Advertisement
Jumat Pagi.
(sebuah pecahan mozaik kecil)
bah! hahaha, lonceng kuning tua berdenting mengiang-ngiang-ngiang-ngiang di kulit lembu gendang dalam telingaku pagar besi logam berkarat berderak berderik bergeser perlahan-lahan-lahan-lahan dan … tergerendel! aku terlambat
apa yang mau kucakap, saat jam dinding yang berdetak mengisyaratkan 7 kali dalam dentang denting dengtang dengtung, aku bersama air seni bergolek mesra bersetubuh dengan ranjang, puah!
basuh muka dan wajah-wajah berandalan dicermin kamar mandi tanpa basuh tubuh untuk mandi membiarkan berjuta bakteri menggigiti dan lalat-lalat menghampiri, dipacu bagai kuda bagai banteng bagai singa pacu berlari-yah berlari tanpa setetes bahan bakar terisi, terlihat dari jauh pagar besi logam berkarat berderak berderik bergeser perlahan-lahan-lahan-lahan dan … tergerendel! aku terlambat
apa dayaku, sesosok tubuh bernama guru menarik daun telingaku terasa bagai tercabut akar serabutnya, dengan lembutnya dan dengan kasarnya, dengan lembutnya nada, dengan kasarnya bara, ia bercakap : “hai! kau terlambat lagi!!”
kugagahkan teguh berdiri ditengah terik matahari pagi bersama satu kaki, di daun telinga teruntai dua jari yang mengapitnya sampai nyeri, yah, dihukum, aku di hukum,
masa itu masa aku berbaju olahraga bercelana pendek warna merah, masa itu masa aku anak badung yang tak tau diuntung, anak nakal yang binal, anak kecil yang usil, masa itu,, yah masa itu kubalas senyum manis makhluk bernama guru itu dengan bengis, kutatap matanya dengan tajam tanda perlawanan, tanpa kusesali, malam tadi kuterjaga sampai pagi, bersama sahabat nonton televisi, puah!! aku tak salah, aku benar-benar benar! guru itu pasti cemburu, mengapa aku lebih tampan dari wajahnya, yah dia cemburu, aku terkekeh dalam hati dengan tubuh masih dalam kondisi teguh gagah berdiri ditengah terik matahari pagi bersama satu kaki, didaun telinga teruntai dua jari yang mengapitnya sampai nyeri aku berkata, aku tak mau nasi, aku tak mau kasih, aku tak mau air, aku tak mau syair, aku tak mau permen aku tak mau kau! aku hanya ingin hentikan deraan yang menusuk hatiku ini yah dia berkata dengan marahnya yang meluap-luap bagai air dalam belanga yang hendak tumpah, telah berpuluh, mungkin beratus, punkah beribu kali kau buat hal tak baik, tak inginkah kau menjadi seperti teman-temanmu yang tak suka buat masalah aku tertunduk, tapi tak seonggok pun penyesalan hadir karena; aku benar-benar benar! menurutku …
hingga dua puluh tiga tahun berlalu, kembaliku hadapi tembok yang melindungi saat ku hisap ilmu guruku, dengan wajah-wajah ceria anak-anak yang bercelana merah menyambutku bagai pemimpin baru yang dielu-elu, aku berganti jabatan, kini aku yang jadi guru jumat pagi di dua puluh tiga tahun itu aku menutup pagar yang sama, yang membelengguku dua puluh tiga tahun yang lalu yang memberi arti ketepatan waktu seorang anak kecil, berbaju olahraga sekolah bercelana pendek merah datang dengan tergesa-gesa, dia memohon pintu gerbang kubuka untuk masuk leluasa, huh, enak saja gumamku, kututup rapat-rapat dan kukunci gerendelnya membiarkan dia menikmati teman-temannya menari dibalik jeruji saat ditatapnya aku dengan penuh nafsu membunuh,
seketika kutersentak,
ah, itulah arti yang diberikan guruku dua puluh tiga tahun berlalu, di hari yang sama, saat aku dan anak itu merasakan arti yang sama, saat dia dengan penuh amarah, tanpa sadar kesalahannya, bah,, sesalku tak ada arti kini, berterima kasih akan ketenangan yang menghukumku dan memberi arti mahalnya detik berlalu pun tiada sampai karena maut telah lebih dulu memisahkan dia dengan aku dengan berdoa padaNya agar maafkan salahku dan dia yang dulu menghukumku, aku tarik telinga anak itu, kuseret dia ketengah-tengah dan kubiarkan dia tegak teguh tegap berdiri ditengah terik matahari pagi bersama satu kaki, didaun telinganya terpasangkan jari tangannya sendiri yang mengapitnya sampai nyeri agar ia tahu diri agar dia tahu arti ketepatan waktu, sama seperti aku, dua puluh tiga tahun yang lalu.
