Advertisement
Dalam artikel yang dibacakan di 11th European Colloquium on
Indonesian and Malay Studies yang diselenggarakan Lomonosov Moscow State
University pada 1999, pengajar sastra Universitas Indonesia (UI), Ibnu Wahyudi,
mengatakan, awal keberadaan sastra Indonesia modern dimulai pada 1870-an, yang
ditandai dengan terbitnya puisi “Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi”
(anonim) yang sekarang diterbitkan kembali dalam Kesastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia (Jakarta: KPG, 2000).
Pada 2002, redaksi majalah sastra Horison yang dipimpin
Taufiq Ismail menerbitkan buku Horison Sastra Indonesia (empat jilid) yang di
dalamnya menyebutkan awal mula penulisan puisi Indonesia dipelopori Hamzah
Fansuri sekitar abad ke-17. Namun, Taufiq Ismail masih menyebut Hamzah Fansuri
sebagai pionir sastra daerah, dalam hal ini Aceh. Ia tidak dengan tegas
menyatakan bahwa Hamzah Fansuri adalah sastrawan Indonesia.
Dari kedua hal di atas, setidaknya ada keinginan pada Ibnu
Wahyudi untuk meluruskan sejarah sastra Indonesia yang sekarang diajarkan di
sekolah-sekolah. Pelurusan sejarah ini penting karena berkaitan langsung dengan
kesadaran kita mengenai bangsa dan negara Indonesia.
Sejak Sutan Takdir Alisjahbana (STA) menyarankan untuk
memutuskan sejarah kebudayaan prae-Indonesia (masa sebelum akhir abad ke-19)
dengan kebudayaan Indonesia (awal abad ke-20 hingga kini), serta merta
menghasilkan mata rantai sejarah yang terputus. Seolah-olah kebudayaan
Indonesia baru lahir mulai 1900 sekaligus menafikan perjalanan sejarah bangsa
yang telah berjalan ribuan tahun.
Lompatan besar yang dilakukan STA itu sejalan dengan politik
etis yang tengah dilakukan kolonial Belanda. Tapi, hal itu sekaligus menjadi
kabut yang mengaburkan jatidiri bangsa Indonesia. Pandangan Sanusi Pane yang
senafas dengan Poerbatjaraka dalam menanggapi STA sebenarnya memperlihatkan
pandangan yang khas Indonesia. Dalam arti, mereka tidak silau dengan pengaruh
Barat yang masuk ke Indonesia dan tidak mabuk dengan kebudayaan bangsanya
sendiri.
Poerbatjaraka mengingatkan bahwa sejarah hari ini adalah
kelanjutan dari sejarah masa lalu dan tidak terpotong begitu saja. Ia pun
menegaskan bahwa sejatinya yang harus dilakukan adalah menyeleksi kebudayaan
Indonesia yang purba dan pengaruh kebudayaan Barat untuk diformulakan menjadi
kebudayaan Indonesia baru. Dalam bahasa Sanusi Pane, sebaiknya kebudayaan
Indonesia mengawinkan Faust (Barat) dengan Arjuna (Timur).
Jika kita masih berpegang pada pendapat bahwa kelahiran
sastra Indonesia dimulai pada 1920, kita masih setia pada sejarah yang
terpotong itu. Kalau merujuk politik etis kolonial Belanda yang membentuk
Commissie voor de Indlandsche School en Volkslectuur (Komisi untuk Bacaan
Sekolah Pribumi dan Bacaan Rakyat) pada 1908, dan selanjutnya pada 1917
mendirikan Kantoor voor de Volkslectuur (Kantor Bacaan Rakyat) yang diberi nama
Balai Pustaka, kelahiran sastra Indonesia—dengan demikian—merupakan produk
politik etis kolonial Belanda itu. Padahal, pengaruh Barat semacam itu hanyalah
babakan kecil dari pengaruh luar yang masuk ke Indonesia. Dengan kata lain,
keterpengaruhan itu hanya bagian kecil dari keindonesiaan kita.
Hasil penelitian Ibnu Wahyudi di atas memperlihatkan bahwa
ia sudah terlepas dari kungkungan pemikiran yang dibentuk Belanda. Dengan
menempatkan karya-karya sastrawan Indonesia dari peranakan Cina dan peranakan
Eropa sebagai titik awal kelahiran sastra Indonesia, sesungguhnya ia telah
menghadirkan wacana baru bahwa karya sastra yang tidak melalui sensor Balai
Pustaka, yang tidak menggunakan bahasa Melayu tinggi, yang disebut sebagai
bacaan liar, yang ceritanya berdasarkan peristiwa “yang sungguh-sungguh pernah
terjadi”, adalah juga termasuk dalam khasanah sastra Indonesia.
Penelusuran Pramoedya Ananta Toer terhadap karya sastra
Indonesia tempo dulu juga memperlihatkan hal serupa. Sastrawan-sastrawan yang
sebagian besar berlatar belakang wartawan dari peranakan Eropa, Cina, dan asli
Minahasa, seperti F. Wiggers, G. Francis, H. Kommer, Tio Ie Soei, dan F.D.J.
Pangemanann, merupakan anasir penting dalam sastra Indonesia yang berhasil
diselamatkan.