Advertisement
Film Jenderal Soedirman |
pojokseni.com - Kenapa Indonesia dijajah 350 tahun lebih? Bukan karena kalah persenjataan, bukan pula karena kalah taktik atau kalah negosiasi! Dari beberapa film bertema sejarah kemerdekaan, mulai dari trilogi Merah Putih, hingga teranyar film 'Jenderal Soedirman' ternyata yang terungkap adalah penyebab Indonesia susah merdeka adalah ; Banyaknya pengkhianat!
Panglima TNI, yang juga Jenderal Besar Soedirman nyatanya hampir menemui maut di tangan para serdadu Belanda, lantaran keberadaannya diberi tahu oleh seorang anak buah yang dipercayainya bernama Kunto. Kejadian serupa pasti pernah anda temukan bila telah menyaksikan film yang bertema sama. Seorang siswa SMA yang duduk didepan saya bahkan berkata, "Wajar saja Indonesia dijajah sampai tiga setengah abad, orang Indonesia sendiri yang banyak jadi pengkhianat, lantaran uang yang tidak seberapa, negara ini taruhannya." Hebatnya, itu keluar dari mulut anak sekolahan!
Penulis sempat berfikir, kalau tidak ada pengkhianat busuk semacam itu, rasanya Indonesia mungkin sudah merdeka tidak sampai 350 tahun, kan?
Kembali ke Film yang dibintangi oleh Adipati Dolken, Baim Wong, Nugie dan Lukman Sardi ini. Film ini dibuat dalam merayakan Hari kemerdekaan ke-70 Indonesia, 17 Agustus 2015 lalu. Sebenarnya, film ini berjalan serius, namun ada seorang tokoh bernama Karsani yang dengan peran karikaturalnya, berhasil memikat seluruh penonton. Kehadirannya selalu ditunggu, dan apa yang dilakukan atau dikatakannya selalu memancing tawa penonton. Dua jempol untuk pemeran Karsani ini!
Secara pribadi, peran sentral yakni Jenderal Soedirman yang diperankan oleh Adipati Dolken dan Peran Presiden Soekarno yang diperankan oleh Baim Wong agak kurang mengena di hati penulis. Meskipun tidak bisa dikatakan jelek, namun seperti ada 'sesuatu yang kurang' setelah melihat akting mereka. Terutama peran Soekarno, yang menurut penulis tidak bisa dimakan seratus persen oleh Baim Wong. Tapi secara keseluruhan, film ini bisa dikatakan bagus.
Kisah dimulai dari pengangkatan Jenderal Soedirman menjadi Panglima TNI secara voting (menggunakan papan tulis dan kapur, loh! belum pakai komputer) berlanjut ke penculikan Sutan Syahrir, lalu ketika Jenderal Soedirman yang beda pendapat dengan Tan Malaka tentang cara 'memerdekaan' Indonesia seutuhnya. Penonton kemudian mulai dikenalkan dengan "Karsani" yang ternyata seorang pencuri di pasar. Sayangnya, ketika hendak mencuri bahan makanan di pasar, pasar tersebut malah terkena bom dari pesawat Belanda. Setting terjadi di Yogyakarta ketika agresi militer kedua Belanda.
Karsani berhasil mencuri hati penontonnya, ketika ia yang kebingungan jalan pulang dan hanya melihat puing-puing, malah bertemu dengan serdadu belanda di jalan. Dengan berani, dilemparnya sebuah batu dan mengenai badan para serdadu. Seorang serdadu lalu mengacungkan senjatanya tepat ke wajah Karsani. Bukannya takut, ia malah menantang serdadu itu dengan kata kasar.
"Ini baru lelaki sejati," kata penonton dan memberi tepuk tangan pada tokoh 'Karsani'.
Sesuai ekspektasi awal, film ini akan berjalan serius namun diselingi tingkah ulah Karsani yang polos, lugu dan lucu. Masih sama dengan prediksi awal penulis bahwa tokoh Karsani ini nantinya akan 'dimatikan', terbukti ketika ia dan kaptennya (diperankan oleh Ibnu Jamil) diutus ke Yogyakarta dan secara 'naas' ia bertemu dengan dua lusin serdadu Belanda sendirian. Bukannya takut atau menyerah, ia malah berteriak 'Merdeka!' sampai puluhan peluru memberondong tubuhnya.
Tentu saja, tokoh Karsani berhasil mencuri perhatian penonton habis-habisan, hingga 'akhir hayat'nya di film itu. Totalitas berperan dan kebetulan perannya memang sangat menarik, membuat film yang bertema sejarah ini menjadi menyenangkan untuk diikuti sampai habis.
Akhir cerita, Jenderal Soedirman diminta untuk kembali ke Yogyakarta dan menghentikan perang gerilya. Sang Jenderal awalnya menolak, namun akhirnya ikut karena permintaan dari Sultan Hamengkubuwono. Perang akhirnya terhenti, dan Indonesia aman untuk saat itu. Tan Malaka berhasil tertangkap, beserta para 'prajuritnya' yang dicurigai akan membelot dari Republik. Belanda yang menyerah karena tidak pernah berhasil menangkap sang Jenderal akhirnya menyetujui gencatan senjata, meskipun secara sepihak, persetujuan Roem-Royen hanya akan merugikan Indonesia.
Sang jenderal ternyata mendapat penghargaan, ketika taktik perangnya dianggap sebagai salah satu taktik perang terbaik di dunia. Sang jenderal sendiri meninggal pada umur ke-34 lantaran sakit paru-paru yang dideritanya, bahkan sejak sebelum perang. Hal itu yang membuat ia bahkan terpaksa ditandu untuk memimpin perang gerilya yang panjang dan melelahkan tersebut. (@pojokseni)
Follow Twitter : @pojokseni atau like FB : pojokseni.com untuk review film lainnya.