Advertisement
Sumber foto : pembrianasiwi.wordpress.com |
Oleh : Ahmad Musta'id
(ahmadmustaid@gmail.com)
Dunia politik identik dengan kekuasaan. Jalan apapun bentuknya akan dilakukan demi tercapainya tujuan. Belakangan terjadi pergeseran paradigma perekrutan kader. Kapasitas intelektual dan kemampuan finansial telah ditinggalkan, kini berubah ketenaran yang menjadi pertimbangan awal. Selebritis sebagai kaum tenar, laris mendapat pinangan partai politik.
Dengan ketenaran kendati tidak memiliki kemampuan, tetap saja dilirik partai politik. Ketenaran dijadikan sebagai umpan untuk merebut kursi parlemen, duduk dalam pimpinan daerah, bahkan tak segan-segan merebut menjadi nomor satu di negeri ini. Namun hal ini perlu kita acungi jempol, berarti Indonesia semakin kesini semakin mengukuhkan era demokrasi.
Elektabilitas dan kapasitas bukan lagi jadi pertimbangan partai politik. Popularitaslah yang lebih didewakan untuk meraup dukungan. Tanpa peduli nasib bangsa atau daerah ke depan, terpenting partainya harus menang. Menurut saya, boleh saja kaum selebritis ada dipanggung politik, selama telinga mereka sudi mendengar suara rakyat, punya visi dan misi yang jelas, dan tidak memperkaya diri serta mementingkan diri sendiri atau partai politik. Toh banyak orang di Indonesia yang cerdas, berwawasan luas, namun ujung-ujungnya memperdaya dan membohongi rakyat.
Hingar-bingar kaum selebritis terjun dalam panggung politik, mulai dari sebagai anggota legislatif, jadi kepala daerah, dan kini mulai merambah presiden. Ternyata, hal serupa pun sama terjadi di negeri “bapaknya demokrasi”, yakni Amerika Serikat, Ronald Reagen dan Arnold Schwarzenegger yang berhasil menjadi presiden dan gubernur.
Sementara di negeri kita, dari legislatif ada Angelina Sondakh yang sekarang tersandung kasus korupsi, Tantowi Yahya, Eko Patrio, penyanyi Tere, Primus Yustisio dan beberapa selebritis yang lain. Dan yang paling terbaru, Anang Hermansyah berhasil duduk di bangku DPR. Sedangkan yang jadi pemimpin daerah, ada Dede Yusuf (wakil gubernur Jawa Barat), Diky Ginanjar (wakil bupati Ciamis), dan Rano Karno (wakil bupati Tangerang). Bahkan saat ini ada partai politik yang terkesan konyol, Dewi Persik, Julia Perez, dan Maria Eva tak luput dari pinangan partai politik. Dan baru-baru ini yang paling “hot” diberitakan, raja dangdut, Rhoma Irama telah digadang-gadang sebagai calon presiden dan berebut menjadi orang nomor satu di Indonesia tahun ini. Namun karena dengan alasan jumlah suara yang didapat dalam Pileg yang kurang cukup, akhirnya niat itu pun terganjal.
Tak ada masalah, secara hukum pun boleh, tak hanya kaum selebritis yang niat berpolitik. Asal syarat-syarat administrasi dipenuhi. Karena semua orang punya hak yang sama. Memilih dan dipilih. Hal itu sesuai dengan amanat konstitusi kita dalam pasal 43 ayat (1) UU 39/1999 tentang HAM yang mengatakan secara gamblang, “Setiap warga negara mempunyai hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak.” Namun yang menjadi persoalan, adalah ketika peristiwa politik yang penting bagi perubahan nasib bangsa tidak dibarengi dengan kualitas para pemimpin dan wakil rakyat, bukan sekadar popularitas.
Memang, popularitas merupakan salah satu senjata andalan partai politik dalam mengusung jagoannya, karena memungkinkan semua orang mengenal jagoannya. Tapi politik tidak hanya berbicara soal popularitas, menjadi anggota legislatif, pemimpin daerah bahkan presiden sangatlah membutuhkan kemapanan, wawasan luas, elektabilitas, moral, dan visioner memajukan bangsa. Tapi perlu kita beri tepuk tangan, pada para selebritis yang berani tampil di depan dan punya niat tulus untuk memajukan bangsa.
Baca selanjutnya Disini >> Menakar Selebritis dalam Panggung Politik (2)