Advertisement
Diah Irawati, S.S, M.Pd
(Bagian I)
pojokseni.com - Artikel ini adalah kajian dari sebuah buku Kumpulan Cerpen (Kumcer) berjudul Bulan Celurit Api karya Benny Arnas. Berikut, penulis memaparkan refleksi budaya Kota Lubuklinggau, Provinsi Sumatera Selatan yang dipaparkan penulis Kumcer tersebut, lewat cerpen-cerpennya yang kental dengan budaya Lubuklinggau.
Pembahasan
Dalam suatu kelompok masyarakat terdapat unsur budaya dalam kehidupan bermasyarakat. Agar hubungan antara sesama manusia di dalam suatu masyarakat berjalan sebagaimana mestinya sesuai dengan nilai-nilai budaya yang merupakan ukuran dari sikap yang dimiliki masing-masing manusia di setiap daerah sebagai ciri khas dari daerah tersebut.
Kumpulan cerpen Bulan Celurit Api mengkaji masalah unsur budaya Melayu Lubuklinggau, yang berkaitan dengan sistem religi, sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia, sistem mata pencaharian hidup dan sistem kemasyarakatan yang ditinjau dari ucapan dan tingkah laku tokoh.
1. Sistem Keagamaan
Kumpulan cerpen Bulan Celurit Api, jika dilihat dari sisi unsur sistem religinya banyak yang mengungkapkan mengenai pergeseran nilai budaya dalam masyarakat akan membawa setiap individu atau masyarakat kepada tindakan yang tidak bermoral. Mayoritas masyarakat Lubuklinggau memeluk agama Islam, namun dalam kumpulan cerpen Bulan Celurit Api ini banyak mengisahkan penyimpangan dari nilai-nilai atau ajaran agama Islam. Masyarakat Lubuklinggau masih mempercayai hal-hal yang gaib dan keramat. Nilai-nilai yang baik selalu diiringi dengan nilai-nilai yang buruk, sangat diperlukan nilai-nilai yang dapat mengontrol perbuatan kearah yang lebih baik. Maka disinilah perlu peran agama dan budaya dalam kehidupan masyarakat.
Cerpen Bulan Celurit Api mengisahkan kemampuan membaca tanda kekuasaan Allah yang tercermin dalam bulan yang berbentuk celurit di atas rumah pusakanya. Dalam kisah ini tokoh utamanya yaitu Mak Muna seseorang yang ditinggal mati suaminya ketika perseteruan puak Col dan puak Musi, kisah berawal dari kampanye orang kampung yang sudah menyimpang dari aturan-aturan yang berlaku, suap-menyuap terjadi di sana, hingga terjadi kerusuhan saat kampanye, dan juga mengenai kisah Mira yang merupakan cucunya yang menemaninya, tetapi Mira seorang gadis bisu. Ketika ia ingin pergi kampanye lain agar dapat mendapatkan amplop lagi, dan meninggalkan Mira, tetapi kejadian tidak terduga terjadi, rumah pusaka yang dihuni Mak Muna terbakar dan juga bersama Mira juga ikut menjadi korban dari kebakaran itu, bahkan kejadian lain juga terjadi, anak bungsunya yang bernama Rusli ditangkap oleh warga dan diarak sekeliling kampung karena kedapatan sedang bersetubuh dengan Iyut tetangga Mak Muna yang sangat dipercayai Mak Muna. Ini tentu saja merupakan cobaan terberat bagi Mak Muna. Hal ini terjadi tentu saja merupakan teguran dari Allah kepada umatnya karena terlalu mengejar duniawi hingga melupakan larangan-larangan dalam ajaran Islam.
