Advertisement
Sapardi Djoko Damono (sumber : alineatv.com) |
(Sebelumnya, Baca dulu Menerjemahkan karya sastra bagian I klik Disini)
pojokseni.com - Pada hemat saya, syarat terpenting dalam usaha memahami dan menghayati sastra adalah kemauan baik; tanpa itu hampir semua karya sastra akan kita buang begitu saja karena tidak mampu membacanya. Jika menerjemahkan Siti Nurbaya bukan pilihan kita, tetap saja kemauan baik untuk mencari tahu seluk-beluk kebudayaan Minang merupakan upaya yang harus dilaksanakan. Dalam pandangan semacam inilah sebenarnya penerjemahan menjadi penting sebab merupakan bukti adanya kemauan kita untuk memahami dan menghayati kebudayaan lain.
Namun, kemauan baik tidak selamanya menyediakan jalan lapang bagi penerjemah. Bahasa pada dasarnya melaksanakan tugasnya sebagai alat komunikasi berdasarkan prinsip metafor dan metonimi, dua hal yang hampir tidak mungkin dipindahkan ke bahasa lain. Ada kemungkinan untuk mengalihkan kata demi kata dari bahasa sumber ke bahasa sasaran, namun kata yang muncul dalam bahasa sasaran itu tidak akan sepenuhnya bisa menampung apa yang dikandung dalam bahasa sumber karena, antara lain, masalah konotasi. Karena piranti bahasa yang disebut itu merupakan anasir yang menentukan dalam karya sastra, agaknya beralasan jika dikatakan bahwa sastra tidak bisa diterjemahkan tentu jika kita berpura-pura mampu mengalihkan segala piranti dan muatan yang ada dalam bahasa sumbernya.
Sebelum kita lanjutkan pembicaraan mengenai hal itu, kita kutip pandangan Henri Gifford, dalam Comparative Literature (1960), mengenai sastra terjemahan. Katanya antara lain,
A work translated can never be more than an oil painting reproduced in black and white. The texture has changed. Of course the broad arrangements of masses and planes will be no less clear, and perhaps even quite delicate nuances are not lost. However, the primal harmony has given place to something less finely calculated. Whenever the imagination is working at full capacity whether in a lyric, a play, or a novel it organizes the material with a degree of subtlety and comprehensiveness that no translation could ever match. The unity of the completed work draws together a multitude of converging details. It is bound to be impoverished in translation, though to what extent will depend on the form, whether prose or verse, and if verse whether short and lyrical, or narrative and sustained.
Gifford rupanya memiliki pandangan yang begitu membahagiakan para penerjemah; sastra terjemahan diibaratkannya sebagai tidak lebih dari reproduksi hitam putih dari lukisan cat minyak sebab teksturnya telah berubah. Dikatakannya pula bahwa tidak ada terjemahan yang bisa menandingi taraf kehalusan dan kelengkapan yang ada dalam imajinasi penulis asli dalam menyusun bahan karangannya. Itulah sebabnya keutuhan karya sastra asli akan dimiskinkan oleh terjemahan, meskipun taraf pemiskinan itu tergantung pada jenis karya sastra yang diterjemahkannya. Taraf pemiskinan pada puisi terjemahan tentunya sangat tinggi sebab dalam jenis sastra ini pengolahan bahasa untuk mengatur bahan menuntut imajinasi yang bekerja pada kemampuan penuh.
Pandangan semacam itu sangat wajar dalam konteks pembicaraan mengenai sastra bandingan, suatu minat dalam telaah sastra yang memusatkan perhatian pada membanding-bandingkan karya sastra. Dalam bidang ini, tentu saja karya terjemahan tidak mempunyai kedudukan yang kokoh. Segi-segi stilistik, bahkan tematik, karya sastra sastra tidak akan bisa dibanding-bandingkan jika bahannya adalah karya terjemahan. Bahwa terjemahan tidak akan bisa sama dengan aslinya, itu jelas. Karya asli itu final, sedang terjemahan tidak; suatu karya sastra bisa diterjemahkan oleh beberapa orang dengan hasil yang berbeda-beda, tidak ada satu pun yang dianggap final karenanya selalu tersedia ruang untuk mengubah karya terjemahan.