Advertisement
Alhasil, beberapa kritik dan desakan dari berbagai pihak langsung datang bergelombang. Beberapa diantaranya meminta Pemerintah untuk merevisi UU tersebut, beberapa lagi malah meminta beberapa pasal didalam UU itu dihapus. Teranyar, desakan tersebut datang dari Forum Demokrasi Digital (FDD). Mereka bahkan mendukung DPR RI untuk memasukkan UU tersebut dalam Prolegnas untuk kemudian dibahas.
"Ada beberapa tuntutan revisi, antara lain menelaah ulang revisi UU ITE, khususnya untuk memberikan ruang memadai bagi pengaturan konten dan pengawasannya," kata pendiri FDD, Damar Juniarto.
Beberapa pasal yang dianggap "karet" dan membahayakan dalam UU tersebut antara lain. Pasal 27 (penghinaan/pencemaran nama), Pasal 28 (penyebaran kebencian berdasarkan SARA), Pasal 29 (ancaman kekerasan/menakut-nakuti) dan Pasal 45 (yang mengatur ancaman hukuman pidana untuk pasal 27, 28, dan 29). Pasal-pasal tersebutlah yang kerap digunakan oleh sekelompok pihak untuk kepentingan pribadi.
Simak saja, beberapa kasus yang mulanya hanya terjadi di dunia maya, berujung ke polisi. informasi terhimpun pojokseni.com, sepanjang tahun 2015 lalu, total ada sekitar 60 kasus yang dilaporkan terkait pelanggaran UU ini. Jumlah tersebut meningkat signifikan dari tahun 2014 yang hanya sekitar 38 kasus saja. Mungkin kita belum lupa bagaimana seorang penyair bernama Saut Situmorang juga terpaksa berurusan dengan hukum lantaran menulis di dunia maya.
Oleh sebab itu, desakan untuk revisi UU ini terus mengalir. Wajar saja, hukuman untuk pelanggaran UU tersebut juga sangat beresiko. Terbesar, ancaman untuk pelanggar UU ini adalah denda Rp 1 Miliar (M) dan kurungan 6 tahun penjara. (@pojokseni)