Mak Muna duduk di tubir jenjang. Menegadah ke kelam raya. Bulan berubah menjadi celurit api. Lagaknya mengajak pucuk limas berseteru. Mak Muna risau. Itu adalah lukisan masa depan yang tak berbingkai. Apabila diutarakannya tafsiran tentang ‘peperangan’ bulan sabit dan atap rumah pusaka itu, pastilah sesiapa menolak bersetuju. (Cerpen Bulan Celurit Api, Benny Arnas, 2010:19)
Dari kutipan di atas, menjelaskan perihal Mak Muna yang gelisah melihat ada bulan sabit di atas rumahnya, ia menganggap bahwa kampungnya akan dilanda petaka, ia mencoba meredam ketakutannya itu. Hal ini berarti secara emosi keagamaan, Mak Muna masih percaya dan takut dengan hal-hal gaib atau keramat.
Cerpen Percakapan Pengantin juga menceritakan penyimpangan terhadap ajaran agama Islam, dalam cerpen ini mengisahkan mengenai pernikahan sepasang gadis dan bujang bisu yang keduanya sama-sama yatim piatu. Kedua pengantin ini diperlakukan secara tidak adil oleh warga kampung, hanya sedikit yang menghadiri pernikahannya, ini tentu saja bertentangan dengan ajaran agama Islam yang melindungi dan menyantuni anak yatim piatu. Warga lebih memilih mengikuti tradisi yaitu hanya menghadiri hajatan yang orang tuanya juga menghadiri hajatan yang pernah diadakannya. Padahal mereka sejak kecil telah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya. Ketika mereka mulai dewasa pun, mereka jarang diundang oleh warga kampung, kalaupun diundang itu hanya kebetulan ketika gadis itu ikut berkumpul dengan ibu-ibu lain.
Cerpen Hari Matinya Ketip Isa, mengisahkan tentang kehidupan seorang Ketip, Ketip di Lubuklinggau merupakan sebutan untuk penghulu nikah. Ketip isa terkenal taat kepada Allah, ia rajin ke masjid dan menjadi imam masjid. Sebagai kepala keluarga Ketip Isa sudah gagal memimpin keluarganya, istrinya Mak Atut terkenal dengan keburukannya yang cerewet, kasar dan suka berhutang dan juga kedua anaknya Zul dan Komar yang merupakan perampok yang terkenal di kampungnya dan juga durhaka terhadap kedua orang tua, bahkan tega membunuh ibunya sendiri dihari kematian ayahnya.
Pada cerpen Tentang Perempuan Tua dari Kampung Bukit Batu yang Mengambil Uang Getah Para dengan Mengendarai Kereta Unta Sejauh Puluhan Kilometer ke Pasar Kecamatan mengisahkan tentang keserakahan yang dilakukan oleh tukang dacing (tukang timbang) ketika warga menjual getah para dan ingin mengambil uang hasil penjualannya.
Cerpen Dilarang Meminang Gadis Berkereta Unta mengisahkan perlakuan tidak lazim terhadap Siti seorang gadis yatim piatu yang sekarang tinggal bersama Mang Sidi dan Bi Salma. Siti dianggap tidak suci karena ketika malam pertama Siti tidak mengeluarkan darah dari selaput keperawanannya hingga dalam sehari ia langsung menjadi janda karena telah dijatuhkan talak oleh Romli suaminya. Warga kampung memang menduga kejadian ini karena Siti sering mengendarai kereta unta, padahal sangat tabu di daerah Binjai Lubuklinggau seorang gadis mengendarai kereta unta.
