerbit belum jelas kabarnya. Mungkinkah karena Bunga telah meletakkan hati pada naskah-naskah yang dikirimkannya, juga kepada redaksi atau penerbit sehingga hatinya rapuh saat harap itu tidak terlaksana sebagaimana rencana? Rabbi, bagaimana agar semangat diri bisa tetap terjaga setiap hari? Bunga tertidur bersama pertanyaan-pertanyaannya.
            “Kamu butuh jalan-jalan untuk menyegarkan jiwamu, Nak,” sebuah suara memaksa Bunga membuka mata. Dalam sekejapan mata pula, Bunga telah berdiri di sebuah tanah lapang. Seseorang memberikan tali kekang seekor kuda putih kepadanya. Tidak berapa lama, Bunga mendapati dirinya telah menyusuri jalan mengendarai kuda, di tengah malam gulita. Satu sosok berkuda  memandunya di depan, sementara sosok berkuda lainnya, mengawal di belakang. Bunga menikmati menunggang kuda, satu hal yang menjadi impiannya sejak lama. Tak berapa lama, sosok berkuda di depan Bunga menghentikan langkah kudanya, diikuti yang lainnya. “Pejamkan matamu, Nak,” sosok itu bersuara dan secara reflek, Bunga mematuhi perintahnya.
            Hawa dingin menyergap seketika. Bunga memeluk kedua tangannya erat. Suasana malam di pegunungan Dieng, sekitar tahun 1935. Bunga melihat tenda-tenda mengelilingi bekas api unggun. Beberapa pandu anggota Hizboel Wathan (HW) tampak berjaga sementara beberapa peserta ada yang mengungsi, menumpang tidur di rumah penduduk. Udara dingin dan rintik hujan yang turun penyebab semuanya.
            Di sebuah tenda pimpinan perkemahan. “Allahu laa ilaha illa huwal hayyul qayyum … .” Lamat terdengar lantunan ayat kursi. Bunga menoleh ke sosok pemandunya. Senyum tawadhu mengiyakan pertanyaan yang melintas di hati Bunga.
            “Mas Dirman tidak tidur bersama kami saja Mas atau numpang ke rumah penduduk? Lebih hangat Mas,” ajak seorang pandu. Sebelumnya, temannya yang lain memberikan ajakan yang sama. Sudirman muda menolak ajakan mereka dan memilih tetap tinggal di tenda, yang menjadi basah karena hujan. Pun begitu, shalat tahajud tidak luput dilakukannya malam itu. Ketika pagi datang, ialah yang membunyikan peluit untuk membangunkan anak buahnya shalat shubuh berjamaah[1].
            “Kedisiplinan, tanggung jawab dan ketahanan mental kita dilatih dan diuji lewat peristiwa seperti ini, Nak. Bisa jadi, apa yang kau alami sekarang adalah hal yang sama. Sekarang, kembali pejamkan matamu,” sosok pemandu itu kembali memerintah Bunga. Aura karismatik dari sang pemandu membuat Bunga menghentikan tanya yang mengemuka dan kemudian memejamkan mata.
            Sekarang, suara langkah kaki kuda membersamai Bunga. Mereka bertiga kembali berkuda beriringan. Kali ini di suatu daerah, tempat Sudirman muda sering ke sana, Purbalingga. Mereka semakin dekat dengan sosok Sudirman muda yang tampak membawa sejenis daun lontar. “Mari, Pak, Bu, mari dibeli,” bujuk Sudirman muda. Yah, Sudirman muda mengumpulkan sejenis daun lontar dari Cilacap dan menjualnya kepada masyarakat Purbalingga yang menggunakannya sebagai atap rumah. Hasil penjualan daun itu untuk menambah dana kegiatan Sudirman muda sebagai ketua Hizboel Wathan Kwartir Daerah Banyumas[2].
            “Kemandirian ekonomi, penting bagi seorang pejuang, Nak,” sosok bersahaja itu memberi catatan penting. Kali ini tanpa diminta, Bunga memejamkan mata. Kedua sosok yang membersamainya tersenyum bersama.
            Tahun 1936, rumah keluarga R. Sastroatmojo, Plasen, Cilacap tampak meriah. Akad nikah berlangsung dengan khidmat dan lancar. Sudirman, ketua HW Kwarda Banyumas, Wakil Majelis Pemuda Muhammadiyah Banyumas dan calon guru HIS Muhammadiyah bersanding dengan Alfiah, aktivis Nasiatul Aisiyah (NA). Sudirman, pemuda sederhana keturunan rakyat biasa dengan ijazah MULO (= SMP) itu bersanding dengan gadis yang disukainya. Dan gadis itu berasal dari orang tua aktivis Muhammadiyah, keturunan saudagar Jawa yang berpunya. Saat itulah, pemahaman yang benar akan agama, keimanan yang tinggi menggantikan tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Jawa, bobot, bibit dan bebet[3].
            “Menikah dengan orang yang satu visi dan misi, insya Allah sangat membantu perjuangan kita. Hal itu merupakan bagian dari perjuangan itu sendiri,” sang pemandu berkata haru. Yah, menjadi istri seorang jenderal, Panglima Besar TNI, tentulah membutuhkan pengorbanan tersendiri. Terbayang dalam benak Bunga, kesibukan Bunda Alfiah mengurus ketujuh putra-putrinya sementara Pak Dirman bekerja keras menyatukan TNI, memimpin gerilya dari atas tandunya.
            Perlahan, mereka bertiga meninggalkan keramaian yang ada. Beberapa lama mereka berkuda sampai Bunga menyadari, sosok lain yang membersamainya adalah Moh. Samingan, adik kandung Pak Dirman. Moh. Samingan meminta kembali tali kekang si putih.
            “Ingat, Nak, jaga selalu kedekatanmu dengan Penciptamu. Jaga selalu amal andalanmu, di setiap waktu dan kejadian hidupmu. Hanya bersama-Nya, kau bisa,” senyum terakhir sang jenderal mengakhiri kunjungan mereka. Dan saat kedua mata Bunga terbuka, ia telah diingatkan akan sumber semangat yang tak pernah mati. Ialah Sang Rabbi, Pencipta alam ini. Wallahu’alam.
           
                                    Yogyakarta, Jumat, 10 Oktober 2014, 16.14 WauW.





[1] Drs. Sardiman A.M., M. Pd, Panglima Besar Jenderal Sudirman Kader Muhammadiyah, Yogyakarta: Adicita Nusa Karya, 2000, hlm. 46.
[2] Ibid., hlm. 49, 53, 54.
[3] Ibid., hlm. 68, 72, 76, 77, 81.

Ads