Curup, 2010 (untuk guruku, yang memberi arti pada hidupku)
bah! hahaha, lonceng kuning tua berdenting mengiang-ngiang-ngiang-ngiang di kulit lembu gendang dalam telingaku pagar besi logam berkarat berderak berderik bergeser perlahan-lahan-lahan-lahan dan … tergerendel! aku terlambat
apa yang mau kucakap, saat jam dinding yang berdetak mengisyaratkan 7 kali dalam dentang denting dengtang dengtung, aku bersama air seni bergolek mesra bersetubuh dengan ranjang, puah!
basuh muka dan wajah-wajah berandalan dicermin kamar mandi tanpa basuh tubuh untuk mandi membiarkan berjuta bakteri menggigiti dan lalat-lalat menghampiri, dipacu bagai kuda bagai banteng bagai singa pacu berlari-yah berlari tanpa setetes bahan bakar terisi, terlihat dari jauh pagar besi logam berkarat berderak berderik bergeser perlahan-lahan-lahan-lahan dan … tergerendel! aku terlambat
apa dayaku, sesosok tubuh bernama guru menarik daun telingaku terasa bagai tercabut akar serabutnya, dengan lembutnya dan dengan kasarnya, dengan lembutnya nada, dengan kasarnya bara, ia bercakap : “hai! kau terlambat lagi!!”
kugagahkan teguh berdiri ditengah terik matahari pagi bersama satu kaki, di daun telinga teruntai dua jari yang mengapitnya sampai nyeri, yah, dihukum, aku di hukum,
masa itu masa aku berbaju olahraga bercelana pendek warna merah, masa itu masa aku anak badung yang tak tau diuntung, anak nakal yang binal, anak kecil yang usil, masa itu,, yah masa itu kubalas senyum manis makhluk bernama guru itu dengan bengis, kutatap matanya dengan tajam tanda perlawanan, tanpa kusesali, malam tadi kuterjaga sampai pagi, bersama sahabat nonton televisi, puah!! aku tak salah, aku benar-benar benar! guru itu pasti cemburu, mengapa aku lebih tampan dari wajahnya, yah dia cemburu, aku terkekeh dalam hati dengan tubuh masih dalam kondisi teguh gagah berdiri ditengah terik matahari pagi bersama satu kaki, didaun telinga teruntai dua jari yang mengapitnya sampai nyeri aku berkata, aku tak mau nasi, aku tak mau kasih, aku tak mau air, aku tak mau syair, aku tak mau permen aku tak mau kau! aku hanya ingin hentikan deraan yang menusuk hatiku ini yah dia berkata dengan marahnya yang meluap-luap bagai air dalam belanga yang hendak tumpah, telah berpuluh, mungkin beratus, punkah beribu kali kau buat hal tak baik, tak inginkah kau menjadi seperti teman-temanmu yang tak suka buat masalah aku tertunduk, tapi tak seonggok pun penyesalan hadir karena; aku benar-benar benar! menurutku …
hingga dua puluh tiga tahun berlalu, kembaliku hadapi tembok yang melindungi saat ku hisap ilmu guruku, dengan wajah-wajah ceria anak-anak yang bercelana merah menyambutku bagai pemimpin baru yang dielu-elu, aku berganti jabatan, kini aku yang jadi guru jumat pagi di dua puluh tiga tahun itu aku menutup pagar yang sama, yang membelengguku dua puluh tiga tahun yang lalu yang memberi arti ketepatan waktu seorang anak kecil, berbaju olahraga sekolah bercelana pendek merah datang dengan tergesa-gesa, dia memohon pintu gerbang kubuka untuk masuk leluasa, huh, enak saja gumamku, kututup rapat-rapat dan kukunci gerendelnya membiarkan dia menikmati teman-temannya menari dibalik jeruji saat ditatapnya aku dengan penuh nafsu membunuh,
seketika kutersentak,
ah, itulah arti yang diberikan guruku dua puluh tiga tahun berlalu, di hari yang sama, saat aku dan anak itu merasakan arti yang sama, saat dia dengan penuh amarah, tanpa sadar kesalahannya, bah,, sesalku tak ada arti kini, berterima kasih akan ketenangan yang menghukumku dan memberi arti mahalnya detik berlalu pun tiada sampai karena maut telah lebih dulu memisahkan dia dengan aku dengan berdoa padaNya agar maafkan salahku dan dia yang dulu menghukumku, aku tarik telinga anak itu, kuseret dia ketengah-tengah dan kubiarkan dia tegak teguh tegap berdiri ditengah terik matahari pagi bersama satu kaki, didaun telinganya terpasangkan jari tangannya sendiri yang mengapitnya sampai nyeri agar ia tahu diri agar dia tahu arti ketepatan waktu, sama seperti aku, dua puluh tiga tahun yang lalu.
Curup, 2010 (untuk guruku, yang memberi arti pada hidupku)