Dan...ternyata semua hanya sebagian kecil dari umbul-umbul adat. Ya, Siti tak pernah duduk di depan pintu rumah karena takut jadi gadis tua. Siti tak pernah keluar magrib karena Hantu Wewe —yang tak pernah ia lihat— sudah menanti di pohon belimbing di sisi kanan kandang rumahnya. Siti selalu mengibaskan kain ke kasurnya karena tak ingin dipeluk hantu ketika tidur. Siti tak pernah menyisir rambut di luar rumah karena takut dipinang duda atau lelaki yang sudah beristri tiga. Siti memercayainya. Semuanya. Namun empat tahun yang lalu, ketika ia harus memamah kenyataan sebagai yatim-piatu, larangan seakan dicipta untuk dirinya. Tak elok anak gadis bersepeda! (Cerpen Dilarang Meminang Gadis berkereta Unta, Benny Arnas, 2010:103-104)
Rasa takut dan percaya terhadap hal-hal yang gaib dan keramat juga tercermin dari kutipan dalam cerpen Dilarang Meminang Gadis Berkereta Untadi atas, Siti sangat takut dengan hal-hal mistis yang dipercaya oleh warga kampung. Siti selalu berusaha untuk tidak melakukan ungkapan larangan yang dipercaya oleh warga kampungnya. Seperti tidak pernah keluar malam karena takut bertemu dengan hantu wewe, tidak pernah menyisir rambut di luar rumah karena takut dipinang oleh duda atau laki-laki yang sudah beristri tiga. Tetapi, Siti hanya tak mengubris satu larangan warga kampung yaitu anak gadis tak elok menunggang kereta unta, itupun karena Siti harus menempuh perjalanan yang jauh untuk sekolah, larangan ini seolah-olah nyata. Pada saat malam pertama Siti dianggap tidak perawan lagi oleh suaminya, hingga ia ditinggalkan malam itu juga, hal ini malah membuat warga kampung menertawakan dan menghujad karena kejadian ini.
Pada cerpen Anak Ibu yang menceritakan tentang petuah seorang Ibu yang rela mengorbankan nyawanya sendiri demi kelahiran sang buah hati yang merupakan anak dari hasil pemerkosaan. Di sini tokoh Ibu banyak memberikan petuah kepada anak gadisnya, agar anak gadisnya tidak berprilaku menyimpang dari ajaran agama Islam hingga menjadi gadis yang sholeh.
2. Sistem Peralatan dan Perlengkapan Hidup Manusia
Sistem peralatan dan perlengkapan hidup manusia pada budaya Melayu Lubuklinggau juga terdapat dalam kumpulan cerpen Bulan Celurit Api, berbagai peralatan dan sebutan khusus daerah Lubuklinggau, seperti menamai sepeda dengan kereta unta. Terdapat juga peralatan dan perlengkapan hidup seperti tengkuluk, belah bulu, songket dengan badong raja, tanjak di kepala, terompah kayu, kain lasem, baju kurung, songkok, kopiah, mandau, karung goni, bokor, belanga, dan juga tarup. Peralatan-peralatan tersebut ada yang merupakan baju khusus ketika mengadiri acara dan perlengkapan untuk yang lainnya.
Tengkuluk dalam masyarakat Lubuklinggau, tengkuluk yaitu kain penutup kepala bisa dikatakan berbentuk kerudung langsung yang sudah dibentuk yang mirip mukenah. Tengkuluk biasa digunakan oleh kaum ibu-ibu atau wanita yang sudah berumur sebagai penutup kepala.
Tengkuluk |
Pada masyarakat Lubuklinggau apabila dalam sebuah acara, misalnya acara kampung atau pernikahan biasanya menggunakan kostum atau pakaian khusus. Seperti belah bulu, dalam masyarakat Lubuklinggau belah bulu adalah sejenis baju koko yang hampir serupa dengan baju adat melayu pria, baju ini dulu digunakan sehari-hari oleh kaum pemuda, tapi sekarang belah bulu hanya digunakan atau dipakai oleh tokoh-tokoh adat dalam acara tradisional.
Songket dengan badong raja yaitu kain tenun yang bersulam benang emas, ketika dipakai juga menggunakan tali pinggang, gasper atau kepala tali pinggangnya besar terdapat ukiran-ukiran yang terbuat dari kuningan dan biasanya dipakai oleh pengantin laki-laki atau tokoh adat pada acara tradisional.
