Menerjemahkan Karya Sastra (Menurut Sapardi Djoko Damono) Bagian III -->
close
24 March 2015, 3/24/2015 02:15:00 AM WIB
Terbaru 2017-09-29T12:57:28Z
Sastra

Menerjemahkan Karya Sastra (Menurut Sapardi Djoko Damono) Bagian III

Advertisement
Sapardi Djoko Damono

Sebelumnya Baca Dulu :
1. Menerjemahkan karya Sastra oleh Sapardi Djoko Damono Bagian I
2. Menerjemahkan karya Sastra oleh Sapardi Djoko Damono Bagian II

Umumnya kita berpendapat bahwa penerjemah terpengaruh oleh yang diterjemahkannya; namun, kita juga boleh berpendapat bahwa penerjemah justru mempengaruhi karya yang diterjemahkannya. Bahasa itu mutlak peka budaya; cara pengungkapan dalam suatu bahasa didikte oleh sekalian segi budaya yang telah menghasilkan bahasa itu, sebab memang bahasa diciptakan untuk keperluan komunikasi di lingkungan kebudayaan tertentu. Jadi, penerjemahan sebenarnya merupakan usaha untuk mengubah cara pengungkapan dalam suatu kebudayaan menjadi cara pengungkapan yang ada dalam kebudayaan lain. Hal ini menuntut pengubahan kode beserta segenap kuncinya agar bisa dipahami dalam kebudayaan sasaran.

Penerjemah karya sastra pada dasarnya adalah pengarang yang mencipta dengan batasan, kungkungan, dan ikatan yang berasal dari karya yang diterjemahkannya. Ia perlu menciptakan kembali penghayatannya atas karya sastra yang diterjemahkannya itu. Ia berusaha untuk melepaskan diri dari kungkungan itu agar bisa kreatif sebab ia juga diikat oleh kebudayaannya sendiri, oleh dirinya sendiri. Akibatnya, seperti yang sudah disinggung sebelumnya, adalah pengkhianatan. Jika proses kreatif menjadi sangat dominan, ada kemungkinan usaha penerjemahan itu melangkah lebih jauh lagi, yakni ke penyaduran. Inilah yang pada dasarnya dilakukan Chairil Anwar ketika menulis sajak Kerawang Bekasi, yang oleh sementara pengamat dianggap hasil jiplakan dari sajak Archibald MacLeish yang berjudul The Young Dead Soldiers.

Terjemahan pada hakikatnya merupakan tafsir bangsa tertentu di suatu zaman tertentu terhadap karya sastra milik bangsa lain di zaman tertentu pula. Krawang-Bekasi boleh dianggap sebagai tafsir bangsa Indonesia zaman perjuangan fisik terhadap sajak MacLeish tentang Perang Dunia II. Dengan mengubah dirinya karya sastra bisa menembus ruang dan waktu. Dengan demikian terjemahan menyebabkan karya sastra bertahan hidup; meminjam istilah Gifford, karena diterjemahkan karya sastra mengalami second existence, keberadaan atau kehidupan kedua.

Dalam kekayaan sastra kita, epos Mahabharata seluruhnya atau bagian-bagiannya telah diterjemahkan ke dalam berbagai bentuk oleh para pengarang kita selama beberapa zaman; epos yang berasal dari India itu telah mengalami kehidupan yang kesekian kalinya di Indonesia. Kisah mengenai keluarga Bharata itu tentunya memiliki makna tersendiri bagi bangsa India di zaman yang sudah lama lampau; bagi kita di zaman ini, makna epos itu tentu saja sama sekali berbeda.

Beberapa karya klasik Barat seperti kisah pelayaran Odysseus oleh Homerus mengalami hal yang serupa; bangsa-bangsa modern di Eropa Barat zaman ini membaca terjemahan kisah petualangan tersebut, yang dikerjakan oleh para penyair modern, dengan makna yang berbeda, sesuai dengan keperluan mereka. Kehidupa kedua itu tidak hanya berlangsung di negeri lain, tetapi juga bisa berlangsung di negeri sendiri seperti yang terjadi pada penerjemahan Beowulf di Inggris. Beowulf adalah puisi naratif anonim dalam bahasa Inggris kuno yang konon dihasilkan di Inggris sekitar abad ke-8, meskipun kisahnya mengenai negeri-negeri Skandinavia. Puisi itu telah beberapa kali diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris modern baik dalam bentuk puisi maupun prosa, baik untuk kepentingan akademik maupun umum.

Seandainya Beowulf itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, maka ia akan hidup kembali dalam bahasa yang sama dengan terjemahan drama-drama Shakespeare (1564-1616), novel-novel Jane Austen (1775-1817), dan sajak-sajak

T.S. Eliot (1888-1965). Bahasa (-bahasa) Inggris karya-karya itu berbeda-beda sebab berasal dari zaman yang berbeda-beda pula; meskipun berasal dari bangsa yang sama, karena berasal dari zaman yang berbeda maka kebudayaan yang mendukungnya pun telah mengalami pergeseran-pergeseran. Dalam terjemahan, semua itu seolah-olah berasal dari zaman yang sama; kita tentu tidak bisa, dan tidak perlu, menciptakan bahasa (-bahasa) Indonesia khusus bagi karya berbagai pengarang itu. Ketika Taslim Ali menerbitkan bunga rampai Puisi Dunia (1953), ia pun menggunakan bahasa Indonesia yang sama untuk menerjemahkan sejumlah besar sajak dari berbagai negeri dan zaman. Karena sebagian besar penerjemahan dilakukan oleh Taslim Ali, mau tidak mau sajak-sajak yang berasal dari bangsa, bahasa, dan zaman yang berbeda-beda itu harus tunduk pada gaya bahasa yang dikuasai penerjemah.

(Bersambung ke Menerjemahkan Karya Sastra menurut Sapardi Djoko Damono Bagian Terakhir)

Ads