Tanjak di kepala biasa digunakan masyarakat Lubuklinggau dalam acara-acara tradisional, yang terbuat dari songket yang digunakan untuk penutup kepala, bagian depannya berbentuk segitiga. Selajutnya terompah kayu yang dahulu digunakan oleh masyarakat Lubuklinggau sebagai alas kaki sehari-hari yang terbuat dari kayu yang dilengkapi dengan tali kulit sebagi penguat atau kayu bertudung bulat, tempat ibu jari kaki dan jari telunjuk menjepit, tetapi seiring perkembangan dan pesatnya kemajuan teknologi terompah kayu ini sangat jarang sekali dipakai oleh masyarakat Lubuklinggau.
Kain lasem merupakan kain khas Lubuklinggau merupakan kain tipis seperti kain panjang yang pada masa dahulu digunakan oleh ibu-ibu sebagai kain panjang, kain gendong dan juga kain basahan mandi. Baju kurung merupakan baju panjang sepanjang lutut yang bagian depan terkadang diberikan kancing baju atau pada bagian belang diberi resleting, tetapi sekarang baju kurung sudah mulai ditinggalkan karena masuknya pengaruh asing masyarakat lebih menyukai mode kebarat-baratan, baju kurung hanya digunakan pada acara formal saja.
Songkok yaitu tudung kepala untuk kaum wanita yang sering digunakan masyarakat Lubuklinggau. Sebaliknya kopiah yaitu songkok penutup kepala pada pria yang digunakan masyarakat Lubuklinggau dengan permukaan yang tebal, berbulu halus pada bagian belakang lembut dan berkilat.
Perlengkapan dan peralatan yang digunakan masyarakat Lubuklinggau yang lainnya juga terdapat dalam kumpulan cerpen Bulan Celurit Api karya Benny Anas. Diantaranya tarup, tarup adalah semacam tenda tradisional yang beratap seng dan berlantai bilah-bilah papan yang digunakan ketika ada hajatan, seperti pernikahan dan lain-lain. Meskipun pada saat ini, orang-orang di Lubuklinggau lebih sering mengunakan tenda modern yang terbuat dari besi dan ditutupi kain berwarna-warni.
Bokor adalah pinggan atau piring besar yang cekung dan bertepi lebar, biasanya terbuat dari logam. Bokor biasa digunakan masyarakat Lubuklinggau ketika ada yang meninggal dunia digunakan tempat uang sedekah atau uang belasungkawa dari para pelayat. Belanga yaitu kuali besar yang terbuat dari tanah yang digunakan untuk menyayur dan merebus sayur-sayuran, tetapi belanga sudah jarang dipakai oleh masyaralat Lubuklinggau.
Bokor |
Mandau merupakan senjata tradisional, berbentuk panjang dan tipis, berbeda dengan Mandau yang terdapat di daerah Kalimantan yang serupa pedang panjang, Mandau di daerah Lubuklinggau lebih lebar, lebih tebal dan panjang. Karung goni yaitu karung yang digunakan masyarakat untuk meletakkan beras, padi, dan juga hasil-hasil panen lainnya.
Kendaraan tradisional Lubuklinggau yang khas dinamai kereta unta, terdapat dalam kumpulan cerpen Bulan Celurit Api karya Benny Arnas. Kereta unta merupakan sepeda, tinggi tempat duduknya hampir setara pinggang orang dewasa, kulit dudukannya mengkilat dan licin, stangnya sangat lengkung, rodanya sebundar lubang drum, dan biasanya terdapat bunyi kring-kring, tetapi bagi kepercayaan masyarakat Lubuklinggau, tidak baik anak gadis menunggangi kereta unta, karena akan mendapat petaka pada malam perkawinan. Tentunya, seiring dengan perkembangan zaman kereta unta ini sudah minim sekali peminatnya, orang-orang lebih memilih sepeda-sepada model terbaru.